Hidayatullah.com | DUNIA baru saja digemparkan dengan ledakan besar yang menghancurkan pada Selasa (04/08/2020) di Beirut, Lebanon. Ledakan tersebut menewaskan sedikitnya 78 orang dan melukai 4.000 lainnya.
Pemerintah Lebanon menyatkana akan menyelidiki sumber ledakan yang tampaknya dipicu oleh api yang menyulut 2.750 ton pupuk amonium nitrat di gudang pelabuhan Beirut. Dalam sekejap, ledakan itu membawa kehancuran seperti yang disebabkan oleh perang saudara 1975-1990 di negara itu, meratakan bangunan beberapa ratus meter jauhnya.
Pihak kota Beirut, sebagiaman dilaporkan oleh The New Arab, mengatakan bahwa kehancuran itu mungkin telah menyebabkan 300.000 orang kehilangan tempat tinggal, menambah kesengsaraan ekonomi negara yang kekurangan anggaran dengan kerugian sekitar 3 hingga 5 miliar dolar AS. Tragedi ini mengundang simpati dunia, para pemimpin dunia dengan cepat bereaksi dengan menyatakan belasungkawa dan menawarkan bantuan.
Turki telah menghubungi Presiden Lebanon Michel Auon untuk menawarkan bantuan, Qatar, Arab Saudi, hingga Prancis dan Amerika juga menjanjikan bantuan kemanusiaan. Di tengah semua itu, belum jelasnya penyebab ledakan membuat banyak pihak berspekulasi. Banyak yang meyakini bahwa ledakan tersebut bukan murni kecelakaan.
Presiden AS Donald Trump sempat menyatakan bahwa ledakan tersebut lebih mirip pemboman yang terencana. Trump mengklaim pada Selasa (04/08/2020) bahwa tragedi itu adalah pemboman, bukan ledakan, dengan mengatakan itu adalah penilaian yang ditawarkan kepadanya oleh para jenderal AS.
Ditanya apakah dia yakin dengan penilaiannya bahwa ledakan itu adalah serangan dan bukan kecelakaan, Trump mengatakan “tampaknya akan seperti itu, berdasarkan ledakan.”
“Saya bertemu dengan beberapa jenderal besar kami, dan mereka sepertinya merasa begitu. Ini bukan semacam jenis ledakan manufaktur,” katanya. “Mereka akan tahu lebih baik daripada aku, tetapi mereka tampaknya berpikir itu adalah serangan, itu semacam bom.”
Kepala staf Gedung Putih Mark Meadows pada hari Rabu (5/8/2020) membela deskripsi Presiden Trump tentang ledakan besar sehari sebelumnya di ibu kota Lebanon sebagai “serangan”. “Tanpa membagikan apa pun yang dirahasiakan, saya dapat melihat banyak hal yang telah terjadi di sana. Kami akan terus mengevaluasi itu,” lanjut Meadows.
Beberapa tokoh juga melontarkan pernyataan yan serupa di media sosial. Chris Palmer, mantan jurnalis ESPN dengan lebih dari 100 ribu pengikut di Twitter, mengklaim awan asap seperti jamur yang terbentuk setelah ledakan berarti itu adalah “bom atom”. Kicauan itu kemudian dihapus.
Jeffrey Lewis, seorang ahli rudal di Middlebury Institute of International Studies, menolak teori itu dalam komentar kepada Vice. “Kami yang mempelajari senjata nuklir bisa menjelaskan lebih lanjut lagi sampai wajah kita membiru bahwa ini tidak terlihat seperti ledakan nuklir,” kata Lewis sebagaimana dikutip oleh Middle East Eye pada Rabu (05/08/2020)
Seorang aktivis sayap kiri Inggris terkemuka, Aaron Bastani, mengklaim ledakan itu disebabkan oleh senjata termobarik, yang menggunakan oksigen dari zona ledakan untuk menghasilkan ledakan suhu tinggi. Senjata termobarik digunakan oleh Inggris dan AS di Afghanistan, dan oleh pemerintah Suriah melawan pasukan perlawana di kota barat Qusayr pada tahun 2013. Bastani menghapus tweet tersebut, dan teorinya telah dikecam secara luas.
Keterlibatan ‘Israel’
Seorang penulis Yahudi, Richard Silverstein, mengungkapkan analisanya tentang kemungkinan keterlibatan ‘Israel’ dalam ledakan mematikan tersebut. Dalam tulisannya ia menyebutkan bahwa sumber-sumber informasi terpercaya dari ‘Israel’ telah mengonfirmasikan kepadanya soal keterlibatan ‘Israel’. “Israel menargetkan depot senjata Hizbullah di pelabuhan dan berencana menghancurkannya dengan alat peledak. Tragisnya, intelijen Israel tidak melakukan uji tuntas terhadap targetnya. Jadi mereka tidak tahu (atau jika mereka tahu, mereka tidak peduli) bahwa ada 2.700 ton amonium nitrat yang disimpan di gudang sebelah,” ungkap Richard dalam web pribadinya, www.richardsilverstein.com.
Beberapa orang menentang klaim keterlibatan ‘Israel’ dengan mengatakan bahwa negara tersebut tidak akan melakukan serangan yang ceroboh seperti itu. Bagaimanapun, Richard membela pendapatnya dengan dua tanda dari sikap ‘Israel’ yang mencurifakan. Pertama, jika Israel telah melakukan serangan teror yang berhasil (seperti yang dilakukan terhadap Iran), Israel akan menolak berkomentar atau seorang tokoh militer atau politik senior akan mengatakan sesuatu seperti: Meskipun kami menolak untuk berkomentar, siapa pun yang melakukannya telah membantu dunia.
Dalam hal ini, Israel langsung menolak tanggung jawab. Bahkan Hizbullah seharusnya mengatakan Israel tidak menyebabkan kerusakan (kemungkinan melindungi diri dari kesalahan yang tak terhindarkan yang akan menimpanya karena menyimpan senjatanya di sebelah gedung yang dipenuhi bahan peledak). Tanda kedua menurut Richard adalah bahwa Israel tidak pernah menawarkan bantuan kemanusiaan kepada tetangga Arabnya.Israel tidak pernah menawarkan bantuan seperti itu ke Libanon, sampai hari ini. Lebanon secara resmi dianggap sebagai negara musuh di Israel. Bahkan tak lama ini, pada 29 Juli, ‘Israel’ melakukan pengeboman di daerah perbatasan Kafr Shuba yang langsung direspon oleh Lebanon dengan kecaman dan pernyataan kesiapan untuk melindungi diri dari ancaman ‘Israel’.
Michael Peck, kontributor Forbes untuk isu pertahanan dan teknologi militer, sebaliknya menyatakan analisanya bahwa ‘Israel’ menolak bertanggung jawab, meskipun ia tidak menolak kemungkinan dan kapabilatas ‘Israel’ dalam melakukan serangan seperti itu. “Meskipun demikian, masalah keterlibatan Israel tidak bisa dihindari. Jika ada negara yang menginginkan kehancuran gudang Libanon yang diisi dengan bahan peledak yang digunakan oleh pelaku bom bunuh diri dan membuat IED, itu adalah Israel,” ungkap Peck dalam artikelnya untuk Forbes.
Angkatan Udara Israel telah melakukan banyak serangan udara selama bertahun-tahun terhadap sasaran di Suriah. Kampanye udara bertujuan untuk menghancurkan depot senjata dan konvoi yang digunakan oleh Iran untuk mengirim senjata melintasi wilayah Suriah ke milisi Syiah- Hizbullah, yang bersumpah akan menghancurkan Israel dan merupakan kelompok paling kuat di Libanon.
“Tidak ada keraguan bahwa Israel memiliki kemampuan untuk menghancurkan gudang itu. Itu bisa saja meluncurkan rudal yang dipandu dari drone, jet tempur, helikopter serang Apache, kapal dan kapal selam rudal Israel, dan bahkan rudal balistik darat. Atau, intelijen Mossad Israel bisa saja mengatur bom atau sabotase lainnya. Dalam beberapa pekan terakhir, telah terjadi banyak ledakan di situs nuklir, pabrik rudal balistik, dan pembangkit listrik di Iran, termasuk fasilitas utama untuk membuat sentrifugal yang diperlukan untuk membuat bom nuklir. Mossad adalah tersangka utama,” Peck menambahkan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Konflik ‘Israel’-Hizbullah
Konflik ‘Israel’ dengan Hizbullah akhir-akhir ini terus memanas. Brigadir Jenderal Militer ‘Israel’ Gil Aginsky membuat tuduhan dalam sebuah wawancara dengan media Israel Hayom pada Juli, mengutip ketegangan di perbatasan Israel-Libanon di utara Israel, di mana Israel baru-baru ini menjalankan latihan militer yang luas. “Tantangan yang kita hadapi ada dua – dari laut, dan dari bawah laut. Di atas air, kami tahu cara menangani skenario apa pun, termasuk beberapa skenario yang sangat rumit,” katanya.
Dia terus berspekulasi bahwa Hizbullah dapat melancarkan serangan bawah air, dan menekankan pentingnya melindungi kepentingan maritim Israel, seperti eksplorasi gas. Israel telah mengebor minyak di dekat perairan yang disengketakan, yang dicap sebagai “berbahaya” oleh presiden Lebanon Michel Aoun, menyebabkan kekhawatiran bahwa konflik bersenjata dapat meletus karena gerakan maritim Israel yang kontroversial.
Pasukan Israel telah bersiap untuk memperluas armadanya dengan penambahan kapal selam baru dan kapal perang Sa’ar 6, sebuah langkah yang menurut Aginsky penting untuk ‘mempertahankan’ Israel dari dugaan serangan bawah air Hizbullah yang direncanakan.
Lebanon Semakin Menderita
Bahkan sebelum ledakan tersebut, Lebanon telah tertatih-tatih dan sangat membutuhkan bantuan internasional untuk membendung keruntuhan ekonomi yang semakin tak terelakkan dan cepat. Namun, bantuan keuangan gagal terwujud. Ini terutama karena bantuan internasional, terutama sumbangan $ 11 miliar (£ 8,3 miliar) yang dijanjikan pada Konferensi Ekonomi untuk Pembangunan melalui Reformasi dan Bisnis (CEDRE) April 2018 di Paris, telah dikaitkan dengan reformasi sistem di Lebanon. Ini sama sekali tidak terjadi, jadi bantuan belum dikeluarkan.
Dengan sejarah kerusuhan sosial, perang saudara selama lima belas tahun, dominasi oleh Suriah, dan kemudian invasi dan pendudukan oleh Israel, kisah Lebanon adalah satu kisah panjang tentang bencana dan krisis demi krisis.*/ Fida’ Ahmad dari berbagai sumber