BEGITU situasi di Mesir mulai mereda, meletuslah krisis Iraq, pada saat situasi di Yaman mengarah kepada pemulihan stabilitas, situasi di Suriah semakin berdarah-darah. Itulah gambaran situasi umum di kawasan dalam tahun 2013 ini, dengan titik api yang masih terus menyala di Suriah sehingga harapan akan tercapai solusi politis semakin redup.
Ada satu kata yang mungkin paling tepat menggambarkan negeri Suriah pasca pidato Presiden Bashar Assad bahwa negeri itu akan semakin berdarah-darah pada 2013 ini. Lewat pidato yang disampaikan di depan pendukungnya, Ahad (06/01/2012), Assad menolak mundur dan secara tersirat merasa masih kuat dan siap mempertahankan kekuasaannya hingga titik darah penghabisan sehingga solusi militer semakin dikedepankan oleh kedua pihak (rezim dan oposisi).
Tidak ada yang baru dari isi pidato tersebut bahkan terkesan seperti pidato ketika situasi negeri itu masih seperti dua tahun yang lalu saat unjukrasa damai menuntut perubahan baru dimulai sebagai rangkaian dari “musim semi” Arab merambah sejumlah negara Arab. Dengan demikian, terkesan pidato tersebut sebatas basa-basi untuk sekedar mengingatkan publik dalam dan luar negeri bahwa ia masih eksis.
Karenanya tidak aneh bila pidato itu menimbulkan kecaman luas dari oposisi dan dunia internasional umumnya, kecuali sekutu Assad khususnya Iran yang menyambut hangat. Ia kelihatannya masih kokoh menolak mengambil pelajaran dari pendahulu-pendahulunya yang sudah “tumbang” semisal Zainal Abidin Ben Ali, Tunisia, Hosni Mubarak, Mesir dan Muammar Kaddafi, Libya.
Ketiga bekas pemimpin Arab yang jatuh akibat “badai” musim semi Arab itu, juga sebelumnya mengecap rakyat mereka dengan label yang hampir sama dengan yang diberikan Assad kepada rakyatnya yang mendesak dilakukannya perubahan karena mereka telah bosan dengan status quo. Penampilan Assad tersebut ibarat potret pendahulu-pendahulunya yang sudah terlebih dahulu berjatuhan.
Koalisi oposisi Suriah menilai bahwa pidato itu hanya taktik Assad untuk membatalkan upaya diplomatik dalam menyelesaikan krisis yang sedang terjadi di negara tersebut. Juru bicara dari Koalisi Suriah, Walid al-Bunni menilai bahwa tidak ada dasar bagi Bashar Assad kecuali seperti diktator lain di dunia, ia meskipun dalam keadaan terdesak, masih percaya diri dia mampu memulihkan situasi sesuai yang diinginkannya.
Salah seorang analis menganggap, pidato yang berlangsung di gedung opera ibukota Damaskus itu sebenarnya sudah cukup sebagai indikasi bahwa Assad sebenarnya dalam keadaan terdesak. Sudah tidak ada tempat yang aman baginya kecuali tempat persembunyian yang selalu berpindah-pindah akibat serangan dari tentara kebebasan anti rezim yang dilaporkan hingga kini, masih terus membukukan kemajuan militer di lapangan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Bila demikian halnya, pidato tersebut ibarat ultimatum bahwa ia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, tapi dengan cara membukusnya dalam kado berisi tawaran “solusi damai” yang sejalan dengan kepentingan kelanggengan kekuasaannya. Ia misalnya sengaja menonjolkan tekadnya untuk “menghabisi” perlawanan dari kelompok Salafi dan apa yang disebutnya kelompok takfir (mengkafirkan golongan Muslim yang tidak sepaham).
Sedangkan perlawanan yang lain dianggap sebagai tentara bayaran dari luar negeri, pengkhianat dan musuh rakyat sehingga musuh rakyat tempat kembalinya adalah neraka. Assad merasa tidak melihat ada mitra oposisi yang bisa diajak berdialog untuk mencapai solusi damai karena mereka semuanya adalah pengkhianat bangsa.