Oleh: David Axe
Hidayatullah.com | TURKI baru saja meluncurkan Operation Spring Shield (Operasi Perisai Musim Semi). Negara ini mengeluarkan drone dengan kemampuan terbang menengah, mirip dengan drone Reaper milik Angkatan Udara AS, menyerang pasukan Suriah di dalam dan sekitar Idlib, membunuh 19 orang, menurut Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris.
Turki pada hari Ahad, 1 Maret, 2020 menembak jatuh dua pesawat tempur Suriah. Ankara mengklaim bahwa dalam beberapa minggu pertempuran, pihaknya telah membunuh 2.200 tentara rezim Suriah dan menghancurkan 103 tank dan delapan helikopter. Pemerintah Suriah, pada gilirannya, mengklaim menembak jatuh tiga drone Turki.
Sembilan belas tahun setelah Predator Angkatan Udara AS menembakkan rudal dalam pertempuran untuk pertama kalinya, semakin banyak negara yang memiliki drone bersenjata mereka sendiri. Dan semakin tidak malu menerjunkan dalam pertempuran.
Serangan drone Maret 2020 adalah bagian dari kampenye militer Turki yang meningkat di Suriah. Kampanye tersebut, yang meliputi serangan udara dan serangan oleh pasukan darat, bertujuan menciptakan penyangga antara Suriah dan Turki.
Drone militer Turki mewakili sebuah kekuatan “asimestris” di Suriah. Pasukan Damaskus tidak memiliki teknologi yang dapat diandalkan untuk mengalahkan serangan-serangan oleh mesin udara tak berawak, (unmanned aerial vehicles/UAV).
“Hanya kemampuan [perang elektronik] canggih yang digabungkan dengan radar peringatan dan pertahanan udara kuat yang dapat mengatasi ancaman ini,” kata pakar drone Samuel Bendett mengatakan pada The National Interest. Bendett adalah anggota Program Studi Rusia di Center for Naval Analyses’ International Affairs Group.
Pasukan Rusia, yang tiba di Suriah pada tahun 2015 untuk mendukung rezim presiden Suriah Bashar Al-Assad, telah mengerahkan sistem pertahanan canggih melawan drone–drone kelompok oposisi. Termasuk radar, senjata jarak pendek dan rudal serta pengacau radio yang dapat mengganggu sinyal perintah drone dan hubungan data.
Moskow buru-buru mengirim pertahanan ini ke fasilitasnya di Suriah dalam menanggapi serangan-serangan oleh “kawanan” drone komersial kecil. Drone ini dimodifikasi kelompok oposisi sehingga dapat membawa bom-bom kecil.
Pada Januari 2018, sekawanan drone kecil bermuatan peledak, yang tampaknya dikendalikan oleh kelompok oposisi Suriah, menyerang dua markas Rusia di Suriah barat. Setiap dronenya membawa 10 bom-seberat-satu-pon di bawah sayapnya, Kremlin menyatakan.
“Seperti yang ditunjukkan baik oleh ISIS dan Amazon, drone kecil adalah sebuah cara yang efisien untuk membawa muatan ke sasaran,” Nick Waters, mantan anggota Angkatan Darat Inggris dan analis militer independen, mengatakan pada The National Interest.
“Apakah itu bermuatan buku baru anda atau beberapa gram bahan peledak tergantung pada pengirimnya.”
Pertahanan Rusia telah terbukti efektif terhadap drone kecil, yang mudah dipersiapkan. Belum diketahui apakah sistem pertahanan yang sama akan bekerja terhadap drone milik Turki, yang lebih besar, cepat dan lebih dipersenjatai dibandingkan drone model komersial.
“Orang Rusia belum berurusan dengan serangan drone canggih di Suriah,” kata Bendett.
Tetapi Ankara tidak mau mengambil resiko. Negara itu telah mengarahkan dronenya di sekitar area yang dilindungi oleh rudal dan senjata Rusia, jelas Bendett.
Militer Turki mengoperasikan sekitar 130 drone bersenjata dari berbagai jenis, termasuk lima drone model Anka, Karayel dan Bayraktar TB2. Semuanya dapat membawa rudal kecil, yang dipandu dengan presisi.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Turki mengembangkan dronenya sebagai tanggapan terhadap keputusan Amerika Serikat yang menolak menjual Predator buatan Amerika atau versi lebih besarnya, Reaper, kepada militer Turki. Turki seperti calon pembeli drone lainnya hanya menyalin rancangan dari Predator.
Negara-negara lain yang ditolak membeli drone Amerika kemudian beralih ke China. Beijing telah mengembangkan beberapa drone di kelas yang sama seperti Reaper dan Predator.
Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Iraq semuanya telah memperoleh drone bersenjata CH-4B dan mengerahkan mereka dalam pertempuran di Libya, Yaman dan Iraq. Namun Jordania tidak senang dengan drone China dan, pada musim panas 2019, menawarkan dronenya untuk dijual.
Dalam mengembangkan dronenya, alih-alih membeli dari China, Turki menghindari pengalaman serupa. Drone Ankara mungkin tidak mampu mengalahkan pertahanan Rusia yang paling mahir. Tetapi melawan pasukan Suriah bersenjata ringan, UAV dapat menjadi sangat mematikan.*
David Axe menjabat sebagai Defense Editor di the National Interest. Dia adalah penulis novel grafis, War Fix, War Is Boring dan Machete Squad