Hidayatullah.com | Sebagaimana jamak dipahami, Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an diturunkan. Dan, ayat pertama yang diterima oleh Rasulullah ﷺ adalah perintah membaca.
اِقْرَأْبِاسْمِرَبِّكَالَّذِيْخَلَقَۚ
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1).
Dalam tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menulis, “Dalam suku pertama saja, yaitu “bacalah” telah terbuka kepentingan pertama dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi ﷺ disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.”
Dari sini dapat kita lihat bahwa perintah membaca ini secara khusus adalah membaca wahyu Al-Qur’an untuk selama-lamanya, sepanjang hayat, dan sejauh mendambakan kemajuan dan kejayaan, bahkan lebih jauh kebahagiaan dan pertolongan Allah, seseorang harus senantiasa membaca wahyu (Al-Qur’an).
Hal ini karena Al-Qur’an adalah mukjizat besar, mukjizat akhir zaman, sehingga semakin sering seseorang membaca Al-Qur’an, selain pahala ia juga akan mendapat pencerahan fundamental yang amat dibutuhkan oleh jiwa manusia. Dan, demikianlah dahulu orang kafir Quraisy masuk Islam karena mendengar bacaan Al-Qur’an.
Al-Qurtubi menceritakan bahwa Utsman bin Madz’un berkata, “Aku masuk Islam setelah aku malu pada Rasulullah ﷺ sampai turun ayat, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan….” (QS. An-Nahl: 90). Dan aku berada di sisinya (Al-Qur’an) maka bertambah teguhlah iman dalam hatiku kemudian aku bacakan kepada Walid bin Mughirah, ia berkata lagi, “Demi Allah, sungguh indah dan mengagumkan, seakan pangkalnya terhujam kuat dan di atasnya berbuah ranum dan ini bukanlah ucapan manusia.” (lihat buku karya Ahmad Khalil Jum’ah edisi Indonesia “Al-Qur’an dalam Pandangan Sahabat Nabi.” Halaman: 15).
Namun sisi historis ini memang terdapat jarak dengan kondisi kita saat ini. Sebab, kala itu yang mendengarkan Al-Qur’an memang orang yang mengerti bahasa Arab. Tetapi, dari fakta ini juga kita bisa menemukan hikmah bahwa membaca dengan memahami maknanya akan memberi pencerahan langsung.
Hal ini bisa dilihat dari kisah masuk Islam seorang ahli syair Arab kala itu, Thufail bin Amr. Pada dasarnya ia adalah orang yang telah termakan ucapan banyak orang bahwa jangan berbicara dengan Muhammad karena perkataannya mengandung sihir. Thufail bin Amr pun mengikuti omongan-omongan itu. Bahkan ia memasukkan kapas ke dalam telinganya agar tidak mendengar ucapan Nabi Muhammad ﷺ terutama kala membaca Al-Qur’an.
Tetapi, suatu waktu ia mendapati Nabi ﷺ sedang sholat dan membaca Al-Qur’an. Bacaan itu menembus telinganya yang ditutup oleh kapas. Thufail bin Amr pun berkata dalam hati. “Demi Allah, aku seorang ahli syair dan bahasa yang dapat membedakan mana yang baik dan jelek. Apa yang menghalangiku dari ucapan orang ini. Jika apa yang diucapkannya baik, tentu aku akan menerimanya dan jika jelek aku pun harus meninggalkannya. Singkat kata, Thufail bin Amr pun bersyahadat dan pulang langsung meng-Islam-kan, ayah dan istri serta kaumnya.
Dengan kata lain, Thufail bin Amr mendapatkan sebuah pencerahan yang utuh dan menyeluruh karena memahami bahasa Arab dengan baik, sehingga hatinya pun teguh dengan cahaya Al-Qur’an. Ini sebuah pertanda, bahwa tingkat terbaik dalam membaca Al-Qur’an adalah memahaminya.
Andai ada kendala, karena tidak bisa berbahasa Arab, maka kita bisa melakukannya dengan membaca Al-Qur’an terjemah bahkan lebih jauh membaca tafsir-tafsir ulama yang telah diterjemahkan atau membaca karya tafsir ulama dalam negeri, seperti Buya Hamka, sehingga getaran ayat yang kita pahami benar-benar terasa dan semakin menghujam ke dalam jiwa.
Fakta sejarah ini juga memberikan sebuah “panduan” bahwa hasil dari membaca Al-Qur’an itu idealnya adalah perubahan diri, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi beramal, dari beramal menjadi gemar melakukan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an sekaligus menjauhi seluruh larangan-Nya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Seperti diungkapkan oleh Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dikutip oleh Imam Ghazali dalam masterpiece-nya, Ihya’ Ulumuddin.
“Al-Qur’an diturunkan kepada kalian untuk diamalkan. Oleh karena itu, wujudkanlah bacaan kalian ke dalam amal perbuatan. Banyak di antara manusia yang membaca Al-Qur’an sejak awal (Al-Fatihah) hingga akhir (An-Nas), dan tidak terlewatkan satu huruf pun darinya, namun tidak menerjemahkannya ke dalam perbuatan sehari-hari.”
Di sini, membaca Al-Qur’an memang harus terus ditingkatkan kualitasnya, dari sekedar membaca biasa (tadarus) menjadi tadabbur, hingga akhirnya mengerti dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tingkatan ini, membaca Al-Qur’an memang bagian dari jihad yang harus diutamakan selama Ramadhan, karena membaca tidak cukup sebatas melafalkan huruf-huruf dan kalimat, tetapi merasuk ke dalam hati dan menjelma dalam amal karakter keseharian. Allahu a’lam.* Imam Nawawi Pemred Majalah Mulia BMH