Sambungan artikel PERTAMA
Pada 13 November 2017, gagasan al-Attas itu digaungkan lagi oleh Dr. Muhammad Ardiansyah, dalam bentuk disertasi doktor bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Disertasinya berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi”.
Melalui disertasinya, Ardiansyah membuktikan, bahwa konsep adab yang dirumuskan oleh Prof. al-Attas bersifat unik, penting, mendasar, dan aplikatif. Al-Attas bukan saja berhasil membuat rumusan konsep adab yang komprehensif, tetapi al-Attas juga telah membuktikan bahwa konsepnya bisa diterapkan di dunia pendidikan modern, khususnya di Perguruan Tinggi.
Menurut Ardiansyah, konsep adab sendiri bukanlah hal baru dalam ajaran Islam. Para ulama Islam telah menekankan penting dan strategisnya konsep ini. Itu bisa dilihat dari pernyataan para ulama seperti Umar ibn al-Khattab r.a. yang menyatakan taadabû tsumma ta‘allamû (beradablah kalian, kemudian pelajari ilmu). (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, (Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa tahun), hlm. 54).
Konsep adab ini bukan konsep baru. Sejak dulu para ulama sudah membahas dan mengaplikasikannya. Beberapa ulama telah menyampaikan makna adab. Abu al-Qasim al-Qusyairy (w 465 H) menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtimâ’ jamî’ khisâl al-khair). Oleh karena itu orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya.
Dalam disertasinya, Ardiansyah menawarkan enam langkah aplikasi konsep adab di Perguruan Tinggi: Pertama, mensosialisaikan tujuan pendidikan sebagai proses menanamkan adab yang diawali dengan tazkiyatun nafs. Kedua, menyusun kurikulum pendidikan secara hirarkis dengan klasifikasi ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Ketiga, menyiapkan program dan metode pendidikan berdasarkan prinsip al-taadub tsumma al-ta’allum melalui kajian adab, penguatan keimanan, pembiasaan, keteladanan dan kedisiplinan. Keempat, mengoptimalkan peran dosen sebagai muaddib yang peduli dan menjadi teladan. Kelima, merumuskan evaluasi pendidikan berdasarkan adab dan ilmu. Dan keenam, menyiapkan sarana pendukung yang berkualitas.
Melalui enam langkah inilah, tujuan pendidikan tinggi untuk membentuk manusia yang baik (good man), yakni manusia beradab (insan adabi), atau manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, dapat terwujud. Itulah manusia terbaik, yang mampu menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan.
Jadi, sesuai konsep ini, proses pendidikan di universitas atau perguruan tinggi, bukan sekedar proses pengajaran, tetapi yang utama adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan. Proses ini memerlukan keteladanan pimpinan dan dosen, pembiasaan penerapan nilai-nilai kebaikan, dan juga penegakan aturan.
Konsep “taadabû tsumma ta‘allamû” juga lazim diterapkan dalam proses pendidikan para ulama di masa lalu. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!
Di Perguruan Tinggi, konsep ini bisa diterapkan dalam bentuk matrikulasi di awal perkuliahan. Dalam kurun waktu tertentu, para mahasiswa baru hanya belajar dan mengamalkan adab dan ibadah. Hanya mereka yang terbukti adab, ibadah, dan akhlaknya baik, yang boleh melanjutkan pelajaran, menekuni bidang ilmu tertentu di Fakultas. Dengan cara ini, insyaAllah terhindar lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang tidak beradab (be-adab).
Pendidikan jiwa
Sesuai dengan konsep pendidikan berbasis adab tersebut, maka inti dari seluruh proses pendidikan adalah proses pensucian jiwa (takiyatun nafs). Inilah awal perubahan diri manusia. Jiwanya yang harus berubah menjadi semakin suci. Tidak keliru jika para siswa dan mahasiswa rajin menggemakan lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Kampus seyogyanya menjadi tempat ideal bagi proses pensucian jiwa tersebut, dengan dimotori para pejabat dan pimpinannya. Jangan sampai pimpinan kampus justru mempertontonkan – misalnya – perilaku cinta dan serakah jabatan. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan. Pimpinan kampus yang sehat jiwanya adalah yang memandang jabatan sebagai amanah yang berat, yang akan mereka pertanggungjawabkan di hadapan Satu-satunya Hakim Yang Maha Adil di Hari Akhir.
Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “al-Mujaahidu man jaahada nafsahu”. Bahwa, seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. (HR Tirmidzi). Proses pensucian jiwa adalah perjuangan yang berat. Dan hanya orang yang mensucikan jiwanya yang akan beruntung dan meraih kemenangan. Dengan kata lain, kampus ideal bukan menjadi tempat untuk mengumbar hawa nafsu.
Tentu saja, untuk meraih jiwa yang suci atau jiwa yang tenang (muthmainnah) tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sudah bersabda: “Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani, shahih).
Sebagai contoh, kampus ideal, sepatutnya memiliki orientasi utama kehidupan akhirat; bukan hanya berhenti pada tujuan-tujuan duniawi. Para dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya mengejar kebahagiaan (sa’adah) dunia dan akhirat. Penetapan ranking universitas di Indonesia, seharusnya juga memasukkan kriteria iman, taqwa, dan akhlak mulia; bukan hanya aspek formalitas dan manajerial kampus.
Untuk mewujudkan gerakan kebangkitan Perguruan Tinggi, maka Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) bagi Perguruan Tinggi lainnya. Perguruan Tinggi Islam bersungguh-sungguh dalam melahirkan alumni yang ideal. PTI harus unggul dalam kualitas iman, taqwa, akhlak mulia, dan profesionalitas lulusan nya. Jangan sampai lulusan PTI sama atau bahkan lebih buruk dari Perguruan Tinggi Umum.
Ini adalah gerakan mulia dan pekerjaan besar. Diperlukan kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja cerdas untuk mewujudkannya. Jika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, insyaAllah, dalam waktu singkat, PTI akan menjadi mimpi dan tujuan utama tempat kuliah bagi para lulusan SMA terbaik di Indonesia. Dengan begitu, maka era 2020-2045 benar-benar menjadi era kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam. InsyaAllah. (Depok, 13 Februari 2018).*
Penulis guru Pesantren at-Taqwa Depok-Jawa Barat. Kolom CAP adalah kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com