Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Susiyanto, M.Ag
Perjanjian Pamanahan-Giring
SEBAGIAN kalangan yang menilai bahwa kemunculan Sabda Raja ini membuka peluang bagi perempuan untuk bertahta. Padahal kelima anak sultan semuanya perempuan. Tidak heran jika kemudian berkembang isu bahwa Sabda Tama ini hakikatnya merupakan ketetapan agar kekuasaan tetap berada di tangan jalur keturunan sultan, meski dengan konsekuensi menetapkan anak perempuannya sebagai sulthanah. Isu inilah yang nampaknya telah membuat kalangan kraton Yogyakarta terbelah. Sebagian kalangan berpendapat, jika raja tidak memiliki anak lelaki yang bisa diangkat sebagai putra mahkota, maka kekuasaan mestinya diserahkan kepada adik lelaki atau kerabat terdekat lainnya.
Berdasarkan Dhawuh Dhalem No. 1/ DD/ HBX/ Ehe-1932 di atas, mestinya kepemimpinan Keraton Yogyakarta dipegang oleh seorang lelaki. Demikian juga terdapat sejumlah simpul budaya yang menegaskan bahwa tahta mestinya dipegang seorang lelaki. Isu krusial lain yang mengemuka dalam Sabda Raja tersebut berkaitan dengan perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring. Janji ini berkaitan dengan keturunan dari kedua belah pihak yaitu keturunan lelaki Ki Ageng Pamanahan sebagai raja. Sedangkan putri-putri keturunan Ki Ageng Giring bertindak sebagai permaisuri yang mendampingi (ngembani) sang raja. Para permisuri dari trah Ki Ageng Giring inilah yang nampaknya mendasari lahirnya mitos Nyai Rara Kidul, penguasa Laut Selatan yang menikah dengan raja-raja Dinasti Mataram. Terlihat pada bagian ini bahwa ketetapan awal Mataram menunjukkan bahwa raja mestinya berasal dari pihak lelaki, bukan perempuan.
Selain itu, kekuasan di kerajaan Yogyakarta sering juga disimbolkan dengan keberadaan dua pusaka kraton yaitu Kyai Ageng Jaka Piturun dan Kyai Ageng Kopek. Kyai Ageng Jaka Piturun melambangkan kekuasaan raja beserta keturunannya. Pusaka ini biasanya diberikan oleh raja kepada salah seorang anak lelakinya yang ditahbiskan sebagai putra mahkota. Setelah menjadi seorang raja pengganti, pusaka ini tetap akan ia pegang dan pada giliran selanjutnya ia wariskan kepada putra mahkota berikutnya. Makna dari kata “jaka” (jejaka) di sini menunjuk pada jenis kelamin lelaki, bukan perempuan.
Sementara itu Kyai Ageng Kopek berfungsi untuk “ngembani” (mendampingi) Kyai Ageng Jaka Piturun. Kyai Ageng Kopek sendiri merupakan perlambang permaisuri yang menjadi pendamping raja dalam menjalankan kekuasaannya. Pusaka ini biasanya dipegang oleh istri raja yang diangkat sebagai permaisuri. Kata “kopek” sendiri memiliki makna yang sama dengan “payudara” yang dengan sendirinya menunjuk pada organ tubuh vital perempuan. Dari perlambang berupa pusaka ini mestinya bisa disimpulkan bahwa sultan mestinya adalah seorang lelaki. Sesuai perlambang tersebut, Kyai Ageng Jaka Piturun sebagai simbol “wahyu keraton”, berdasarkan tradisi, tidak semestinya diserahkan kepada pihak keturunan perempuan. Tentu saja ini bukan dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi.
Persoalan utama yang banyak disoroti juga terletak pada aturan bahwa tahta raja mestinya “cundhuk klawan paugeran keraton” (tunduk kepada aturan kraton). Banyak pihak menilai bahwa berdasar adat istiadat masa lampau bisa disimpulkan bahwa raja harus seorang pria. Jika raja tidak memiliki anak lelaki, maka tahta mestinya jatuh kepada adik lelaki atau kerabat lain yang lebih dekat. Kasus serupa sebenarnya pernah terjadi pada masa sebelumnya.
Sri Sultan HB V mengangkat adiknya yang bernama KGPA Mangkubumi sebagai raja pengganti (HB VI) karena ia sendiri tidak memiliki anak lelaki sebagai pelanjut tahta. Yogyakarta sendiri mengalami keanehan siklus kepemimpinan pasca HB III. Setelah HB III selesai berkuasa sempat diselingi dengan bertahta kembalinya Sri Sultan HB II dan baru setelah itu dilanjutkan oleh HB IV. HB II sempat dilengserkan karena dibuang oleh Belanda ke Ambon.
Anehnya, pasca HB IV meninggal, HB II kembali berkuasa sebagai HB III sampai meninggal. Baru kemudian dilanjutkan oleh HB V dan seterusnya.
Raja Yogyakarta terakhir yakni Sri Sultan HB X alias KGPH Herjuna Darpita sebenarnya merupakan raja yang ditahbiskan setelah para putra Sri Sultan HB IX mengadakan musyawarah. Pembicaraan ini diperlukan untuk menghindari silang sengketa dikemudian hari. Sebab selain Pangeran Herjuna Darpita, masih ada putra raja IX lainnya yang memiliki hak untuk bertahta diantaranya KGPH Hadikusuma. Atas pertimbangan inilah banyak pihak di kalangan keraton menyayangkan sikap sultan yang tidak mau membuka dialog terlebih dahulu sebelum mengeluarkan kebijakan yang bisa mengarah pada suksesi kepemimpinan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Nampaknya Sri Sultan masih berpegang pada pendiriannya bahwa penentuan raja pengganti adalah hak prerogatif dirinya. Tidak mengherankan jika kemudian terjadi tarik ulur antara kubu Sultan dengan kubu para putra HB IX. Sultan sendiri mendapatkan dukungan dari permaisuri (GKR Hemas), kelima orang putrinya, dan sejumlah pengusaha di lingkungan Keraton Yogyakarta. Sementara kubu putra HB IX hanya terdiri dari 11 orang saja dan menyebut kelompoknya sebagai “Dewan Istana”. (Panjebar Semangat, No. 19/ 9 Mei 2015).
Di sinilah kedua belah pihak diharapkan bertindak lebih bijak. Sultan bisa mengakomodasi pendapat-pendapat pihak keraton lainnya.
Harapannya, Sri Sultan tetap bersedia mengaca pada sejarah Dinasti Mataram yang selalu memihak pada kepentingan Islam dan berlepas dari keinginan personal yang bersifat pragmatis. Juga agar beliau tetap bisa menjalankan tanggung jawab sebagai pengemban amanah “Sayidin Panatagama” dari para pendahulunya.
Dengan demikian bukan hanya logika “sabda brahmana raja tan kena wola-wali” saja yang mengemuka, namun peribahasa Melayu “raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah” rasanya cukup relevan menjadi bahan pertimbangan di masa kini.
Demikian juga pihak “Dewan Istana” mudah-mudahan tetap dalam niat yang tulus dan jauh dari kepentingan pribadi sesuai dengan spirit Panembahan Senopati yaitu “amemangun karyenak tyasing sesami” seperti termaktub dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV yakni menjadi bagian dari usaha untuk menyenangkan hati sesama.*