AMERIKA SEIKAT sedang mempertimbangkan mengurangi atau mengakhiri kehadiran militernya di Suriah, demikian menurut Presiden Donald Trump. Di Ohio minggu lalu, Trump mengatakan, “Kami akan keluar dari Suriah, segera.”
Menurut laporan CNN, dia mengatakan pada para penasihatnya di bulan Februari bahwa Amerika harus meraih kemenangan atas ISIS dan kemudian kembali pulang.
The Wall Street Journal juga melaporkan bahwa Gedung Putih menunda penyaluran dana $200 juta yang seharusnya dikirim untuk membangun infrastruktur sipil dan stabilisasi di Suriah utara.
Perubahan tiba-tiba kebijakan AS itu terjadi setelah pemerintahan AS melewati 2017 dengan mengindikasikan bahwa negara tersebut mempersiapkan kehadiran jangka panjang di Suriah. Amerika mengatakan ingin Bashar Assad lengser dan bahwa akan terus bekerja dengan parternya di Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang telah menjadi pasukan terdepannya dalam mengalahkan ISIS.
Trump membual, AS akan menetap
Komentar-komentar Gedung Putih bertentangan dengan kebijakan Pentagon tentang Suriah. Sebuah laporan NBC pada 30 Maret mengklaim bahwa tentara AS merasa kurangnya konsistensi kebijakan dari Washington mengganggu perang terhadap ISIS. Trump selalu menunjukkan bahwa dia merupakan presiden “Amerika pertama” yang skeptis terhadap perang di luar negeri dan keterlibatannya. Komentar-komentarnya tentang Suriah mencerminkan itu.
Meskipun begitu, Trump juga terpikat dan mendengarkan para jenderal tingginya, terutama Menteri Pertahanan James Mattis, yang telah mengindikasikan bahwa AS akan tinggal di Suriah.
Pertanyaannya ialah apa yang Mike Pompeo, yang akan mengambil alih di Departemen Luar Negeri AS, dan John Bolton di Dewan Keamanan Nasional, pikir tentang Suriah. Mengembangkan sekutu di Suriah utara tidak hanya menjadi kunci dalam mengalahkan ISIS namun juga berfungsi untuk memblokir pengaruh Iran, yang menjadi perhatian Pompeo dan Bolton.
Baca:
Mungkin saja komentar Trump tidak akan menghasilkan perubahan kebijakan yang besar. Trump juga mendesak peninjauan ulang operasi di Afghanistan pada tahun lalu dan kemudian memutuskan untuk tetap terus membajak. Pemerintahannya juga menginginkan Arab Saudi untuk meningkatkan dukungan finansial untuk Suriah utara dan komentarnya mungkin merupakan cara untuk menyinggung pihak lain untuk melakukan lebih banyak.
Turki, Iran dan Rusia mengambil keuntungan dari mundurnya AS
Turki dijadwalkan menyelenggarakan pertemuan tentang Suriah dengan Rusia dan Iran pada 4 April 2018 ini, di mana presiden dari tiga negara itu diharapkan hadir.
Ini merupakan sebuah perkembangan serius yang telah muncul sejak tahun lalu ketika Iran, Rusia dan Turki menumbuhkan kedekatan dalam kebijakan Suriah. Mereka semua memiliki alasan mereka sendiri untuk menentang AS di Suriah. Turki menganggap Unit Perlindungan Rakyat Kurdi, yang merupakan bagian dari SDF, adalah teroris, dan Turki mengobarkan perang melawan mereka di provinsi Afrin Suriah antara Januari hingga Maret tahun ini. Turki ingin mengurangi pengaruh AS dan telah mengancam akan melancarkan operasi di Manbij, di mana pasukan AS bermarkas.
Rusia menginginkan AS keluar dari Suriah karena Moskow mendukung rezim keji Bashar al Assad. Rusia juga marah karena Negara Barat telah mengusir sekitar 150 diplomatnya dalam beberapa minggu terakhir. AS mengusir 60 diplomat Rusia pada akhir Maret sebagai tanggapan atas pengecaman Inggris pada Rusia karena upaya pembunuhan dengan racun mantan intelejen Rusia. Rusia ingin memberikan AS kekalahan memalukan di Suriah.
Iran juga menentang AS di wilayah itu dan ingin membalikkan pengaruh AS di Suriah. Negara itu telah sukses memberikan AS sebuah kekalahan di Iraq dengan mengurangi pengaruh Pemerintahan Regional Kurdistan dan menempatkan sekutunya sendiri di pemerintahan tinggi di Baghdad.
Menyingkirkan orang Amerika di Suriah akan mengurangi rintangan lain terhadap koridor pengaruh Teheran yang membentang hingga Beirut.
Bencana lain mengikuti Kurdi
Jika AS meninggalkan Suriah utara itu akan memberikan wilayah yang telah dibebaskan dari ISIS ke serangkaian musuh kemerdekaan. Ini khususnya meliputi Bashar al Assad. Meskipun begitu, pengaruh apapun dari kelompok oposisi dukungan Turki – yang belum membuktikan diri atau menyajikan pengaturan hak-hak sipil di wilayah lain yang telah mereka kuasai di Suriah – mungkin bisa akan menjadi sebuah bencana bagi perkembangan yang telah dibuat di Suriah utara.
