MARAKNYA acara-acara yang menggali “potensi” para remaja muslim saat ini, dengan dalih penelusuran minat dan bakat, justru mengokohkan sebagian besar remaja-remaja kita betul-betul telah kehilangan eksistensi. Hadirnya mereka pada acara Akademi Fantasia Indosiar (AFI), Indonesia Idol, Kontes Dangdut TPI (KDI), dan seperangkat acara lain, justru memperjelas kalau generasi kita hanya mampu menghasilkan generasi pemimpi lagi peniru.
Generasi yang tak mampu berdiri di atas kaki sendiri dan berseru, “Inilah kami….! Di tengah gelombang kehidupan yang begitu dahsyat, kami terombang-ambing, dan tak tahu lagi kepada siapa mencari teladan. Hidup kami di-setting untuk tak lagi mengenal diri sendiri. Kami berjalan di muka bumi dengan jiwa hampa tak berisi.”
Itu karena mereka jauh dari din-nya. Agama (Islam) dalam pandangan mereka tak lebih dari sebuah tema dalam sinetron yang ditayangkan dalam bulan Ramadhan, atau seorang kiai, lengkap dengan jubah dan sorbannya yang bertarung melawan para siluman jahat dalam sinetron laga, atau yang mampu menundukkan hantu, atau menjadi guyonan yang dimainkan dalam acara lawak, dengan satu alasan; hiburan. Inna lilllahi wa inna ilahi raji’un.
Tampaknya bagi mereka, mempelajari agama adalah suatu hal yang “aib”, bahkan menjadi bahan tertawaan bagi orang yang ingin kembali kepada agamanya secara kaffah (total).
Mereka menganggap bahwa keislaman mereka cukup dengan shalat, sekalipun bolong-bolong. Mereka memahami bahwa “menghidupkan” Ramadhan dangan kegiatan yang “Islami” sudah cukup untuk mereka disebut muslim-muslimah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Mereka mengira dengan menyantuni orang-orang kecil, sudah menunjukkan kalau mereka muslim lahir batin. Mereka lupa (atau memang tidak tahu) jika keislaman mereka mengalami ancaman eliminasi. Hal yang mungkin tak tersadari atau memang tak terpikirkan sama sekali.*/Ari Fathur (dikutip dari buku Yang Muda yang Takut Dosa, karya Ali El-Makssary)