Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
ADA yang mau berhutang untuk disedekahkan karena hutangnya bertumpuk tak sanggup bayar. Ada yang berusaha hutang sana-sini untuk dapat berkurban saat ‘Idul Adha, tetapi memaksudkannya untuk memperoleh keajaiban agar hutang yang membelitnya dapat dilunasi. Ini adalah cara berpikir yang sangat aneh bagi orang beriman. Meskipun berhutang untuk berkurban itu boleh, dan saya pun telah menuliskannya di sini, tetapi jika hutang bertumpuk tak sanggup bayar, jangan menambah hutang lagi. Apalagi berhutang untuk disedekahkan agar dapat melunasi hutang.
Seseorang berkata ingin membuktikan janji Allah Ta’ala dengan mensedekahkan apa yang ia peroleh dari berhutang, seluruhnya, agar dapat memperoleh kejutan rezeki yang dapat digunakannya untuk melunasi hutang sebelumnya yang sudah sangat mencekik. Ini merupakan syubhat yang sangat besar. Allah Ta’ala memang tidak akan pernah menyelisihi janji-Nya. Persoalannya, adakah janji yang pasti berdasarkan nash yang shahih bahwa Allah Ta’ala akan melimpahi seseorang rezeki materi berlimpah-limpah dengan cara itu?
Saya perlu sampaikan hal ini karena kian banyak orang yang menempuh jalan itu dengan meyakininya sebagai tuntunan agama, padahal agama tak mengajarkan, lalu mendapati hutang semakin bertumpuk dan hidup semakin sulit. Bersebab beramal tanpa dalil yang jelas dengan harapan dapat memperoleh keajaiban yang tiba-tiba untuk melunasi hutangnya, justru ia menjadi buron; dikejar-kejar orang yang telah memberikannya hutang.
Marilah kita ingat sejenak hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, seseorang datang menghadap Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ ؛ يُصَلُّوْنَ كَمَـا نُصَلِّـيْ ، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَـا نَصُوْمُ ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِـهِمْ. قَالَ : «أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللّٰـهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَـحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً ، وَأَمْرٌ بِالْـمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ ، وَفِـيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ». قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! أَيَأْتِـيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : «أَرَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِـي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ ؟ فَكَذٰلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِـي الْـحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا»
“Ya RasulaLlah! Orang-orang kaya telah pergi dengan membawa banyak pahala. Mereka shalat seperti kami shalat, mereka puasa seperti kami puasa, dan mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah sedekah, mencegah dari yang mungkar adalah sedekah, dan salah seorang dari kalian bercampur (berjima’) dengan istrinya adalah sedekah.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah jika salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya (bersetubuh dengan istrinya) maka ia mendapat pahala di dalamnya?”
Beliau menjawab, “Apa pendapat kalian seandainya ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang halal, maka ia memperoleh pahala.” (HR. Muslim).
Banyak hal yang dapat kita petik dari hadis ini. Berkenaan dengan perbincangan kita, mari perhatikan perkataan orang yang datang menghadap Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, “…dan mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Perkataan ini bukan ditanggapi oleh beliau dengan menyuruh orang tersebut berhutang (apalagi sampai memperbanyak hutang) untuk bersedekah. Yang beliau sampaikan kepada orang tersebut adalah amalan-amalan yang bernilai sedekah, meski tak mengeluarkan harta dan uang sama sekali.
Mari kita ingat pula betapa wasiat untuk memberikan hartanya kepada orang lain tidak boleh melebihi sepertiga dari aset yang ia miliki.
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ
“Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.” (HR. Bukhari & Muslim).
Ini merupakan asbabun nuzul Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 9. Saya tidak berpanjang-panjang tentang ini. Saya hanya ingin mengajak agar tidak serampangan dengan menyandarkan diri seolah-olah itu tuntunan agama, padahal agama ini tidak mengajarkannya. Sesungguhnya dasar dalam beragama adalah nash yang jelas dan shahih sesuai dengan maksud dari nash tersebut.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Bagaimana dengan perkataan sebagian orang bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan, “Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah.”? Sampai saat ini saya tidak menemukan riwayat shahih mengenai apa yang disandarkan kepada Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Di berbagai tulisan yang mencantumkan ungkapan tersebut, tidak terdapat keterangan yang dapat dirunut matan dan riwayatnya. Ini sungguh sangat berbahaya. Sesungguhnya menyebarluaskan sesuatu yang kita tidak mengetahui kebenarannya, lalu menyatakannya sebagai nash, dapat menggelincirkan kita ke dalam perbuatan dusta. Dan sungguh, alangkah mengerikan jika itu justru terhadap Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi, kalau bersandar pada perkataan tersebut lalu seseorang bersedekah besar-besaran agar konflik rumah-tangganya segera berakhir, tetapi yang ia dapati justru persoalannya semakin meruncing, itu sama sekali bukan karena agama ini salah atau –apalagi– Allah Ta’ala ingkar janji. Tetapi karena kita beragama menggunakan duga-duga tanpa dalil yang kuat. Bahkan ada yang secara sangat meyakinkan berkata bahwa masalah apa pun akan selesai kalau kita mau membelinya dengan sedekah, termasuk agar makin disayang suami, tetapi beberapa pekan sesudah ia bertutur mempengaruhi audiens tersebut justru ia yang bercerai dengan suaminya.
Sekali lagi, ini bukan karena Allah Ta’ala ingkar janji. Tetapi karena kita menganggap Allah Ta’ala menjanjikan sesuatu tanpa hujjah yang pasti.
Wallahu a’lam bish-shawab.*