Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | SEBUAH video tentang dukungan terhadap kemerdekaan Papua memicu kehebohan. Video ini (https://www.youtube.com/watch?v=Fo6Qn7-X8a8) memperlihatkan aktivis perempuan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) sedang membacakan tuntutan agar pemerintah Indonesia segera melakukan dialog bersama yang melibatkan pihak ketiga, yaitu PBB. GMKI juga meminta agar pemerintah pusat memberikan hak menentukan nasib orang Papua.
Setelah itu, tampil mahasiswa yang meneriakkan: “Papua..” Dijawab beramai-ramai-ramai: “Merdeka!” Teriakan itu terjadi berulang kali. Video ini sudah diklarifikasi oleh pimpinan GMKI.
Kongres GMKI ke-XXXVII di Manokwari ngeri sedap cuy. 👍🏽 pic.twitter.com/dU6UuAJrnW
— Rico Tude (@RicoTude) November 30, 2020
Ketua Umum GMKI Dimisioner Korneles Galanjinjinay mengaku sama sekali tak mendukung gerakan Papua Merdeka dalam Kongres ke-37 GMKI yang digelar di Manokwari, Papua Barat tersebut. “GMKI mengklarifikasi bahwa video itu tidak benar. Itu di luar materi kongres dan itu bukan kesepakatan forum kongres,” kata Korneles dan sebuah video klarifikasi resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (5/12/2020).
Sementara itu, Sekretaris Umum Dimisioner GMKI, David Sitorus menuturkan bahwa peristiwa itu terjadi di hari terakhir selama tiga hari pelaksanaan Kongres GMKI, 24 November 2020. Rekaman video yang tersebar itu terjadi saat proses penyampaian hasil rekomendasi panitia khusus hasil rapat komisi sebelumnya.
Salah satunya, terkait soal Papua. Tapi, katanya, hasil rekomendasi panitia khusus soal Papua Merdeka tidak dibahas lebih lanjut dan tak pernah disepakati oleh forum kongres. Kongres hanya menyepakati pembahasan terkait upaya GMKI untuk membangun komunikasi yang baik antara masyarakat Papua dengan Pemerintah Pusat.
Itulah klarifikasi pihak GMKI. Meskipun dukungan terhadap Papua Merdeka bukan sikap resmi GMKI, tetapi tampak jelas dalam video tersebut, ada cukup banyak elemen atau aktivis GMKI yang mendukung Papua Merdeka. Dengan lantangnya mereka berteriak mendukung Papua Merdeka.
Video GMKI itu tidak dapat dianggap ringan. Persepsi dan dukungan terhadap Papua Merdeka dari para aktivis organisasi kegamaan seperti GMKI memiliki nilai penting bagi kaum separatis Papua. Inilah yang terjadi pada kasus terlepasnya Timor-Timur (Timtim) dari Indonesia.
Isu HAM dan Agama
Pada tanggal 7 Desember 1975 — hanya beberapa jam setelah Presiden AS Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger meninggalkan Jakarta — Tentara Indonesia menyerbu Timtim. Laporan Legislative Report Service dari Parlemen Australia melaporkan jumlah korban sekitar 100.000 orang.
Ketika itu tidak ada jenderal atau pejabat Indonesia yang dituntut. Padahal, New York Times, (13 Desember 1975) menulis: “Indonesia is guilty of naked aggression in its military seizure of Portuguese Timor.” (Indonesia bersalah atas agresi telanjang dalam penyitaan militernya atas Timor Portugis).
Indonesia masuk ke Timtim atas restu AS, sebagai bagian dari politik “pembendungan komunis”. Meskipun kalangan NGO internasional dan Gereja Katolik tidak pernah mendukung integrasi Timtim ke Indonesia, AS tetap mendukung Indonesia, dan tidak pernah mempersoalkan berbagai kebijakan Indonesia di Timtim.
Henry Kissinger ketika itu menyatakan, “AS memahami posisi Indonesia.” Pada tanggal 12 Desember 1975, MU-PBB mengeluarkan resolusi 3485 yang memerintahkan Indonesia menarik tentaranya dari Timtim. Sebanyak 72 negara mendukung resolusi itu, 10 menentang, dan 43 abstain, termasuk AS.
