SUATU malam menjelang dinihari. Jendela kamarku diketuk oleh seseorang. Suara agak berat berulang memanggil namaku. Aku yang saat itu sedang tiduran di ruang tamu bergegas membuka pintu.
Sudah biasa, tengah malam begini biasanya abah (panggilan ayahku) tiba di rumah.
Aku bahkan tak ingat lagi kapan kebiasaan itu bermula. Yang aku tahu, sejak dahulu abah sibuk dengan urusan dakwah.
“Nurul, buka pintunya nak.”
Seperti biasa, abah menyapa satu persatu anaknya, termasuk yang sedang tertidur pulas sekalipun. Walau sekadar mencium, mengusap, memperbaiki selimut dan merapikan gaya tidur mereka yang tak karuan modelnya.
Tak jarang, sebelum masuk istirahat ke kamarnya, abah memanggilku mendekat. Sambil mengusap kepalaku, abah bertanya tentang kabar adik-adikku sepeninggalnya selama ini.
Esok paginya, mudah ditebak. Seluruh penghuni rumah pasti heboh, terutama adik-adikku. Apalagi kalau bukan karena abah hadir di rumah. Berkumpul dan bercanda bersama abah di rumah adalah sesuatu “banget” buat seluruh keluarga.
Aku hanya bisa tersenyum sumringah. Iya, akupun ikut senang tentunya. Begitulah, keberadaannya selalu dinanti oleh semua penghuni rumah.
Pagi hari, jika sedang berada di rumah, abah memilih bercengkerama dan bertukar cerita dengan seluruh anak-anaknya. Secara bergantian, adik-adik biasanya bercerita tentang pengalaman di sekolah.
“Abah, masak Bang Yahya pernah ulangan tapi cuma salin ulang soalnya saja,” ucap Muharrik melapor kelakuan kakaknya di sekolah.
Rupanya karena adikku tak bisa menjawab, jadinya ia menulis ulang soalnya lagi. Mendengar itu abah hanya tersenyum sambil memandangi satu persatu anak-anaknya.
Usai acara kumpul-kumpul, semua kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Adik-adik bersiap ke sekolah dan akupun bergegas ke dapur membantu ummi menyiapkan sarapan buat keluarga besar kami.
Iya, kami adalah keluarga besar dengan 10 orang bersaudara. Mulai dari aku yang sulung hingga tiga adikku di bangku kuliah dan seterusnya.
Ada juga yang masih belajar di bangku SMP dan SD di dekat lingkungan rumah kami di Sukamulya, Depok, Jawa Barat.
Abah sendiri juga mulai bersiap ke kantor. Heranku, kelelahan itu tak tampak meski baru saja pulang dari perjalanan jauh selama dua pekan lalu.
Selama ini abah juga tak pernah mengeluh beratnya mengemban amanah dakwah.
“Bersyukurlah Nurul, kita diberi kesempatan berbuat untuk urusan umat ini,” demikian mutiara nasihat abah perihal kesibukannya selaku da’i ujarnya suatu ketika.
Terus terang, jarak kantor abah dengan rumah teramat jauh. Kantornya terletak di bilangan Polonia, Jakarta Timur. Saban hari, abah menjadi pelanggan tetap Kereta Api Komuter.
Sekali waktu ada tetangga yang berbaik hati memberi tumpangan hingga ia bisa tiba di Jakarta.
Di rumah, kami hanya memiliki bekal matic bermerk Beat butut sebagai alat transportasi. Itupun hanya dipakai sesekali belanja ke pasar yang terletak tak jauh dari rumah.
Dalam ingatanku, perjalanan dakwah abah baru-baru ini adalah Jakarta-Batam-Makassar-Kendari-Kolaka-Pare-Pare-setelah itu tak tahu lagi. Tahunya, tiba-tiba abah sudah tiba di rumah tengah malam.
Abahku bukanlah seorang abdi negara atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Abah hanya seorang pegawai Allah, itu kalimat yang diajarkan ummi sejak aku masih kanak-kanak.
Statusnnya sebagai seorang da’i atau ustadz, membawanya harus berkeliling nusantara untuk berdakwah, bercengkrama dengan umat yang membutuhkannya.
Malam itu abah baru tiba di rumah jam 21.00 lewat. Usai istirahat sejenak, tiba-tiba abah memberi isyarat kepadaku untuk menyiapkan beberapa lembar pakaiannya.
Iya, pukul 01.00 dini hari nanti abah harus bersiap meninggalkan rumah dan bertolak ke Makassar. Rupanya, kali ini abah hanya berkesempatan hadir di rumah selama 24 jam saja.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Pernahkah abah lelah dalam urusan dakwah ini?” Demikian aku terkadang iseng bertanya padanya.
Maklum, aku yang melihatnya saja sudah bisa membayangkan kelelahan dalam perjalanan jauh itu.
“Bagaimana dengan abah?” ujarku membatin.
Seperti biasa, abah hanya tersenyum kembali.
“Iyalah jelas capek juga. Tapi inilah jalan dakwah pilihan abah,” jawab abah dengan senyumnya kembali.
Dalam banyak keadaan, abah lebih memilih diam tak banyak bicara.
Prinsip itulah yang diajarkannya kepada kami dan semua anak-anaknya.
“Utamakan keikhlasan dan kesabaran dalam segala keadaan. Jangan lupa perbanyak syukur,” demikian wejangan tersebut kembali terngiang dalam ingatanku.
Kala itu, aku pamit hendak merantau melanjutkan belajar ke Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Semua itu membuatku malu jika ingin mengeluh tentang keperluanku kepadanya.
Suatu hari aku kembali bertanya padanya, “Pernahkah abah merasa lelah dalam mengurus pekerjaan dakwah ini?”
Ah, sudah kutebak. Abah hanya tersenyum dan menjawab, “Iyalah jelas capek juga. Tapi inilah jalan dakwah. Istirahat itu nanti kalau tiba di surga,” ujarnya.*/Diceritakan oleh Nurul Qolbi