COBA perhatikan para tokoh! Siapapun, dimanapun, di bidang apapun, rata-rata punya ciri khas yang sama; penulis buku. Dalam ranah kekinian di dunia Islam, Indonesia punya banyak tokoh yang karya tulisnya seabrek.
Rekaman lensa fotografer hidayatullah.com berikut ini mungkin hanya sekian persen dari tokoh maupun sosok yang aktif menulis di jagat perbukuan Nusantara. Tapi karya-karya mereka cukup “mewakili” untuk dijadikan teladan oleh para penulis muda.
KH Aceng Zakaria adalah salah satu contoh. Ketua Umum PP Persatuan Islam (Persis) kelahiran Wanaraja, 11 Oktober 1948 ini dikenal dengan karya-karya tulisnya. Dalam foto ini, tampak Kiai Aceng berpose dengan dengan latar belakang tumpukan buku karyanya. [Baca kisahnya: Tanpa Gelar, Lulusan SD ini Jadi Ketua Perguruan Tinggi]
Gambar diambil di kediamannya, Jl Rancabango, Kudangsari, Kabupaten Garut, Jawa Barat, akhir Sya’ban 1435 (28/06/2014) lalu. Tampak ia memegang kitab Al-Hidâyah fî Masâ’il Fiqhiyyah Muta‘âridhah karangannya.
Di belakangnya, menumpuk kardus-kardus berisi berbagai judul bukunya yang siap diedarkan. Terdapat pula kamar khusus untuk menyimpan buku-bukunya.
Saat itu ia saja, sebelum menjabat sebagai Ketum Persis, “Sekarang sedang nulis buku yang ke-65 kalau nggak salah. Judulnya Problematika Hidup Manusia,” ungkap penulis buku nahwu terkenal Al-Muyassar Fi ‘Ilm Al-Nahwi itu. [Baca juga: Saat Sakit, Menulisnya Malah Lebih Cepat]
Masih dari kalangan penulis senior, ada nama Pipiet Senja, yang pada 16 Mei lalu genap berusia 60 tahun. Pemilik nama asli Etty Hadiwati Arief ini punya ratusan karya buku yang telah diterbitkan. Di antaranya Bagaimana Aku Bertahan, Jejak Cinta Sevilla, Kepada YTH Presiden RI, dan Orang Bilang Aku Teroris.
Awal Februari 2015, saat ditemui media ini di perumahan Kota Wisata Cibubur, Jawa Barat, pencetus program Gerakan Santri Menulis itu mengaku, “Saya tengah giat menyebarkan virus menulis di kalangan para santri dan tenaga kerja wanita yang di luar negeri.” [Baca: Pipiet Senja Berdakwah dengan Pena]
Yang Muda
Penulis muda tak kalah hebatnya. Sebut saja Salim A Fillah dan Felix Y Siauw. Kedua penulis buku-buku dakwah best seller ini seakan berpacu menelurkan karyanya.
Tampak Salim memegang buku Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim –salah satu dari sekian banyak bukunya termasuk Menyimak Kicau Merajut Makna– usai mengisi sebuah kajian di Masjid Al-Falah, Surabaya, Jawa Timur (11/01/2013).
Sementara Felix, dengan sebagian karya bukunya, dijepret di markasnya, Alfatih 1453 Islamic Center, Daan Mogot, Kalideres, Jakarta (03/10/2014). Jumlah buku yang sedang mereka pegang tentu bukan perbandingan jumlah karya dari kedua dai muda yang sama-sama kelahiran tahun 1984 itu. [Baca: Duet Ustadz Muda Salim-Felix Pertajam Barisan Ukhuwah]
Hampir semuda keduanya, ada Fahmi Salim. Ketua MIUMI Jakarta kelahiran tahun 1980 ini juga aktif menulis. Di sela-sela wawancara dengan hidayatullah.com di kediamannya, Jl Pengukiran III, Pekojan, Jakarta Barat (16/05/2015), ia menerima paket kiriman penerbit bukunya, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal.
“Orangtua saya bukan penulis. Beliau melihat ada kekurangan di situ, maka minta saya untuk kalau bisa juga menulis. Istri saya pun ketularan juga pengen menulis,” ujarnya.
Yang (Tak) Cacat
Selain itu, ada juga penulis yang begitu inspiratif. Ialah Ammar bin Haitsam bin Abdullah Bugis alias Ammar Bugis. Warga Negara Arab Saudi keturunan Indonesia ini harus menerima kenyataan hidup di atas kereta dorong yang biasa digunakan bayi.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dari keseluruhan organ tubuhnya, hanya mata, mulut, dan telinga yang bisa digerakkan. Sedangkan tangan dan kakinya tidak tumbuh sebagaimana usianya. Tapi, saat datang ke Indonesia penghujung tahun 2012, ia mengatakan, “Saya bukan orang cacat.” [Baca: Syeikh Ammar Bugis: Cacat Sebenarnya Bukan pada Jasad]
Faktanya, wartawan kelahiran tahun 1986 ini punya karya buku, yang kemudian diterjemahkan dengan judul Penakluk Kemustahilan; Perjuangan Pemuda Berkebutuhan Khusus Melampaui Keterbatasan.
Di Indonesia, setiap tahun, 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Tidak dirayakan besar-besaran memang. Namun, yang lebih penting adalah pemaknaannya. Selain upaya menumbuhkan serta meningkatkan minat baca masyarakat, minat untuk menghasilkan karya buku juga harus diazamkan para penulis pemula sekalipun.
Belajar dari tokoh dan sosok di atas, Pembaca yang; fisiknya lebih normal, usianya lebih muda, waktunya lebih luang, sepatutnya bisa menorehkan karya yang lebih baik. Sebab, untuk menulis, tak harus menjadi seorang tokoh, kan?! [Baca juga: Ingin Membangun Bangsa, Komunitas PENA Santri Terbentuk]*