Sambungan artikel PERTAMA
Mengganti Konstitusi dan Pemilu
Pada Januari 2004, setelah terpilih, Hamid Karzai mengganti konstitusi Afghanistan. Sebuah majelis yang terdiri dari 502 delegasi Afghanistan menyetujui konstitusi untuk Afghanistan. Konstitusi baru menciptakan sistem presidensial, dimaksudkan untuk menyatukan berbagai kelompok etnis di negara itu.
Tindakan tersebut dipandang sebagai langkah positif menuju demokrasi. “Afghanistan telah memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh Amerika Serikat dan mitra internasionalnya untuk meletakkan dasar bagi lembaga-lembaga demokrasi dan menyediakan kerangka kerja untuk pemilihan nasional,” kata Duta Besar AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad.
9 Oktober 2004 Hamid Karzai terpilih menjadi presiden baru dalam pemungutan suara nasional. Karzai menang dengan 55 persen suara, sementara saingan terdekatnya, mantan menteri pendidikan Younis Qanooni, mendapatkan 16 persen suara.
Kemenangan pemilu Karzai dinodai oleh tuduhan penipuan oleh lawan-lawannya dan penculikan tiga pekerja pemilu asing PBB oleh kelompok militan.
Hamid Karzai, terpilih menjadi presiden Afghanistan dari 22 Desember 2001 hingga 29 September 2014. Karzai memenangkan masa jabatan lima tahun kedua dalam pemilihan presiden 2009; masa jabatan ini berakhir pada September 2014, digantikan oleh Ashraf Ghani.
Saat itu, jumlah pasukan AS di Afghanistan meningkat drastis menjadi 20.300 dan pada bulan September 2010 jumlah pasukanya mencapai 150.000 orang.
Komitmen Presiden Baru kepada Amerika
Pada 23 Mei 2005, Presiden Afghanistan Hamid Karzai dan presiden AS George W. Bush mengeluarkan deklarasi bersama yang menyatakan mitra strategis. Deklarasi tersebut memberi pasukan AS akses lebih besar pada fasilitas militer Afghanistan dengan dalih “perang melawan teror internasional dan perjuangan melawan ekstremisme kekerasan.”
Tujuan aliansi, kata perjanjian itu, adalah untuk “memperkuat hubungan AS-Afghanistan dan membantu memastikan keamanan, demokrasi, dan kemakmuran jangka panjang Afghanistan.” Selain itu, perjanjian tersebut menyerukan Washington untuk “membantu mengatur, melatih, melengkapi, dan mempertahankan pasukan keamanan Afghanistan saat Afghanistan mengembangkan kapasitas untuk melakukan tanggung jawab ini,” dan untuk terus membangun kembali ekonomi dan demokrasi politik negara itu.
Kekerasan tak pernah berhenti sejak masuknya pasukan koalisi dan pergantian pemerintahan. Jumlah serangan bunuh diri meningkat lima kali lipat dari 27 pada 2005 menjadi 139 pada 2006, sementara ledakan bom dari jarak jauh lebih dari dua kali lipat, menjadi 1.677.
Pada KTT NATO di Riga, perpecahan mulai muncul di antara negara-negara anggota yang membantu pengiriman pasukan ke Afghanistan. Target NATO menjadikan tahun 2008 bagi Tentara Nasional Afghanistan untuk mulai mengambil kendali keamanan tidak terjadi.
Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengkritik negara-negara NATO tak tidak mengirim lebih banyak tentaranya karena tidak mau mengambil resiko.
“Kemajuan kami di Afghanistan nyata tetapi rapuh,” kata Gates. “Saat ini, banyak sekutu tidak mau berbagi risiko, berkomitmen sumber daya, dan menindaklanjuti komitmen kolektif untuk misi ini dan satu sama lain. Akibatnya, kami berisiko membiarkan apa yang telah dicapai di Afghanistan lolos begitu saja.”
Misionaris dan ‘Skandal Alkitab Bagram’
Pada 19 Juli 2007, 23 misionaris Korea Selatan ditangkap dan disandera oleh gerilyawan Taliban saat melewati Provinsi Ghazni. Dua sandera laki-laki dieksekusi sebelum kesepakatan dicapai antara Taliban dan pemerintah Korea Selatan.
Kelompok misionaris Kristen itu terdiri dari enam belas wanita dan tujuh pria, ditangkap saat bepergian dari Kandahar ke Kabul dengan bus dalam misi yang disponsori oleh Gereja Presbiterian Saemmul. Dari 23 sandera yang ditangkap, dua pria, Bae Hyeong-gyu, seorang pendeta Korea Selatan berusia 42 tahun dari Gereja Saemmul, dan Shim Seong-min, seorang pria Korea Selatan berusia 29 tahun, dieksekusi pada tanggal 25 dan 30 Juli.
