MENURUT definisi Ilmu Fikih, puasa adalah: “Menahan diri -dengan niat beribadah- dari makan, minum, serta menggauli istri dan segala hal yang membatalkannya sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.” (Al-Jazâiri, Minhâju al-Muslim, 232).
Secara fikih memang orang yang sudah melakukan pengendalian yang bersifat jasmani tersebut, dianggap sah puasanya. Tapi bagaimana jika rohaninya tidak dikendalikan, sehingga dengan mudahnya mengejek, merendahkan, menghinakan orang lain dengan perkataan-perkataan yang menyakitkan?
Di sinilah kita akan memahami sabda nabi berikut yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak mempunyai sebuah keperluan pun untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).
Boleh secara jasmani seorang muslim sudah puasa dan gugur kewajibannya di bulan Ramadhan, tapi akibat tidak bisa mengendalikan diri secara rohani, maka dengan enteng berkata dan beramal dusta sehingga Allah tidak butuh puasanya.
Bagaimana mau diterima Allah, untuk hal yang sebelum Ramadhan halal (makan, minum, berhubungan intim dengan istri) bisa ditahan, sedangkan hal yang jelas haram (berkata dan beramal dusta) malah tetap dilakukan? Ini membuktikan, puasa bukan saja persoalan jasmani, tapi sekaligus rohani.
Pada riwayat lain, ada sindiran nabi yang begitu tajam bagi orang yang hanya mencukupkan diri pada puasa jasmani:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Thabrani). Puasa jenis demikian, anak SD juga kuat.
Dalam bait syair Arab ada ungkapan:
Tidaklah (bernilai) puasa orang yang menahan diri dari lapar
Sedangkan (pada saat bersamaan) ia tunduk pada dosa dan syahwat
Orang yang berpuasa hanya karena menahan lapar. Maka sungguh hanya kerugian dan penyesalan yang akan didapat
Suatu saat, Hasan Bashri lewat di depan komunitas yang bersenda gurau dan main-main saat bulan Ramadhan. Melihat kondisi demikian, beliau berkomentar: “Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadhan sebagai arena perlombaan bagi manusia agar berpacu melakukan ketaatan. Ada yang menang dan bergembira. Ada pula yang kalah dan merana. Yang aneh ialah orang yang sedang bergelak tawa dan main-main di saat orang-orang sedang bertanding di bulan agung ini. Demi Allah, seandainya tabir disingkap, maka terlihat dengan jelas bahwa orang yang baik sibuk dengan kebaikannya, sedangkan orang buruk sibuk dengan keburukannya.”
Baca: Ramadhan untuk Selamanya
Hafidz Zainuddin Abdurrahman bin Rajab mendapat cerita dari Hafidz Musa al-Madini, “Sebagian ulama salaf menganggap bahwa puasa yang paling ringan adalah meninggalkan minum dan makan.” Sedangkan Jabir RA berkata, “Jika kamu puasa, maka puasakan juga pendengaran, pengeliahatan, dan lisanmu dari kedustaan dan yang diharamkan. Di samping itu, jangan mengganggu tetangga. Ketika berpuasa hendaklah bersikap tenang, takzim. Jangan sampai hari puasamu sama dengan hari ketika tidak berpuasa.” (Hasan Masyâth, 1392: 44-45)
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Maka dari itu, jika ingin puasa berkualitas, puasa pada level jasmani harus ditingkatkan ke level rohani. Artinya, berpuasa bukan lagi mengendalikan diri dari urusan perut atau di bawah perut, tapi lebih dari itu adalah pengendalian diri secara total lahir batin.
Sebagai penutup, pernyataan Ibnu Rajab berikut bisa diresapi:
كل قيام لا ينهى عن الفحشاء والمنكر لا يزيده صاحبه إلا بعدا وكل صيام لا يصان عن قول الزور والعمل به لا يورث صاحبه إلا مقتا وردا يا قوم أين آثار الصيام أين أنوار القيام
“Setiap shalat malam yang tidak dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar maka hanya akan menambah jauh pelakunya. Dan setiap puasa yang tidak terjaga dari perkataan dan amalan dusta maka hanya akan mewariskan kemurkaan dan penolakan kepada pelakunya. Wahai kaum, mana bekas puasa dan cahaya shalat malam?” (Ibnu Rajab, Lathâifu al-Ma’ârif, 174). Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan