MEMELIHARA dan mengatur lisan merupakan salah satu perkara terpenting dalam Islam. Itulah sebabnya kita dapatkan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam sabda, “Barangsiapa yang menjamin dan memelihara buat aku apa yang ada di antara kumis dan jenggot (yaitu lisan) dan apa yang terdapat di antara kedua pahanya (yaitu kemaluan), niscaya aku menjamin untuknya surga.” (HR Abu Daud).
Nabi bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan (cara) penguasaan seluruh kebaikan kepadamu?” Kemudian beliau melanjutkan, “Hendaklah kamu menutup ini (seraya memberi isyarat pada lisannya).”
Dikatakan juga, “Sesungguhnya kami mengambil tindakan terhadap apa yang kami ucapkan.” Dan, “Demi kematian ibumu wahai Mu’adz! Bukanlah manusia menelungkupkan wajahnya di dalam neraka akibat dari lisan-lisan mereka?”
Jadi, memelihara lisan sesuai dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan salah satu perkara terpenting dan salah satu hal tersulit bagi manusia. Seharusnya lisan itu hanya digunakan oleh manusia untuk kebaikan, dan dipelihara dari setiap kejahatan, bahkan dari pembicaraan kosong.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaklah bertutur kata baik atau diam.” (HR Bukhari).
Allah berfirman: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi pahala yang besar. (An-Nisa’: 114).
Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. (Al-Mujadalah: 9).
Banyak jumlah bencana lisan yang harus dijauhi oleh seorang Muslim. Al-Ghazali dengan panjang lebar membicarakan masalah ini dalam karyanya, Ihya’ ‘Ulumuddin.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Berdasarkan uraian ini, maka pada pokoknya masalah lisan berkisar pada: bagaimana manusia memelihara lisan dari dosa dan omong-kosong, menggunakannya untuk perkara-perkara yang baik, dan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang omong kosong. Semua itu membutuhkan ilmu yang luas dan pengekangan diri atau hawa nafsu yang memadai.*/Said Hawwa, dari bukunya Jalan Ruhani. [Tulisan selanjutnya]