Kenyataan itu diperparah lagi dengan semakin dekatnya Iran dengan AS pasca persetujuan Jenewa-3 tentang program nuklir negeri Syiah itu yang dipastikan berdampak secara regional terutama makin berlarutnya krisis berdarah di Suriah. “AS telah menganggap Iran sebagai mitra…revolusi Suriah bahkan identitas Arab akan menjadi harga dari kemitraan ini,” papar Abu Saqra lagi.
Tanda Tanya
Memasuki tahun keempat tragedi kemanusiaan di negeri bekas pusat pemerintahan salah satu Khilafah Islam terbesar itu, tidak ada lagi pihak yang berani menunjukkan sikap optimis bahwa krisis akan segera berakhir dalam waktu dekat. Tidak pula ada yang optimis menjamin rezim akan jatuh atau akan bertahan sehingga ibaratnya seperti serial drama televisi yang sulit diprediksi kesudahannya oleh para pemirsa.
Mayoritas publik dan analis hanya menoreh tanda tanya besar apakah dengan memasuki tahun keempat pada 14 Maret 2014 kemarin, krisis ini akan segera berakhir baik dengan hengkangnya rezim atau kalahnya oposisi. “Tidak ada (pihak) yang berani memastikan siapa bakal bertahan dan terdepak memasuki tahun keempat krisis Suriah,” komentar sejumlah media Arab.
Yang sudah pasti adalah, revolusi damai rakyat yang hanya menuntut perubahan lebih baik telah dicuri oleh pihak-pihak tertentu yang mengedepankan slogan-slogan yang tidak ada kaitannya dengan tuntutan perubahan dimaksud. Bermacam-macam kepentingan ini yang menambah penderitaan rakyat sipil negeri itu yang menurut data PBB lebih dari 40 % penduduk Suriah hidup dalam pengungsiaan dan 9 juta dilaporkan menderita kelaparan disamping korban jiwa dan luka-luka yang telah disebutkan sebelumnya.
Dalam tulisan ini tidak dalam kapasitas untuk memaparkan berbagai kepentingan terutama di kalangan penentang rezim yang mengacau jalannya revolusi, namun sekedar memaparkan secara umum carut-marutnya krisis ini memasuki tahun keempat. Oposisi yang dimotori Tentara Kebebasan (Al-Jeish Al-Hurr) misalnya, disadari atau tidak oleh banyak pihak dinilai melakukan kesalahan ketika bersedia duduk bersama dengan delegasi rezim Assad di Jenewa.
Posisi oposisi sebelum pertemuan Jenewa oleh banyak pihak dianggap tepat ketika menganggap Assad sebagai penjahat perang dan menolak bertemu dengan delegasi utusannya kecuali pejabat Suriah yang pro perubahan.
Namun kesediaannya duduk bersama delegasi Assad telah menggerogoti kredibilitas oposisi disamping minimnya dukungan internasional akibat perpecahan internal mereka.
Kekeliruan tersebut nampaknya harus dibayar mahal karena delegasi Assad mendapat pengakuan internasional yang secara tersirat juga sebagai pengakuan atas rezim. Merasa posisinya semakin kuat pasca pertemuan Jenewa, rezim Assad semakin membabibuta melakukan pembantaian didukung milisi Syiah Hizbullah dan Garda Republik Iran. Bahkan lucunya ditengah pembanatian tersebut masih sempat melakukan drama referendum untuk perpanjangan masa jabatan Assad.
Sementara AS yang tadinya sempat bertaruh bakal mampu mencapai target bersama dengan Rusia atas dasar perkiraan Moskow bakal bersedia melengserkan rezim Assad namun negeri beruang merah itu tetap mempertahankan kepentingannya di Suriah, ternyata keliru besar. Negeri Paman Sam itu harus gigit jari karena perkiraannya meleset bahkan krisis Suriah ini semakin mengikis pengaruh dan wibawanya di kawasan Timur Tengah (Timteng).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Konferensi Jenewa terakhir tentang krisis Suriah sedikitnya menunjukkan kekeliruan strategi Washington menghadapi Rusia dan mudahnya pemerintahan Obama tertipu oleh taktik Moskow. Adapun PBB lewat utusan khususnya, Lakhdar Ibrahimi hanya cukup menyampaikan permintaan maaf atas kegagalan mengakhiri tragedi rakyat Suriah tersebut tanpa mempertimbangkan korban jiwa yang demikian mengerikan seolah-olah korban kebiadaban rezim bukan manusia.
PBB dan organisasi-organisasi internasional terkait, kelihatannya sudah kehabisan cara untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan tersebut sebab mereka hanya mampu sekedar menegaskan himbauan untuk berunding walaupun tanpa target jelas. Masyarakat internasional sepertinya menutup mata menyaksikan korban jiwa besar yang terus berjatuhan setiap hari.*/bersambung