Pasca Perang Dingin situasi berubah. Setelah komunis runtuh, tahun 1990, Barat tidak lagi melihat komunis sebagai ancaman utama. Posisi komunis mulai digantikan oleh Islam.
Para era pasca Perang Dingin inilah, tokoh Katolik Timtim, Uskup Belo, memainkan peran penting dalam melepaskan Timtim dari Indonesia. Belo dengan cerdiknya memainkan isu agama dalam dunia internasional. Menurutnya, yang terjadi di Timtim, bukan hanya soal pelanggaran HAM, tetapi Islamisasi oleh orang Islam Indonesia dan juga pemusnahan orang-orang Kristen.
Majalah Time edisi 15 Juni 1992 menjadikan tema kebangkitan Islam sebagai topik utama, dengan judul cover yang mencolok: “Islam: Should the World be Afraid?” Yang mereka maksud dengan paham anti-Barat tak lain adalah Islam.
Ada tiga gejala yang disorot sebagai bukti menguatnya paham anti-Barat itu. Pertama, perkembangan kaum fundamentalis Islam di negera-negera Arab. Kedua, kebangkitan Islam di negara-negara bekas Uni Soviet. Dan ketiga, perkembangan bank Islam.
Dalam kasus Papua, dua isi ini – HAM dan Islamisasi – juga dimainkan. Bedanya, kaum Katolik memiliki induk organisasi yang kuat, yaitu Vatikan. Di Papua, soal Islamisasi Papua bisa dijadikan isu internasional. Bahwa, ada ancaman terhadap agama Protestan.
Tahun 1996-1997 – ketika masih aktif sebagai wartawan di Istana Kepresidenan — saya sempat mengikuti kunjungan Presiden ke beberapa tempat: Italia, Bangkok, dan Timtim. Ketika itu saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI.
Terlepasnya Timtim tak lepas dari peran Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Belo sempat menggoncang politik Indonesia dalam wawancaranya di Majalah der Spiegel edisi 14 Oktober 1996. Kepada majalah Jerman itu, Belo menyatakan, “Tentara Indonesia telah merampas kemerdekaan dan menghancurkan kebudayaan kami, juga memperlakukan kami seperti anjing kudisan. Mereka tidak mengenal tata keadilan. Orang Indonesia memperlakukan kami seperti budak belian.” Judul berita itu sendiri adalah “Sie halten uns wie Sklaven” (Mereka Memperlakukan Kami Seperti Budak Belian).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemerintah RI sangat berang dengan wawancara Belo. Menlu Ali Alatas sampai-sampai menemui Menlu Vatikan Mgr. Jean Louis Tauran di Roma dan menyampaikan keprihatinan Indonesia terhadap ucapan-ucapan Belo. Ketika itu, dalam pesawat kepresidenan dari Jakarta-Jordan-Roma, saya melihat bagaimana masalah Uskup Belo dan Timtim menjadi pembicaraan serius di kalangan pejabat-pejabat tinggi RI.
Tetapi, posisi Uskup Belo sangat kuat, sehingga pemerintah Indonesia tidak menindaknya. Tetapi, hanya mengadukan ulah Uskup itu kepada bosnya di Vatikan.
Posisi Keuskupan Dili memang langsung berada di bawah Vatikan. Tahun itu juga, Uskup Belo dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian.
Karena itulah, dalam kasus Papua, pemerintah RI tidak bisa hanya mengandalkan status Papua yang berbeda dengan Timtim. Di dunia internasional begitu banyak terjadi hukum dikalahkan oleh kekuatan.
Meskipun hanya berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa, Timtim cepat meraih kemerdekaannya dari Indonesia. Perlakuan Barat terhadap Timtim, sangat berbeda dengan nasib rakyat Palestina, yang 3 juta lebih rakyatnya kini masih hidup dalam pengasingan, dan PBB sendiri tidak pernah mengesahkan pendudukan Israel terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza. Tetapi, usaha pendirian negara Palestina masih belum jelas.
Perlu kearifan dalam penanganan Papua, sehingga kasus Timtim tidak terulang kembali! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 6 Desember 2020).*
Penulis Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia