Siapa yang tak kenal Ustadz Abdul Somad (UAS). Sosok ustadz yang bersahaja dengan gaya ceramahnya yang khas sering muncul di sosial media lewat video atau audio.
Ia mampu membawa para jamaahnya larut dalam suasana islami, tanpa dibuat-buat, tanpa dipaksa, dan tanpa ditakut-takuti. Kadang gelitik jamaahpun ikut mewarnai seringai ceramahnya yang ringan dan tetap berbobot itu.
Namun, masih lekat di benak kita deportasi yang dilakukan terhadap Beliau pada 26 Desember lalu saat kunjungannya ke Hong Kng. Yang lebih mengiris, UAS bahkan tak sempat menyapa jamaah karena langsung dihadang saat keluar pintu pesawat. Hingga isakan tangis para jamaahpun pecah ketika UAS melakukan video call. Ini bukanlah kali pertama persekusi terhadapnya. Sebelumnya di bulan yang sama juga terjadi saat kunjungannya ke Bali, bahkan kemarin, ceramahnya pun ditolak di Masjid Nurul Falah PLN Disjaya.
Persekusi terhadap ulama bukan yang pertama terjadi. Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) lebih dahulu merasakannya saat memenuhi undangan di Cirebon. Sampai menyeruak isu akan ada saling serang antara kelompok Islam karena UBN ini. Begitu pula yang pernah terjadi di Bangil, Pasuruan terhadap Ustadz Felix Siauw, dan persekusi lainnya yang beruntun terjadi sejak aksi besar umat Islam 212. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat, mengapa demikian?
Baca: Ceramah Ustadz Somad di PLN Dibatalkan, Panitia Minta Maaf pada Masyarakat
Ulama adalah pewaris para nabi. Dari lisan para ulama Islam tersampaikan mulai penjuru kota hingga ke sudut-sudut desa. Para ulama inilah yang memuaskan dahaga umat akan ilmu Islam, meneruskan dengan lurus estafet warisan para nabi, dan menjaga umat senantiasa berada dalam koridor Islam. Tak henti para ulama ini menyeru manusia ke jalan Islam dengan ikhlas, sabar, dan tak kenal lelah. Tujuanya hanya satu, agar Islam tetap tersampaikan, apapun resiko yang akan diterima.
Seruan ini lambat laun membangkitan perasaan dan pemikiran umat akan Islam. Umat mulai paham bahwa Islam tak hanya sebatas agama ritual, namun ajaranya juga mampu diterapkan sampai tataran negara. Gelombang kebangkitan umat satu per satu mulai muncul. Dari kesadaran menolak pemimpin kafir, mulai berlepas diri dari riba, hingga pernyataan salah satu toko kue yang menolak membuat kue untuk perayaan agama lain. Hal ini tentu tak disukai para pembenci islam. Digencarkanlah isu islamophobia yang memang sudah digaungkan sejak dulu.
Mereka menghembuskan isu islamophobia dengan memfitnah para ulama menebar ujaran kebencian, anti toleransi, anti pancasila, dan anti NKRI. Tak cukup sampai disitu, dibuatlah isu teroris yang selalu dikaitkan dengan Islam. Isu ini semakin merajalela tatkala dakwah Islam mulai bangkit.
Persekusi terhadap Islam (baca; kelompok Islam) dan para ulama digencarkan dengan alasan radikal dan teroris yang tidak masuk akal dan tak terbukti sama sekali. Ditambah lagi dengan sistem saat ini yang seolah mendukung terjadinya diskriminasi terhadap Islam dan ulama.
Hal ini terbukti dengan sikap netral dan plin plan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah saling oper-operan tanggung jawab, yang di banyak kasus bahkan tak ada penyelesaian. Berbeda sekali jika hal serupa terjadi pada selain Islam, dengan sigap pemerintah melakukan penyelesaian, penjagaan, dan perlindungan.
Kalau dikaitkan ke peran pemerintah, kendali utama ada pada negara. Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia seharusnya mampu melindungi dan menjaga penduduknya dari diskriminasi dan islamphobia. Jika ada sedikit saja geliat islamphobia, negara cepat melakukan antisipasi. Negara juga harus mampu mengcover islampobhia agar tidak semakin menyebar. Dan negara harus bertindak tegas terhadap pelaku islamphobia agar mereka jera.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Namun yang ditunggu ternyata tak jua datang. Sampai sat ini belum ada tindakan nyata dari pemerintah maupun aparat atas persekusi-persekusi yang terjadi. Terlihat sekali pemerintah seperti disetir oleh kekuatan yang besar yang memaksa mereka memilih bungkam. Khawatir salah kata dan membuat marah majikan. Pun halnya dengan presiden, tak sepatah katapun keluar yang kiranya akan menyejukkan hati umat. Padahal geliat kebangkitan ini tak akan bisa dibendung. Umat butuh sikap yang pasti dari pemimpin negara, tak sekedar menunggu tanpa kepastian. Dan jika terlalu lama umat menunggu, akan ada gelombang keuatan yang lebih besar lagi yang akan membuat para pembenci Islam diam dan tak mampu melakukan perlawanan sedikitpun.*
Humaida Aulia
Guru di STP Khoiru Ummah Tingkat Dasar Jatisampurna, Bekasi, komunitas Belajar Nulis Revowriter