Oleh: Muhaimin Iqbal*
Hidayatullah.com–Beberapa hari lalu, tanggal 17 Agustus 2009, Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan ke-64. Seluruh negeri hiruk pikuk dengan pelbagai peringatan. Rumah-rumah dan kantor-kantor berhias, anak-anak ceria dengan berbagai lomba. Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Memang kemerdekaan ini terlalu luas maknanya kalau kita mau tulis semua. Maka yang relevan dengan tema sentral situs ini adalah keuangan, maka pertanyaannya saya persempit: sudahkah kita merdeka dari sisi finansial?
Pertama yang akan saya jadikan tolok ukur kemerdekaan adalah definisi kemerdekaan yang terlontar dari seorang prajurit Islam, Rub’i bin Amir, ketika berhadapan dengan Panglima Persia, Rustum: “Sungguh Allah mengutus kami, agar kami memerdekakan manusia dari mengabdikan diri pada sesama manusia kepada mengabdikan diri kepada Allah, dari kezaliman agama (di luar Islam) kepada keadilan Islam dan dari kesempitan dunia kepada keluasan dunia dan akhirat.”
Hanya diri kita sendiri yang tahu, ketika kita bekerja untuk menafkahi diri kita dan keluarga, apakah kita terpaksa ‘mengabdi’-kan diri pada tempat kerja kita atau kita tetap teguh hanya mengabdikan diri kepada Allah semata? Insya Allah kita hanya mengabdikan diri kepada Allah semata, bila segala perintah dan larangan-Nya kita patuhi. Sebaliknya kita me’-ngabdi-’kan diri pada pekerjaan kita bila yang kita ikuti adalah perintah dan larangan tempat kita bekerja.
Bila keduanya berjalan seiring, ini yang kita harapkan semua. Namun persoalannya justru terjadi ketika keduanya tidak berjalan seiring, mana yang kita pilih, itulah fokus pengadian kita. Berikut adalah tes sederhana yang bisa kita pakai untuk muhasabah kepada siapa kita mengabdi :
Pertama, tempat kerja saya sebagian pendapatannya atau seluruhnya berasal dari riba, jadi gaji yang saya terima juga berasal (sebagian) dari riba.
Kedua, tempat kerja saya sering harus melakukan apa yang dilakukan perusahaan lain dalam memperoleh pekerjaannya, seperti harus menyuap, harus kolusi, dan sejenisnya.
Ketiga, perusahaan saya terlibat dalam kegiatan yang bersifat untung-untungan (gharar) atau bahkan cenderung mirip perjudian (maisir).
Keempat, pekerjaan saya sering membuat saya lalai untuk melaksanakan sholat di awal waktu.
Kelima, perusahaan saya sering tidak jujur dan tidak adil pada stakeholders (pemegang saham, nasabah, karyawan, dlsb).
Keenam, saya takut kehilangan pekerjaan saya sekarang sampai terkadang saya harus mendahulukan pekerjaan, ketimbang melaksanakan panggilan Allah (untuk sholat, untuk berbuat adil, dslb).
Ketujuh, saya merasa tergantung rezeki saya pada perusahaan/institusi tempat saya bekerja.
Kedelapan, atasan-atasan saya banyak melanggar peraturan agama (syariah), tetapi saya tetap patuhi perintahnya meskipun hati kecil saya menolak.
Kesembilan, banyak kemaksiatan yang terlibat dalam konteks pekerjaan saya, tetapi tetap saya laksanakan demi untuk tercapainya target pekerjaan saya.
Sepuluh, saya harus sering mengobral janji, dan bahkan juga berbohong demi terlaksananya tugas pekerjaan saya.
Bila satu saja dari statemen tersebut di atas cocok dengan diri kita, maka ada kemungkinan kita belum mengabdi kepada Allah semata. Kita masih terlibat dalam kesempitan dunia dan belum melihat keluasan dunia dan akhirat.
Dari sudut pandang Islam, kemerdekaan finansial baru bisa kita capai bila dalam mencari rezeki kita tidak melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan syariah. Lantas bagaimana kalau kita sekarang masih berada pada posisi ‘mengabdi’ pada pekerjaan tersebut dan belum merdeka yang ditunjukkan oleh pengabdian kepada Allah semata?
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pertama, kita harus punya niat yang sangat kuat untuk meninggalkan pekerjaan yang sekarang dan berganti kepada pekerjaan yang sejalan dengan target pengabdian kepada Allah semata. Kedua, kita harus mempunyai target waktu, sehingga dengan ini mudah-mudahan bisa menunjukkan kesungguhan kita untuk menuju jalan Allah dan untuk mendapatkan kemudahan dari-Nya.
Kalau target waktu ini tidak kita buat, bisa-bisa tanpa terasa kita baru meninggalkan pekerjaan tersebut setelah terpaksa karena pensiun. Bagaimana kalau kita dipanggil sebelum waktu itu? Naudzubillahi min dzalik.
Mari kita maknai kemerdekaan kali ini dengan hakekat kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu merdeka dari mengabdi ke sesama hamba, ke mengabdi hanya kepada Allah semata. Bila saat ini kita belum merdeka, marilah kita raih kemerdekaan sejati tersebut. Merdeka!!![MI/hidayatullah.com]
Penulis adalah Direktur GeraiDinar.com