Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | HARI Rabu, 18 November 2020, alhamdulillah, saya dapat memenuhi undangan untuk menghadiri Peringatan Milad ke-108 Tahun Persyarikatan Muhammadiyah. Tempatnya, di lantai 6 Masjid at-Tanwir, Jalan Menteng Raya 62, Jakarta Pusat. Karena masih di tengah suasana Pandemi Covid-19, maka acara dilakukan secara daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) internet.
Di masjid at-Tanwir, ada beberapa undangan yang hadir secara langsung, diantaranya: Jusuf Kalla, Mahfud MD, Bambang Susetyo, Saleh Basarah, Zulkifli Hasan, Zainut Tauhid, Fahmi Salim, dan Sekjen PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti. Ketua PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nasir memberikan sambutan dari Yogyakarta.
Presiden Jokowi, dalam sambutannya, menyebut bahwa amal-amal Muhammadiyah telah memberikan karya nyata. Bahkan, Presiden mengakui, keluarganya ikut merasakan hal itu. Cucu pertamanya lahir di RS PKU Muhammadiyah. Istrinya pun pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sehari sebelumnya, atas permintaan sekretariat PP Muhammadiyah, saya mengirimkan ucapan selamat milad ke-108 Muhammadiyah, melalui video singkat. Semoga pimpinan dan warga Muhammadiyah selalu dalam lindungan dan bimbingan Allah, untuk terus berjuang mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Masyarakat ideal seperti itu adalah masyarakat yang adil dan makmur, penuh kasih sayang dan tolong menolong satu dengan lainnya, memiliki budaya literasi tinggi, membenci kemunkaran, kemaksiyatan, kecurangan, dan kebohongan. Masyarakat ideal seperti itulah yang pernah terwujud di masa Nabi Muhammad ﷺ.
Di usianya yang ke-108 ini, Muhammadiyah memiliki ratusan Perguruan Tinggi, ribuan sekolah, ratusan rumah sakit, dan berbagai amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga telah melahirkan tokoh-tokoh besar yang diakui jasanya sebagai Pahlawan Nasional, seperti KH Ahmad Dahlan, Panglima Besar Sudirman, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka, dan sebagainya.
Dengan semakin besarnya Muhammadiyah, tentulah semakin besar pula tantaangannya, dan semakin banyak masalah yang dihadapi. Pimpinan Muhammadiyah mengemban amanah yang berat dan mulia untuk membawa kapal besar Muhammadiyah menebar manfaat ke seluruh penjuru Nusantara.
Teladan Sang Pendiri
Pencapaian besar Muhammadiyah saat ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari pemikiran dan perjuangan Sang Pendiri, yaitu KH Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan, lahir pada 1 Agustus1868. Atas jasa besarnya, maka pada tahun 1961, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada KH Ahmad Dahlan, melalui Keputusan Presiden No 657 tahun 1961.
Diantara dasar penetapan Keputusan Presiden Soekarno dalam Keppres 657 tersebut adalah: bahwa KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; (b) Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam.
Kiai Ahmad Dahlan adalah seorang ulama pejuang, pecinta ilmu dan amaliah nyata. Bersama KH Hasyim Asy’ari ia berguru kepada KH Soleh Darat di Semarang. Lalu, keduanya dikirim ke Makkah, berguru kepada ulama-ulama di sana, terutama kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kiai Dahlan juga sosok idealis yang memiliki kepribadian dan kemampuan komunikasi hebat. Bung Karno mengaku, saat masih berumur 15 tahun, ia sudah terpesona dengan ceramah Kiai Dahlan. Bahkan, sejak itu, Bung Karno “ngintil” Kiai Dahlan. “Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kiai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil (mengikuti. Pen.) kepadanya, tahun 1938 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun 46 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah; tahun ’62 ini saya berkata, moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhaanahu wa-Ta’ala, dan jikalau saya meninggal supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya,” begitu pidato Bung Karno pada Muktamar Muhammadiyah di Jakarta, 25 November 1962.
Solichin Salam, dalam bukunya, K.H. Ahmad Dahlan, Reformer Islam Indonesia (1963), mendokumentasikan sosok Kiai Dahlan. “Kebesaran Kiai Dahlan tidaklah terletak pada luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan terletak pada kebesaran jiwanya, kebesaran pribadinya,” tulis Solichin Salam.
Kiai Dahlan memberikan teladan yang hebat dalam perjuangan. Beliau melakukan kerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja tuntas. Meskipun dalam kondisi sakit, beliau tidak menuruti nasehat para dokter untuk berhenti berjuang. Beberapa kali, usaha murid-muridnya untuk membujuknya beristirahat gagal.
Maka, suatu saat, dimintalah Nyai Dahlan menasehati Sang Suami.
“Istirahat dulu, Kiai!” saran sang istri.
“Mengapa saya akan istirahat?” tanya Kiai Dahlan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Kiai sakit, istirahatlah dulu, menunggu sembuh,” kata Nyai Dahlan lagi.
“Ajaib,” kata Kiai Dahlan, “Orang di kiri kananku menyuruh aku berhenti beramal, tidak saya pedulikan. Tetapi sekarang kau sendiri pun ikut pula.”
Dengan meneteskan air mata, istrinya berucap, “Saya bukan menghalangi Kiai beramal, tetapi mengharap kesehatan Kiai, karena dengan kesehatan itulah Kiai dapat bekerja lebih giat di belakang hari.”
Kiai Dahlan pun menenangkan istrinya; menjelaskan latar belakang perjuangannya. “Saya mesti bekerja keras, untuk meletakkan batu pertama dari pada amal yang besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan atau pun saya hentikan, lantaran sakitku ini, maka tidak ada orang yang akan sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa, bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan selekas mungkin, maka yang tinggal sedikit itu, mudahlah yang di bekalang nanti untuk menyempurnakannya.”
Kira-kira seminggu sebelum wafatnya, Kiai Dahlan berpesan kepada murid-muridnya, “Aku tak lara ya, kowe kabeh temandanga!” (Saya mau sakit, bekerjalah kalian semua!”). Dan pada 23 Februari 1923, Kiai Dahlan dipanggil Allah SWT. Benar, beliau telah meletakkan landasan yang kuat dalam perjuangan.
Sebelum wafat, Kiai Dahlan sempat menitipkan pesan: “Kita manusia ini, hidup di dunia hanya sekali buat bertaruh. Sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraan?”
Semoga kita dapat meneladani keikhlasan dan kesungguhan perjuangan KH Ahmad Dahlan. Amin. (Bekasi, 19 November 2020).*
Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII)