MARI memutar memori kita kebelakang hari. Ratusan abad yang lalu, di kota Mekah lahir seorang manusia yang kelak paling berpengaruh di dunia yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Mungkin kita tak pernah benar-benar ada di zaman saat beliau lahir, saat masih hidup , bahkan saat beliau meninggal. Kita hanya bisa mendengar kisah hidup beliau melalui Sirah.
Tak pernah melihat sosok itu bukan berarti kita tak bisa mencintai Rasulullah. Karena tanpa pernah bertemu kita pun, rasul sungguh rindu dengan kita.
Hal ini sebagaimana di ceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah bersabda ketika berkumpul bersama sahabat-sahabatnya;
“Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan saudara-saudaraku.” Apakah maksudmu brkata demikin ya Rasulullah? Bukankah kami saudara-saudara mu?”Abu Bakar bertanya. “Tidak wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabat ku tetapi bukan saudara-saudaraku” kata Rasulullah. “Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat lain pula. Rasulullah menggelengkan kepala kemudian bersabda, “Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka adalah saudara-saudara ku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku”.
Dari riwayat diatas, Rasulullah begitu merindukan kita umatnya yang tak pernah melihat beliau. Semua itu adala bukti kecintaan Rasul kepada kita. Sudah sejauh mana kita membalas cinta Rasul?
Sebelum kita membalasnya, harusnya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu makna cinta kepada Rasul dan bagaimana cara mencintai Rasul . Menurut Al-Azhari “Arti cinta seoang hamba kepada Allah dan rasul-Nya adalah menaati dn mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, untuk mencintai kita dapat membuktikannya lewat ketaatan kepada apa-apa yang diperintahkan oleh orang yang kita cintai, yaitu apa-apa yang diperintahkan Rasul.
Maka dari itu esensi dari cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam dengan memperingati kelahirnanya bukan sekedar seremoni saja, tapi harus dibuktikan juga dengan ketaatan yang total. Dimana tanpa memilah milih perintah apa yang akan ditinggalkan dan perintah apa yang akan di lakukan menurut kesukaa kita. Ketaatan yang total juga tercermin dari penerapan Islam secara kaffah. Tidak hanya dimensi vertikal (ibadah) dan dimensi intenal (akhlak, pakaian) tapi juga dimensi horizontal (muamalah, ukbat, sosoail, politik, ekonomi, dll). Dengan kecintaan dan ketaan yang total itu kita bisa dikatakan bena-benar mencintai Rasulullah. Oleh karena itu sudah selayaknya kita membalas cinta rasul denga balasan terbaik, dengan cara menerapkan Islam secara kaffah dan jangan biarkan cinta Rasulullah bertepuk sebelah tangan.*
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Nurjihan Begum Amir
Mahasiswi Psikologi Univrsitas Padjadjaran