Oleh: Dr Amira Abo el-Fetouh
Hidayatullah.com | APA yang saya perkirakan telah terjadi. Iran menanggapi pembunuhan jenderal legendarisnya Jenderal Qassem Soleimani dengan serangan militer terhadap pangkalan AS di Iraq. Waktu serangan itu disesuaikan dengan waktu ketika Soleimani dibunuh, dan ketika pemakamanannya. Itu adalah tanggapan yang lemah, tidak sampai tingkat pembunuhan atau tingkat retorika pasca-pembunuhan; tidak ada warga Amerika yang terbunuh dan AS juga tidak menderita kerugian yang berarti.
Iran tampaknya memberi tahu pemerintah Iraq tentang serangan-serangan sebelum itu terjadi, menjelaskan bahwa mereka akan mengenai Pangkalan Udara Erbil dan Ain Al-Assad, menurut Perdana Menteri Iraq. Dia yang pada gilirannya memberitahu warga Amerika, sehingga semua personel AS dievakuasi dari pangkalan. Seolah-olah inilah yang diinginkan kedua belah pihak; sebuah operasi militer lemah Iran untuk menenangkan kemarahan massa dan membuat Iran terlihat baik di depan warga dan sekutunya, dan ancaman kuat AS terhadap Iran jika negara itu menyerang pangkalan militer atau membunuh tentaranya agar tidak merusak wibawa Amerika di dunia.
Dunia menunggu tanggapan AS terhadap serangan-serangan Iran ini, seperti kita menunggu tanggapan terhadap pembunuhan Soleimani. Kita semua ingin tahu bagaimana AS akan bereaksi dan kita mendengarkan dengan cerman pernyataan Presiden AS Donald Trump. Dia menunda pengumumannya untuk menciptakan ketegangan; itu murni Hollywood. Trump muncul dengan Menlu dan para jenderal di belakangnya, tampak seolah-olah dia akan mendeklarasikan perang, tetapi kata-katanya juga lemah dan tidak cocok dengan kesempatan itu. Dia menghindari ancaman langsung aksi militer terhadap Iran dan sebaliknya menyerukan dialog dengan Teheran.
Ini menunjukkan kepada banyak pakar teori konspirasi diantara kita bahwa itu semua adalah sandiwara yang disepakati sebelumnya oleh Iran dan AS, tetapi ternyata tidak. Mereka sepakat pada batas di mana tak satupun musuh bebuyutan itu akan pergi, dan adanya pertemuan dari kepentingan bersama meskipun permusuhan diantara mereka.
Saya sudah menduga ini akan terjadi; bahwa ini mungkin merupakan langkah untuk mencoba memperoleh dukungan rakyat kepada pemerintah, mengingat bahwa Jerman dan Inggris Raya – keduanya penandatangan kesepakatan 2015 – telah menyatakan dukungan mereka untuk pembunuhan Soleimani. Saya meyakini minggu lalu bahwa kita saat ini akan melihat intervensi internasional dan mediasi untuk membawa Teheran dan Washington kembali ke meja perundingan untuk menyelesaikan masalah luar biasa ini, dimulai dengan Iraq dan Suriah, diikuti oleh Yaman dan sebuah perjanjian nuklir baru. Sementara itu, para analis politik meyakini bahwa terdapat potensi perang parsial atau komprehensif di wilayah.
Kebijakan pemahaman implisit tersembunyi di balik permusuhan terbuka antara Washington dan Teheran, atau apa yang mereka sebut sebuah “perjanjian kehormatan” antara negara-negara yang bertikai, dan kebijakan pragmatis Iran didominasi oleh budaya perdagangan. Iran telah menggunakannya murni untuk menjauh dari kematian Soleimani dengan keuntungan sebesar mungkin. Insiden ini telah terjadi; pria itu telah terbunuh dan dikuburkan; dan juga Kotak Pandora dari rahasia-rahasia tentang hubungan Teheran dengan Amerika selama tiga puluh tahun terakhir.
Apa yang diperoleh Iran dari pembunuhan Soleimani? Di dalam negeri, ada kemarahan terhadap rezim yang mencapai klimaksnya karena kondisi ekonomi yang buruk dan demonstrasi di seluruh penjuru negeri. Setelah kematian Soleimani, massa bersatu di belakang kepemimpinan di Teheran; kita melihat ini dengan jelas pada hari pemakamannya.
Hal yang sama dapat dikatakan untuk Iran, yang menyaksikan protes selama berbulan-bulan mendesak kepergian Iran dari negara itu. Ini membuat marah Iran karena mereka kehilangan pengaruh mereka atas tetangga mereka, tetapi revolusi itu terbunuh oleh kematian Soleimani.
Ini adalah keuntungan paling penting, karena semua Iraq akan berada di bawah kendali Iran menyusul permintaan pemerintah Iraq agar tentara AS pergi. Trump menyetujui hal ini dengan syarat bahwa pemahaman dan pembayaran biaya pangkalan udaranya, yang mencapai miliaran dolar. Ini akan berarti dominasi absolut Iran atas Iraq tanpa mitra Amerika. Dominasi ini akan meluas tentu saja ke Suriah, Libanon dan Yaman. Keuntungan ini tidak terbayangkan tanpa kematian Soleimani.
Dalam situasi ini, Iran akan melingkari negara-negara Teluk dari tiga sisi, yang berarti bahwa kedalaman strategisnya telah kembali untuk pertama kalinya ke perbatasan negara yang dulunya Kekaisaran Persia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pada tingkat geostrategis, Iran telah berhasil untuk pertama kalinya mengumpulkan aliansi kuat yang berdiri di pihaknya, termasuk Rusia dan China, keduanya menganggap Amerika bertanggungjawab atas eskalasi ini dan telah memperingatkan Washington tentang memicu perang. Kedua negara itu telah melakukan kontak dengan para pemimpin Iran, yang itu adalah keuntungan politik besar yang tidak akan tercapat tanpa pembunuhan Soleimani. Iran tampaknya sekarang menjadi pemain penting dengan bobot besar yang telah diperlakukan tidak adil, memberikannya dukungan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Iran telah mengumumkan bahwa mereka telah menangguhkan perjanjian nuklir yang dicapai oleh Barack Obama dan negara-negara Uni Eropa, dan bahwa mereka akan memperkaya uranium tanpa batas. Pembunuhan Soleimani adalah alasan yang diberikan.
Akhirnya, Iran telah berhasil menetapkan statusnya sebagai kekuatan regional utama yang ditakuti oleh tetangga-tetangganya. Mereka sekarang harus hidup berdampingan dengan itu, karena kekuatan yang melindungi mereka atau yang mereka bayangkan melindungi mereka – AS – telah diserang dan tidak menanggapi dengan cara yang sama.
Apa yang dicari dan ingin dicapai Qassem Soleimani, yaitu mengembalikan kejayaan Kerajaan Persia, akan dicapai dengan darahnya yang tercemar setelah kematiannya. Sungguh ironis.*