Kemudian, dengan kemajuan negosiasi, dua wanita, Kim Gyeong-ja dan Kim Ji-na, dibebaskan pada 13 Agustus. Sementara 19 sandera sisanya pada 29 dan 30 Agustus.
Jumlah mualaf menjadi Kristen meningkat seiring dengan meningkatnya kehadiran AS setelah jatuhnya Taliban pada tahun 2001. Kemudian, pada 5 Agustus 2001, 24 pekerja LSM Shelter Now International ditangkap milisi Taliban, namun akhirnya dibebaskan setelah misi penyelamatan pada November 2001.
Pada Januari 2004, Afghanistan mengadopsi konstitusi baru yang memberikan kebebasan kelompok agama non-Muslim untuk menjalankan keyakinan mereka dan menyatakan bahwa negara akan mematuhi Piagam PBB, perjanjian internasional, konvensi internasional dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Bulan Mei 2009, kelompok-kelompok Kristen mulai menerbitkan Alkitab dalam bahasa lokal. Mei 2009, diumumkan bahwa kelompok-kelompok Kristen telah menerbitkan Alkitab dalam bahasa Pashto dan Dari, yang banyak dituduh telah mengubah agama orang Afghanistan dari Islam menjadi Kristen.
Program Alkitab Bagram adalah skandal yang terjadi di Pangkalan Udara Bagram, di Afghanistan. Namun otoritas militer Amerika membantah bahwa distribusi Alkitab bukanlah kebijakan resmi.
Menurut CNN, para perwira militer mempertimbangkan untuk mengirim Alkitab kembali ke gereja, katanya, tetapi mereka khawatir gereja akan berbalik dan mengirimnya ke organisasi lain di Afghanistan — memberi kesan bahwa itu telah didistribusikan oleh pemerintah AS.
Namun cerita tak berhenti di sini. Sebuah cuplikan dari layanan keagamaan untuk militer AS menunjukkan tentara didorong untuk mengajak orang masuk pindah agamaa. Pihak berwenang Amerika mengklaim rekaman dari sebuah kebaktian terjadi setahun sebelum siarannya, dan telah diambil di luar konteks.
Pada bulan Juni 2010, Noorin TV, sebuah stasiun televisi kecil Afghanistan, menunjukkan rekaman orang-orang yang dikatakan sedang membaca doa-doa Kristen dalam bahasa Dari dan dibaptis. Stasiun televisi itu mengatakan orang-orang itu adalah orang Afghanistan yang telah masuk Kristen.
Dua lembaga kemanusiaan, Norwegian Church Aid dan Church World Service Amerika Serikat, dihentikan setelah dilaporkan dalam laporan ini bahwa mereka telah memurtadkan Muslim Afghanistan menjadi Kristen. Laporan tersebut memicu protes anti-Kristen di Kabul dan di Mazar-e Sharif
Republik Islam Afghanistan tidak mengakui warga Afghanistan sebagai Kristen, kecuali banyak ekspatriat (meskipun, Rula Ghani, Ibu Negara negara itu sejak 2014, adalah seorang Kristen Maronit dari Lebanon. Sebagian besar penganut Kristen tinggal di daerah perkotaan, selama kekuasaan Taliban pemeluk Kristen sangat minim. Sebagian orang yang pindah agama ke Kristen memilih melarikan diri dari Afghanistan (kebanyakan ke India) sekitar tahun 2005, karena takut identitas mereka akan diketahui publik.
Perjanjian Damai
Sejak AS menginvasi Afghanistan pada 11 September 2001, puluhan ribu korban berjatuhan di pihak tentara koalisi. Menurut BBC, AS dan negara-negara sekutu NATO – termasuk Inggris – telah menghabiskan sebagian besar dalam 20 tahun terakhir untuk program pelatihan dan memperlengkapi pasukan keamanan Afghanistan.
Sudah tak terhitung para jenderal Amerika dan Inggris mengeklaim telah membentuk tentara Afghanistan yang lebih kuat dan cakap. Namun, janji-janji itu terlihat seperti omong kosong pada hari-hari ini, kata BBC.
Kerugian ditaksir mencapai 2 triliun dollar AS (sekitar Rp28,6 kuadriliun) di kubu AS, demikian data yang diungkap The Washington Post. Pada Januari 2017, Taliban mengirim surat terbuka kepada Donald Trump, yang pada saat itu baru terpilih menjadi presiden AS – memintanya untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan.
Antara 2017 hingga 2019, sempat ada upaya pembicaraan damai antara AS dan Taliban yang tidak pernah berujung menjadi kesepakatan.
Pada Januari 2020, Amerika dan gerilyawan Taliban menandatangani perjanjian damai pada di Doha, Qatar, menandai berakhirnya invasi militer AS di Afghanistan selama 18 tahun lebih.
