Oleh: CJ Werleman
Hidayatullah.com | PELUNCURAN rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump, janjinya untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel dengan cara yang adil, tidak hanya menimbulkan penghinaan dan penderitaan rakyat Palestina namun juga memberikan gerakan pemukim yang kuat secara politik setiap keinginan mereka dana janjinya untuk “menghabisi masalah Palestina.”
Alih-alih menempatkan parameter atau road map untuk mengakhiri konflik paling sulit di dunia, rencana itu membenarkan kejahatan perang Israel dan pelanggaran hukum internasionalnya, sementara juga menghidupkan kembali sistem apartheid besar yang tidak pernah dilihat negara manapun dengan klaim demokrasi sejak Afrika Selatan pada tahun 1980-an.
Tidak heran pihak Palestina menolak mentah-mentah rencana Trump, terutama mengingat Palestina dikeluarkan dari perencanaan proposal itu sejak awal. Tidak mengejutkan kalau sebagian besar masyarakat internasional menyebut “Kesepakatan Abad Ini” adalah hal yang “tidak berharga,” “sepihak” dan bahkan “kejahatan” – tetapi reaksi dari sebagian besar dunia Muslim-lah yang mengagetkan.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyampaikan teguran keras, menyebut proposal presiden AS “sebuah rencana untuk mengabaikan hak-hak Palestina dan meligitimasi pendudukan Israel,” serta menyatakan “Jerusalem (Baitul Maqdis) adalah tempat suci bagi umat Islam” dan rencana itu “tidak akan pernah diterima.”
Di sisi lain, tanggapan lain dari Negara Teluk Arab berkisar dari dukungan yang hati-hati dan partisipasi yang antusias.
Mesir mendesak Palestina untuk “secara hati-hati mempelajari proposal.” Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan proposal itu “menawarkan titik awal penting untuk kembalinya negosiasi dalam kerangka internasional pimpinan AS.”
Qatar menyampaikan apresiasi untuk “upaya Trump,” sementara Arab Saudi pada dasarnya telah bertugas sebagai penghubung masyarakat Trump di regional pada semua tahap peluncuran “Kesepakatan Abad Ini.”
Perlu dicatat bahwa Qatar memang menyerukan negara Palestina “dalam perbatasan 1967, termasuk Jerusalem Timur,” yang bahkan tidak disebutkan oleh negara lain.
Duta besar dari Bahrain, Oman dan UEA hadir di Gedung Putih ketika Trump mengumumkan rencananya, secara efektif menyetujui secara otomatis tanpa pertimbangan proposal dan kegiatan yang tidak dihadiri Palestina.
Jika pada dua tahun terakhir telah mengungkapkan penataan kembali sistem internasional, itu adalah keinginan negara Teluk Arab, dan negara Muslim lain, untuk secara diam-diam dan implisit mendukung pelanggar HAM terburuk dunia terhadap minoritas Muslim, termasuk persekusi Muslim di China, langkah represif India di Kashmir dan perlakuan buruk Muslim di India, serta tidak bertindaknya dalam genosida Rohingya, orang-orang yang pada dasarnya terbuang sementara upaya-upaya telah dilakukan untuk memulangkan mereka kembali ke Myanmar.
Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa koalisi pimpinan Saudi bertanggungjawab atas banyak kesengsaraan di Yaman, yang seringkali digambarkan sebagai “krisis kemanusiaan terbesar dunia,” dan UEA dan Mesir yang mendukung panglima perang Haftar, yang memimpin beberapa milisi paling keras dan ekstrim di Afrika.
Dengan diam-diam atau hati-hati mendukung rencana Trump untuk menindas rakyat Palestina melalui tangan penjajah mereka, sementara itu pada saat yang sama, menutupi kejahatan HAM yang berkaitan dengan China dan India, pemerintah Arab, UEA, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait, Iraq, dan Suriah telah menjadi penandatangan yang sepakat dengan beberapa tindakan terburuk yang dilakukan negara kuat terhadap keyakinan agama paling ditarget sejak Holocaust.
Tahun lalu, ketika koalisi dari 22 anggota – kebanyakan negara demokrasi Barat, termasuk Amerika Serikat – ikut menandatangani surat yang menyerukan Beijing untuk mengakhiri pelanggaran HAMnya terhadap 13 juta Muslim Uighur di Xinjiang, puluhan negara Timur Tengah, Muslim dan Afrika membalas itu dengan menandatangani surat mereka sendiri. Surat itu mengulangi sikap resmi China yang menyatakan dukungan terhadap “langkah-langkah anti-terorisme” negara superpower Asia dan memuji kamp-kamp “pelatihan kejuruannya.”
Tidak termasuk Qatar, yang sejak itu menarik tanda tangannya, pemerintah negara-negara ini telah menghitung bahwa nilai investasi dan perdagangan Tiongkok jauh lebih bernilai daripada kehidupan 13 juta Muslim Uighur.
Kalkulus ini juga mendorong respon diam mereka terhadap pencabutan Pasal 370 konstitusi India, dan penguncian militer hampir selama enam bulan dan pemadaman komunikasi yang mengikutinya.
Faktanya, UEA telah memuji langkah-langkah represif India di wilayah mayoritas Muslim, mengklaim pencabutan Pasal 370 akan “meningkatkan keadilan sosial dan keamanan… dan memajukan keseimbangan dan perdamaian,” sementara Arab Saudi telah mengambil langkah serupa dengan menyepelekan masalah rakyat Kashmir dengan menyebutnya “masalah internal.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Respon bisu ini ditanggung oleh lebih dari 100 miliar dolar AS perdagangan tahunan dengan India yang menjadikannya salah satu mitra ekonomi Semenanjung Arab paling berharga,” kata Associated Press.
Statistik perdagangan luar negeri resmi mengungkapkan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) termasuk di antara mitra dagang terbesar India dalam hal barang yang diekspor dan diimpor pada 2019, dengan investasi India di UEA melampaui 55 miliar dolar AS, sementara Arab Saudi adalah pemasok minyak terbesar kedua India.
“Sebagai pasar yang berkembang untuk minyak dan gas Arab, sebagai sumber personel yang sangat terlatih dan kompeten, dan sebagai negara yang bersahabat dengan militer yang kuat dan minat yang kuat dalam stabilitas geopolitik, India adalah tetangga yang berharga di bagian berbahaya dunia, ” The Wall Street Journal mengungkapkan pengamatannya.
Terlepas dari klaim mereka sebagai “penjaga Islam” dan “pelindung umat Islam,” monarki Arab telah menunjukkan bahwa mereka masih (hanya) peduli pada dua hal: melawan Iran di setiap kesempatan, dan menumbuhkan hubungan perdagangan dengan negara-negara kuat yang melakukan pelanggaran HAM terhadap Muslim.
Tidak masalah berapa banyak pria, wanita, dan anak-anak Muslim dikurung, disiksa, dibunuh dengan gas dan dibunuh di sepanjang jalan. Jelas, masih sebatas upaya memperkaya takhta mereka.*
Artikel dimuat TRTWorld
(foto cari Pangeran Mohammad Bin Salman bersama Donaldt Trump)