RAMADHAN 1434 H ini adalah Ramadhan yang ke-3 saya di Malaysia. Walaupun populasi Islam kurang lebih 60 persen, namun kemeriahan menjalankan Ramadhan sudah terasa sejak sebulan sebelumnya, seolah-olah mendominasi semua berita dan aktivitas penduduk. Jawatan Kuasa (Panitia) Ramadhan dibentuk mulai dari tingkat kampung sampai ke tingkat nasional di masjid, surau-surau, kantor–kantor di seluruh penjuru negara. Pedagang-pedagang juga turut mempersiapkan dagangannya terutama para pedagang makanan.
Di setiap Bandar (Kota) dan Pekan (kota tingkat kecamatan) biasanya diselenggarakan Pasar Ramadhan, dikenal dengan istilah Bazar Ramadhan. Yaitu pasar yang hanya berlangsung selama Ramadhan, biasanya didominasi oleh pedagang musiman. Sambutan masyarakat sangat baik, seolah-olah masyarakat sangat bergantung pada Bazar Ramadhan, seolah-olah juga kesan Ramadhan ini diwakili oleh Bazar Ramadhan.
Dagangan yang dijual hampir seluruhnya adalah makanan dan minuman. Satu minggu sebelum Ramadhan harga-harga mulai meroket, kerajaan (pemerintah) dibuat sibuk melakukan operasi pasar untuk menjaga stabilitas harga. Dalam hal pemahaman tentang syariat Islam, secara umum dapat dikatakan seragam. Jarang dijumpai kelompok dengan pemahaman agama yang berbeda.
Penentuan awal Ramadhan ditentukan oleh rapat majelis raja-raja di Malaysia berdasarkan pandangan langsung penampakan bulan di berbagai tempat, di berbagai negeri (propinsi). Seperti apa yang saya alami begitu juga informasi yang saya terima, Malaysia tidak pernah mengalami perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan.
Saya bermukim di Negeri Kelantan, sebuah propinsi yang pemerintahannya dikuasai dan dikendalikan oleh Partai Islam. Kehidupan bermasyarakat di negeri ini diusahakan mengikuti syariat Islam. Dalam bulan Ramadhan semua rumah makan ditutup, suasana berpuasa sangat terasa. Sebaliknya di malam hari semua kedai makan (restoran, warung, dan lain-lain) dibuka bahkan hingga menjelang Imsak.
Cuci Piring Sendiri
Masjid-masjid dan surau-surau selalu menyediakan makanan berbuka puasa terutama bagi musafir. Sudah menjadi kewajiban bagi masjid-masjid untuk menyediakan makanan “berat”, selain kue-kue bagi umat Islam yang berbuka puasa di tempat tersebut. Masjid Muhammadi, Kota Bharu misalnya, masjid utama yang paling populer di Kelantan ini selalu mampu menyediakan makanan puasa bagi 400 orang setiap harinya.
Kebiasaan bersih sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat hingga ke kampung-kampung. Setiap selesai berbuka, setiap orang mencuci alat makan yang digunakan dan membuang sisa-sisa makanan di tempat yang sudah disediakan. Kebiasaan yang baik untuk ditiru. Pada umumnya, masjid-masjid di Malaysia selalu bersih termasuk toilet dan tempat wudhu.
Saat bulan Ramadhan seperti ini, biasanya Shalat Tarawih saya laksanakan di berbagai masjid berbeda. Satu hal yang sangat mengesankan saya, di semua masjid suasana beribadah senantiasa syahdu dan senyap, sekalipun Tarawih selalu diikuti oleh banyak anak kecil. Sama dengan suasana di negeri kita Indonesia, awal Ramadhan biasanya masjid penuh dan sesak. Semakin dekat Raya (Hari Raya Idul Fitri) peserta Tarawih semakin berkurang.
Imam-imam masjid umumnya berlatar belakang pendidikan agama yang baik. Kebanyakan mereka adalah lulusan pendidikan tinggi agama yang formal, bahkan di beberapa masjid imamnya adalah lulusan Al-Azhar, Kairo, Mesir, sekalipun masjid-masjid tersebut berlokasi di kawasan kampung atau pedalaman.
Pelaksanaan kegiatan dan aktivitas masjid dikontrol sepenuhnya pemerintah setempat. Pimpinan pemerintahnya disebut Mufti. Imam-imam di masjid kebanyakan, jika tidak semuanya, diberi gaji oleh pemerintah untuk masjid tingkat Daerah atau Jajahan (Kabupaten). Saya pernah diberi tahu, gaji rata-rata imam masjid RM 3000 perbulan (sekitar Rp 9 juta), sedangkan bilal (muadzin) dan pengurus lainnya bergaji lebih kecil. Operasional masjid pun ditanggung oleh kerajaan negeri (Pemerintah Propinsi).
