Sambungan artikel PERTAMA
Memang, persaingan atas kekayaan belum tereksploitasi Burma berada di puncaknya dalam beberapa dekade terakhir. Kekayaan inilah – dan kebutuhan untuk mengurangi status superpower China di Asia – yang telah membawa Barat kembali, memasang Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin di sebuah negara yang tidak pernah secara fundamental berubah, tetapi hanya memberinya nama baru sebagai jalan untuk kembalinya ‘Big Oil’.
Namun, Rohingyalah yang sedang membayar harganya.
Jangan biarkan propaganda resmi Burma menyesatkan Anda. Rohingya bukanlah orang asing, penyusup atau imigran di Burma.
Kerajaan Arakan mereka eksis pada Abad ke 8. Pada abad-abad setelah itu, penduduk kerajaan tersebut mempelajari Islam dari pedagang-pedagang Arab dan, seiring berjalannya waktu, menjadi wilayah bermayoritas Muslim. Arakan merupakan negara bagian Burma modern, di mana sebagian besar dari 1,2 juta Rohingya masih tinggal dan hidup.
Baca: Dunia Diam Atas Kekerasan di Myanmar adalah ‘Gambaran Memalukan’
Gagasan palsu yang mengatakan bahwa Rohingya merupakan orang luar berawal pada 1784 ketika Raja Burma menaklukan Arakan dan memaksa ratusan ribu orang untuk melarikan diri. Banyak dari mereka yang dipaksa keluar dari rumah mereka pergi ke Bengali, dan pada akhirnya kembali ke Arakan.
Pada 1982, pemerintahan militer mengeluarkan UUD Kewarganegaraan yang melucuti hampir semua kewarganegaraan Rohingya, mendeklarasikan mereka sebagai warga ilegal di negara mereka sendiri.
Perang melawan Rohingya dimulai lagi pada 2012. Setiap episodenya, sejak itu, telah diikuti dengan cerita yang khas: ‘bentrokan masyarakat’ antara warga Buddha dan Rohingya, seringkali membuat puluhan ribu kelompok terakhir terusir ke Teluk Bengal, ke hutan-hutan dan, bagi yang bertahan hidup, ke kamp-kamp pengungsi.
Di tengah-tengah kebisuan internasional, hanya sedikit tokoh seperti Paus Fransiskus yang mau angkat bicara dengan mendukung Rohingya dalam sebuah doa yang menyentuh pada Februari lalu.
“Mereka diusir dari Myanmar, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya karena tidak ada yang menginginkan mereka. Tapi mereka orang-orang baik, orang-orang cinta damai. Mereka bukan Kristen. Mereka orang baik. Mereka adalah saudara kita,” imbuhnya masih merujuk pada Rohingya. Namun panggilannya akan keadilan tidak pernah dihiraukan.
Arab dan negara-negara Muslim sebagian besar masih diam, meskipun terdapat protes publik agar segera melakukan sesuatu untuk mengakhiri genosida itu.
Melaporkan dari Sittwe, ibukota Rakhine, jurnalis veteran dari Inggris, Peter Oboner, menggambarkan apa yang telah dia lihat di dalam artikel yang dipublikan oleh Daily Mail pada 4 September:
Baru lima tahun yang lalu, sekitar 50.000 dari populasi kota berpenduduk 180.000 merupakan anggota dari kelompok etnis Muslim Rohingya setempat. Hari ini, hanya tinggal 3.000. Dan mereka tidak dapat bebas berjalan di jalanan. Mereka hidup berdesak-desakan dalam sebuah area kecil yang dikelilingi kawat berduri. Penjaga-penjaga bersenjata mencegah para pengunjung masuk – dan tidak akan memperbolehkan Muslim Rohingya pergi.
Dengan akses ke kenyataan itu melalui banyak utusan mereka di lapangan, pemerintah Barat mengetahui betul fakta yang tak terbantahkan itu, namun mengabaikan mereka.
Ketika perusahaan-perusahaan AS, Eropa dan Jepang berbaris untuk mengeksploitasi harta karun Burma, yang mereka semua butuhkan hanyalah anggukan tanda setuju dari pemerintah AS. Administrasi Obama memuji ‘pembukaan’ Burma bahkan sebelum pemilu 2015 yang membawa Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional Demokrasinya berkuasa. Setelah tanggal itu, Burma telah menjadi ‘kisah sukses’ lain Amerika, tentu saja, dengan melupakan, fakta bahwa genoside telah berlangsung di negara itu selama bertahun-tahun.
Baca: Kejamnya Militer Myanmar, Pasang Ranjau Darat untuk Warga Rohingya
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kekerasan di Burma masih mungkin meningkat dan mencapai negara-negara ASEAN lainnya, karena dua kelompok etnis dan relijius di negara-negara itu didominasi dan hampir merata antara Buddha dan Muslim.
Kembalinya (dianggap kemenangan) AS-Barat untuk mengeksploitasi kekayaan Burma dan persaingan AS-China sangat mungkin semakin memperumit situasi, jika ASEAN tidak mengakhiri kebungkaman mengejutkannya dan bergerak dengan strategi yang pasti untuk menekan Burma agar mengakhiri genosidanya atas Rohingya.
Orang-orang di seluruh dunia harus mengambil sikap. Komunitas-komunitas relijius harus mengangkat suara. Kelompok-kelompok HAM harus melakukan lebih dalam mencatat kejahatan-kejahatan pemerintah Burma dan menahan transaksi mereka yang menyuplai Burma dengan persenjataan.
Uskup yang dihormati di Afrika Selata, Uskup Desmond Tutu, telah dengan keras menegur Aung San Suu Kyi karena berpura-pura buta terhadap genosida yang sedang berlangsung.
Inilah setidaknya yang kita harapkan dari orang yang melawan aparheid di negaranya sendiri, dan yang menulis kata-kata terkenal: “Jika kamu netral dalam situasi ketidakadilan, kamu telah memihak sang penindas.”*
Penulis adalah kolumnis masalah tentang Timur Tengah selama lebih dari 20 tahun. Pendiri PalestineChronicle.com menulis buku “The Second Palestinian Intifada”, “My Father Was a Freedom Fighter: Gaza’s Untold Story”. Artikel berjudul asli, The Genocide of the Rohingya: Big Oil, Failed Democracy and False Prophets dipublikasikan middleastmonitor