Oleh: Farid Hafez
TERORIS supremasi putih bisa saja memilih berbagai tempat dan target lain untuk melancarkan serangannya. Tetapi dia memilih tempat ibadah Islam. Mengapa?
Mari kita ingat kembali Anders Behring Breivik, yang membunuh 77 orang di kamp Socialist Youth di Utoya/Norwegia. Dia sengaja memilih tempat itu, melihat generasi muda demokratis sosial dan berpikiran terbuka sebagai orang-orang yang akan menjadi pembuka dari Islamisasi Eropa. Breivik, yang, dalam manifesto teroris, dia menyebut “Knight Justiciar Breivik” merupakan yang “inspirasi sejati”nya, dapat menjadi cetak biru untuk serangan teroris lain. Namun dia memilih masjid. Tetapi mengapa?
Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana pada awalnya. Namun kita harus meluangkan beberapa waktu untuk merenungkan aspek terorisme ini. Ini bukan tentang masjid seperti yang dipikirkan umat Islam – karena ini tidak penting bagi seorang supremasi putih – ini tentang bagaimana masjid telah menjadi sebuah metafor untuk proyeksi jahat yang kami temukan dalam ideologi Islamophobia.
Faktanya, dalam imaginasi ideologi anti-Muslim, ada sedikit materi yang telah dianggap sebagai “simbol” Islam, simbol-simbol yang telah berubah menjadi masalah kontestasi politik. Dalam wacana tentang Islam, materi yang paling terkenal dan tidak diragukan lagi adalah hijab (penutup kepala yang digunakan perempuan Muslim) dan masjid. Orang bisa mengamati, pertama, objek-objek ini telah dibingkai ulang. Sama seperti hijab saat ini dibayangkan sebagai simbol “penaklukan perempuan” dalam masyarakat Muslim patriarki, masjid dibayangkan sebagai tempat radikalisasi, di mana orang-orang Islam diajarkan untuk membenci orang beragama lain atau dilihat hanya sebagai lokasi di mana plot teroris direncanakan.
Ini adalah reframing makna dari materi-materi yang telah di banyak tempat menyebabkan umat Islam kehilangan kebebasan mereka. Sementara kebebasan beragama telah menjadi pokok utama bagi hampir semua negara Barat sejak awal Perang Dunia II, hak ini telah dipertanyakan dalam berbagai kesempatan terhadap umat Islam sejak tahun 1990an. Dan dengan munculnya partai-partai sayap-kanan radikal sejak tahun 2000an, materi ini telah dimasukkan ke dalam legislasi atau undang-undang.
Islamophobia yang dilegislasikan sudah menjadi hal normal saat ini. Perempuan-perempuan Muslim tidak diizinkan menggenakan hijab; di beberapa tempat pembatasan ini untuk para murid, di tempat lain untuk para pengajar, dan di tempat lain lagi ada di beberapa layanan publik.
Selain itu, masjid telah menjadi isu yang diperdebatkan, mulai dari pelarangan menara masjid yang terkenal di Swiss hingga larangan yang tidak banyak ketahui, contohnya, pelarangan pembangunan masjid dan menara di dua negara bagian Austria. Dan jangan kita lupa tentang perdebatan terkait Masjid Ground Zero di New York dan perdebatan lain yang muncul di sekitar pembangunan sejumlah masjid yang akhirnya selesai dibangun di Cologne atau di salah satu distrik Istanbul, Taksim.
Ingat, betapa frustasinya Muslim AS karena Barack Obama, yang disebut-sebut sebagai presiden “harapan”, tidak dapat mengunjungi masjid, sehingga menyerah pada atmosfer ketakutan yang dipicu oleh retorika anti-Muslim radikal yang disebarkan oleh orang-orang seperti Pamela Geller serta anggota- Tea Party (gerakan politik konservatif fiskal Amerika di dalam Partai Republik). Masjid tidak lagi menjadi simbol pemberdayaan, seperti yang diingat oleh begitu banyak warga Afrika-Amerika, tetapi sebaliknya telah menjadi sebuah objek ketakutan. Hal ini telah meninggalkan bekas.
Di sisi lain, terkait teroris anti-Muslim. Daftar masjid yang menjadi target di mana orang-orang ditembak mulai dari Masjid Finsbury Park London hingga ke Masjid Christchurch di Selandia Baru.
Sementara penembakan massal di Selandia Baru merupakan yang paling mematikan dalam sejarah baru-baru ini, masjid-masjid telah lama menjadi target, dari serbuan polisi di Prancis hingga serangan di Jerman.
Hanya dalam tahun 2017, polisi menanggapi hampir 1.000 serangan ke masjid di Federal Republik, berarti setiap tiga hari, satu masjid menjadi target. Situs Bridge Initiative telah memetakan kejahatan kebencian dan serangan terhadap masjid sejak 2015.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tidak heran, masjid memainkan peran penting dalam manifesto yang diposting oleh teroris supremasi putih sebelum serangan.
“Kami akan menghancurkan setiap masjid dan menara di kota Konstantinopel,” katanya, merujuk pada nama lama Istanbul ketika itu di bawah kekuasaan Kristen. Dia sengaja memilih masjid Christchurch karena, baginya, “memiliki lebih banyak penjajah” dan mewakili “bangunan asing yang optik” dan memiliki hubungan dengan “ekstremisme”. Masjid baginya merupakan objek dari bermacam-macam perbedaan; ekstremisme, asing, supremasi (melalui diperolehnya properti). Inilah crisis of whiteness yang dialami teroris, yang diproyeksikan pada salah satu tanda paling terlihat dalam kehidupan Muslim.
Dengan demikian, menantang serangan teroris ini mengharuskan kita untuk terutama menantang wacana lebih luas yang telah memungkinkan diskriminasi legal terhadap Muslim yang juga telah membuka jalan bagi penghancuran mereka, yang kita saksikan dalam pembantaian baru-baru ini.
Farid Hafez adalah seorang peneliti senior di Departemen Ilmu Politik, Universitas Salzburg dan peneliti senior di Bridge Initiative di Universitas Georgetown. Artikel dimuat Anadolu Agency, diterjemahkan Nashirul Haq AR