Oleh: Ty Joplin
RENCANA China untuk mengarahkan kembali ekonomi dunia ke Beijing saat ini telah resmi mencapai Timur Tengah.
Pada 9 Juli, Presiden China Xi Jinping menjanjikan pinjaman $20 miliar kepada Timur Tengah serta $106 miliar untuk bantuan pembangunan, termasuk $15 juta untuk Palestina.
Janji itu menandai masuknya Belt and Road Initiative China ke wilayah itu, namun para ahli berbeda pendapat mengenai niat atau tujuan China terkait hal tersebut. Sedikit yang diketahui tentang apa yang China inginkan di Timur Tengah, karena negara Komunis itu baru saja menjadi pemain penting di wilayah.
Tetapi rekam jejak China dalam dunia pembangunan adalah segalanya, negara-negara yang yang ditetapkan menerima pinjaman atau hutang harus berhati-hati dengan apa yang mereka inginkan. Benar hal itu membantu mendorong proyek infrastruktur, namun manfaat dari pinjaman itu seringkali mengalir kepada China dan perusahaan-perusahaan China, serta memperburuk perpecahan ekonomi dan bahkan dapat memenjarakan ke dalam perangkap hutang.
Penerima pinjaman China seperti Jordania, Yaman, Suriah dan Libanon semuanya “secara signifikan” beresiko terjerumus ke dalam perangkap hutang, menurut sebuah penelitian, yang berarti pinjaman-pinjaman itu lebih banyak menyebabkan keburukan daripada kebaikan.
Beberapa orang telah memperingatkan bahwa China sedang terlibat dalam sebuah proyek neo-kolonial baru tersembunyi berkedok bantuan pembangunan.
Yang Kami Ketahui
Janji finansial Xi Jinping akan menyediakan pinjaman dan sejumlah dana untuk Libanon, Suriah, Yaman, Jordania dan Palestina hanya mendapat sedikit peliputan sementara kesepakatan itu sangat penting.
Bantuan $15 juta kepada Palestina akan datang pada saat warga Palestina semakin merasakan beban penjajahan dengan Israel yang memperketat peraturannya atas ekonomi Palestina. Sementara China berhasil mempertahankan hubungan netral namun produktif baik dengan Israel maupun Palestina dan memilih pendekatan “lepas tangan” terhadap konflik Zionis, dana bantuan itu cukup besar dan dapat menandai awal dari lebih banyak bantuan pembangunan semacam itu di wilayah tersebut.
Jinping juga menyatakan bahwa pinjaman yang dijanjikan akan menyokong “rekonstruksi ekonomi,” dan “kebangkitan kembali industry,” dengan berfokus pada minyak dan gas.
Pinjaman itu menunjukkan akselerasi besar-besaran dalam rencana China untuk Timur Tengah.
Baru-baru ini pada Maret, 2018, para ahli memprediksi bahwa China tidak akan melibatkan Yaman atau Suriah dalam waktu dekat.
Namun Xi Jinping mungkin merasakan kemungkinan untuk berinvestasi di wilayah tersebut, dan telah menyambarnya dengan tepat. Jumlah total pinjaman itu beberapa kali lebih tinggi daripada pinjaman apapun yang pernah diterima negara-negara ini dari China. Jordania awalnya memiliki hutang $200 juta kepada China, sampai saat ini telah mencapai $500 juta.
Pinjaman ini mungkin akan melihat hutang yang meroket hingga miliaran dolar.
Itu tentu saja tidak akan menjadi masalah, namun Pusat Pembangunan Global memperingatkan bahwa Jordania, Suriah, Libanon dan Yaman beresiko secara “signifikan” terbelenggu “hutang,” yang dengan kata lain, negara-negara ini mungkin tidak dapat membayar hutang ke China bahkan meski hutang sederhana dan dapat jatuh ke dalam perangkap hutang yang kejam.
Ini akan memberi China pengaruh signifikan atas mereka sementara memberikan China pilihan untuk secara esensial mengambil proyek-proyek pembangunan untuk keuntungan mereka sendiri.
Ini akan membalikkan setiap potensi keuntungan yang didapat dari proyek-proyek konstruksi yang awalnya didanai dari pinjaman.