AS telah keluar dari permainan promosi demokrasi, tetapi menjauh dari Suriah utara setelah investasi semacam itu akan menunjukkan bahwa negara itu tidak setia pada partner dan sekutunya.
Ribuan etnis Arab, Kurdi dan kelompok lain bergabung dengan SDF untuk membantu mengalahkan ISIS. Mereka meyakini AS akan bersama mereka. Mereka ingin kota-kota mereka dibangun ulang dan ribuan ranjau yang ditinggalkan ISIS dibersihkan. Semua itu dijanjikan AS pada tahun lalu, namun sebagian besar dukungan itu belum tiba. Ini telah merusak kelompok, seperti Yazidi dan lainnya, yang merupakan korban ISIS dan mereka yang mengalami penganiayaan pada 2014 merupakan alasan AS melancarkan operasi “Inherent Resolve”.
Baca: Amerika Kerahkan Ratusan Marinir Bersenjata Lengkap ke Suriah
Jika AS pergi, itu akan kesulitan menemukan partner secamam ini lagi. Jika AS menyerahkan mereka pada Iran dan Rezim Bashar al Assad, mereka akan mengerti bahwa Amerika merupakan partner yang sikapnya berubah-ubah.
Kembalinya ISIS
ISIS telah memulai pemberontakan baru di banyak tempat di Iraq yang dianggap telah dibebaskan. Lusinan orang terbunuh oleh serangan ISIS di beberapa bagian provinsi Kirkuk dan sekitar Hawija. ISIS sangat baik dalam bersembunyi, seperti yang dilakukannya pada tahun 2010 setelah operasi militer pimpinan AS di Iraq.
Meninggalkan Suriah tanpa mengalahkan ISIS akan berarti tentakel ISIS akan kembali tumbuh dan mulai mengancam lembah Sungai Efrat lagi. ISIS yang bergerak antara Iraq dan Suriah dan memanfaatkan kelemahan kedua negara untuk tumbuh.
Untuk tetap berpengaruh, ia mengeksploitasi kekosongan kekuasaan dan perselisihan antara AS, Turki, Iran, rezim Assad dan kelompok oposisi.
Jika AS menarik diri atau secara terbuka menunjukkan mundur dari Suriah, hal itu akan memberi kekuatan ISIS.
Perebutan kekuasaan menyebabkan banyak pertumpahan darah
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Isyarat yang AS berikan bahwa ia akan mundur telah menyebabkan pihak lain berupaya mencari pengaruh di Suriah timur. Rezim di Damaskus sedang berupaya merayu suku-suku Sunni di Lembah Efrat. Omar Allous, pejabat Kurdi di Suriah timur, baru-baru ini ditemukan terbunuh. Dia merupakan tokoh utama dalam kebijakan AS pasca ISIS dan bekerja dengan Kurdi untuk menstabilkan wilayah. Kematian seperti itu akan banyak terjadi jika AS pergi.
Setiap rumor atau tindakan AS yang sebenarnya untuk mengurangi kehadirannya di Suriah utara akan memulai perebutan kekuasaan di wilayah dan meningkatkan kekacauan di Suriah timur. Selama bertahun-tahun, Assad dengan ahli telah memanipulasi masyarakat internasional untuk menjauhkan perhatian dari penindasannya dengan menggunakan kebijakan “lesser of two evils”.
Ketika ISIS tumbuh diantara pemberontakan Suriah pada 2014, masyarakat internasional mulai memfokuskan kebijakan Suriah untuk membersihkan negara ISIS. Sama seperti Turki, yang awalnya tertarik mendukung oposisi, telah mengalihkan fokusnya yang kemudian berupaya mengurangi pengaruh YPG di Suriah.
Langkah mundur AS apapun akan merupakan kemenangan bagi Assad dan menyebabkan kekacauan dan eksploitasi di wilayah Suriah utara yang baru saja pulih dari perang atas ISIS. Hal terakhir yang rakyat di Suriah timur butuhkan ialah tiba-tiba menjadi pusat perebutan pengaruh antara Turki, Damaskus dan pemain lain yang ingin memanfaatkan inkonsisten AS. Perancis yang berkomentar bahwa pihaknya akan mengirimkan tentara ke Manbij di Suriah utara, akhirnya harus menarik pernyataannya karena memicu kemarahan Turki, hal itu menunjukkan bahwa komentar AS apapun dapat melepaskan instabilitas.
AS mungkin berada dalam Catch-22 (situasi paradoksikal dimana seorang individu tidak dapat melarikan diri karena aturan yang bertentangan). Istilah ini diciptakan oleh Joseph Heller, yang menggunakannya dalam novelnya tahun 1961, Catch-22). Semakin lama ia tinggal, semakin lama ia harus tinggal agar tidak memperburuk keadaan negara. Trump mungkin mempunyai banyak alasan untuk menghindari itu. Tetapi pergi sekarang tentu saja muncul sebagai pilihan yang dapat menyebabkan pertumpahan darah, teror kekacauan dan kerugian terhadap kebijakan AS.*/Nashirul Haq AR, bahan diambil dari orient-news.net