Mat Rempit
Suasana Ramadhan disini memang sangat meriah. Malam awal Ramadhan selalu disemarakkan oleh letusan mercon atau petasan di mana-mana. Letusan itu sambung-menyambung, semakin hebat pada satu atau dua malam menjelang Raya. Selain mercon dan petasan, meriam-meriam yang dibuat dari bambu turut menyemarakkan “perang” di bulan Ramadhan.
Di tempat tertentu, kegiatan lain juga berlangsung ‘balapan liar’ oleh Mat Rempit –sebutan untuk para pembalab liar– hingga menjelang Imsak. Semua aktivitas ini sesungguhnya terlarang, bagaimanapun pihak yang berwajib cukup bertenggang rasa dan dapat memahami semangat penduduk menyambut Ramadhan.
Kesemarakan bulan Ramadhan di Malaysia inilah yang mungkin mendorong sebagian pegawai-pegawai di kantor saya mengambil cuti untuk menikmati awal Ramadhan. Persembahan program saluran televisi berbeda dengan program Ramadhan di televisi-televisi Indonesia. Semua program di sini diisi dengan ceramah pengajian dan kisah-kisah yang relevan. Tidak ada program lawak-lawakan Ramadhan. Acara televisi selama bulan Ramadhan semuanya berisi kegiatan tadarus atau sinetron Islami.
Kelantan khususnya Jajahan Jeli tempat saya bermukim ini berbatasan langsung dengan Propinsi Narathiwat, Thailand. Bukan sebuah kebetulan, malam Ramadhan saya melakukan kunjungan ke Prince Songkla University di Kota Pattani, dan Hat Yai di Thailand. Walaupun kawasan-kawasan propinsi di Thailand Selatan ini –Narathiwat, Pattani, Songkla, Yala, dan Satun– didominasi oleh penduduk Islam dengan kultur Melayu yang kuat, keadaan menyambut Ramadhan sedikit berbeda dengan Malaysia.
Mereka menjalani suasana berpuasa diliputi dengan sedikit ketegangan. Sebab, aktivitas “pemberontakan” tentara Islam PULO (Pattani United Liberation Organization) berlangsung secara sporadis, pengeboman dan penembakan menjadi berita biasa, jalan-jalan menuju ke kota-kota di kawasan Thailand Selatan dirazia oleh tentara di mana-mana. Upaya memerdekakan Thailand Selatan dari kekuasaan bangsa Siam Thailand belum terwujud.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kurang Lebih Indonesia
Suasana bersahur di Malaysia juga berbeda dengan suasana bersahur di Indonesia. Sahur adalah tanggung jawab masing-masing, tidak ada orang atau petugas yang membangunkan penduduk. Teringat kampung saya di Bekasi, Jawa Barat, setiap sahur satpam kompleks berjalan keliling kompleks membangunkan warga dengan berbagai cara.
Waktu menjelang berbuka membuat saya sedikit kagok. Sebab tetangga seperti memahami keadaan saya sebagai pendatang di Malaysia. Kiriman makanan dan kue terus mengalir, saya tidak punya kesempatan untuk membalas hantaran tersebut.
Pada umumnya, keseriusan dalam menjalankan ibadah khususnya ibadah puasa di Malaysia kurang lebih sama dengan di Indonesia. Perbedaan yang terjadi dalam hal-hal tertentu. Umat Islam di Malaysia sebut saja 95 persen, jika tidak keseluruhannya, menganut paham syariat Mazhab Syafi’i. Secara mudah saya dapat menyamakannya dengan umumnya warga Nahdatul Ulama (NU) di Indonesia.
Pelaksanaan agama di Malaysia dikontrol penuh oleh negara, sementara di Indonesia kebebasan menjalankan syariat agama diserahkan pada penganutnya. Raja-raja di Malaysia adalah simbol agama Islam, disebut sebagai pemimpin agama. Penduduk Melayu Malaysia berusaha menjaga dominasinya antara lain dengan menetapkan Islam sebagai agama Negara Juga menetapkan undang-undang yang memastikan Perdana Menteri adalah figur dari bangsa Melayu.
Di beberapa kota dan negeri di Malaysia tidak didominasi oleh Melayu –yang identik dengan Islam–, sebut saja Kuala Lumpur, Pulau Pinang (bagian Pulau), Ipoh, Kuching dan Kota Kinabalu.
Semua informasi yang saya sampaikan ini seluruhnya berdasarkan pengalaman yang saya alami selama berada di Malaysia. Mungkin orang lain memiliki pengalaman dan informasi yang berbeda.*/Kiriman Arham Bahar, Dosen Universiti Malaysia Kelantan