Baca: Sri Lanka Negara Asia Pertama Masuk Perangkap Utang China
Catatan merugikan China dalam pembangunan
Misteri menyelimuti ambisi khusus China di Timur Tengah, dan ada sedikit konsensus mengenai tujuan menyeluruh program pinjaman China di negara-negara berkembang, namun beberapa contoh mengganggu ada ketika negara-negara tidak dapat membayar kembali hutang mereka.
Pinjaman China kepada negara dengan suku bunga jauh lebih tinggi daripada lembaga perbankan internasional lain. China dapat meminjamkan uang kepada negara dengan suku bunga setinggi 6,3 persen, membuatnya lebih mungkin bagi negara-negara yang berjuang dan berkembang tidak akan mungkin membayar kembali hutang dan gagal membayar hutang mereka.
Banyak analis dan pembuat kebijakan mengutuk proyek-proyek pembangunan China sebagai semacam neo-kolonialisme yang mencakup eksploitasi hutang yang diketahui akan menambatkan ekonomi secara langsung kepada keinginan China.
Mantan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menuduh China terlibat dalam “praktik pinjaman predator,” sementara J Xiaovhen menulis di The Diplomat dimana pendapatnya mengatakan, skema pinjaman itu “mewakili jenis baru neokolonialisme.”
Contoh yang paling sering dikutip ialah pelabuhan di Sri Lanka yang saat ini dikendalikan China.
Pada Desember, 2017, Sri Lanka menyerahkan kontrol efektif atas Pelabuhan Hambantota kepada China karena negara tersebut tidak dapat membayar pinjaman yang diterimanya dari China yang memiliki bunga 6,3 persen.
China menandatangani sewa 99 tahun pelabuhan itu, dan memberi negara Komunis itu sebuah pelabuhan baru.
“Ketika sebuah negara menjadi target investasi dan pinjaman “Belt & Road Initiative” Mr. Xi, itu harus mengingatkan kembali dirinya bahwa pada akhirnya akan berarti ‘Akses Inisiatif Pelabuhan dan Angkatan Laut,’” untuk angkatan lautnya, kata analis China Bonnie Girard dalam sebuah wawancara dengan Al Bawaba.
“Pada akhirnya, inilah yang sedang dibangun China. Kekuatan lembut hari ini adalah kekuatan keras besok… Oleh karena itu, semakin banyak air di sekitarnya yang dimiliki sebuah negara, semakin tertarik China untuk membuat kesepakatan dengan negara itu.’
Namun, ahli lain tidak yakin hal itu merupakan tujuan akhir China.
“Ini bukanlah tentang memperluas jangkauan militer China,” jawab Deborah Bräutigam, professor di Sekolah Studi Internasional Lanjutan Johns Hopkins.
“Di saat yang sama, angkatan laut China semakin berkembang dan seiring pertumbuhannya, China akan meningkatkan diplomasi militer mereka dan menegosiasikan akses angkatan lautnya. Namun mereka tidak harus membangun infrastruktur yang rumit untuk mendapatkan akses angkatan laut.”
Bräutigam juga dengan cepat menunjukkan bahwa tujuan China bukan untuk “memberdayakan negara berkembang namun untuk menggunakan kapasitas konstruksi China sendiri dengan cara yang dapat menghasilkan bisnis bagi perusahaan-perusahaan China.
Belt and Road Initiative China yang ambisius sejauh ini telah melibatkan hampir 80 negara, dan Jinping telah mengklaim inisiatif ini akan sepenuhnya mengubah infrastruktur masing-masing negara, menyederhanakan kemitraan ekonomi dan memfasilitasi pertumbuhan.
Beberapa negara mungkin mengalami peningkatan ekonomi, namun negara lain, terutama negara miskin atau negara yang ekonominya tidak stabil seperti Jordania, Suriah, Yaman dan Libanon mungkin berpikir dua kali sebelum menerima pinjaman multi-miliar dollar yang tidak dapat dibayarkannya.*/Nashirul Haq AR
Penulis adalah Profesor di Haverford, Barak Mendelsohn, penulis kolom di Al Bawaba