Salah satu isi perjanjian AS akan menarik semua personil militernya dari Afghanistan secara bertahap dalam 14 bulan. Selama 135 hari pertama (4,5 bulan), AS menarik mundur pasukannya dan menyisakan 8.600 personel di Afghanistan.
Jumlah ini termasuk sekutu dan pasukan koalisi. Baik AS, sekutu, dan koalisi akan menarik mundur pasukannya dari lima basis militer.
Kemudian di 9,5 bulan sisanya, pihak AS, sekutu, dan koalisi menyelesaikan penarikan mundur semua pasukannya, dari basis-basis militer yang tersisa. Di sisi lain, AS juga harus membebaskan ribuan tawanan Taliban.
Sementara di pihak gerilyawan Taliban akan mengirim pesan ke semua pihak yang mengancam keamanan AS, dan menekankan anggota-anggotanya agar tidak bekerja sama dengan siapa pun yang mengancam keamanan AS beserta sekutunya.
Gerilyawan Taliban juga tidak akan membiarkan terjadi perekrutan, pelatihan, dan penggalangan dana, juga tidak akan memfasilitasi hal-hal tersebut sesuai dengan perjanjian damai yang telah terjalin.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Taliban juga akan memberikan suaka atau tempat tinggal di Afghanistan sesuai hukum migrasi internasional, sehingga orang-orang tersebut tidak menjadi ancaman keamanan AS serta sekutunya. Kepada mereka yang mengancam keamanan AS serta sekutunya, Taliban juga tidak akan memberi visa, paspor, dan izin perjalanan untuk memasuki Afghanistan.
Awalnya AS berjanji menarik semua pasukannya dari Afghanistan dengan tempo 11 September 2021, secara bertahap mulai Mei. Saat itu, 50 dari 370 distrik di Afghanistan telah jatuh di tangan Taliban.
Rupanya penarikan pasukan asing maju dari jadwal. Pada awal Juni ini, lebih dari 50 persen tentara AS yang ada di Afghanistan telah dipulangkan.
Pada awal Juli, Kementerian Pertahanan AS mengumumkan, progres penarikan pasukannya dari Afghanistan mencapai 90 persen. Sisanya, 10 persen pasukan AS yang ada di Afghanistan, akan dipulangkan pada akhir Agustus alias beberapa hari sebelum tenggat penarikan yakni pada 11 September.
Penarikan pasukan AS yang berlangsung senyap tanpa pengumuman jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah mayoritas pasukan asing hengkang, Taliban yang telah terlatih 20 tahun menghadapi pasukan asing secara cepat menduduki sejumlah wilayah di Afghanistan.
Dimulai daerah-daerah pedesaan, kelompok ini kemudian merebut wilayah lebih luas dan penting. Pada akhir Juli, Taliban telah menguasai hingga setengah dari seluruh wilayah.
Pada 7 Agustus, Taliban telah merebut ibu kota provinsi pertama mereka, Zaranj di Provinsi Nimroz. Dalam lima hari, kelompok gerilyawan tersebut berhasil mengontrol delapan ibu kota provinsi hanya.
Sejak kejatuhan ibu kota provinsi pertama ke tangan Taliban, ibu kota-ibu kota lain bertumbangan. Meski AS membantu dana dan pesawatnya, rupanya gerakan Taliban makin tidak bisa dihentikan.
16 Agustus, Kabul telah jatuh di tangan gerilyawan Taliban. Peristiwa sangat cepat ini terjadi hanya dalam tempo kurang dari sepekan, di mana gerakan ini berhasil menduduki banyak ibu kota provinsi di Afghanistan.
AS langsung mengevakuasi para diplomatnya dari kedutaan besar dengan helikopter setelah tahu Kabul sudah jatuh. Sementara Presiden Ashraf Ghani Ahmadzai atau lebih dikenal dengan sapaan Ashraf Ghani langsung kabur ke Tajikistan.
Hari itu juga, gerilyawan Taliban memasuki Kabul dan mendeklarasikan bahwa perang di Afghanistan telah berakhir. Masuknya Taliban ke Kabul menandai kembali berkuasanya kelompok tersebut setelah digulingkan invasi pasukan koalisi pimpinan AS pada 2001.
Selama dua dekade perang, kelompok gerilyawan itu sekarang dianggap jauh lebih kuat sejak mereka digulingkan pada tahun 2001, dengan memiliki sekitar 85.000 pejuang penuh waktu, menurut perkiraan NATO baru-baru ini. Bagaimana nasib Taliban dan Afghanistan ke depan, kita tunggu perkembangannya.*
Baca juga: Perang di Afghanistan, Sebuah “Perang Sumber Daya Alam