Masyumi dan krisis politik terpimpin
Harian Republika dalam judul Sejarah Masyumi dan PRRI: Kisah Perlawanan Anti Komunis, menyebutkan, sebelum bersama-sama lima partai lain Masyumi mengirim telegram kepada Letkol Ahmad Husein, dan mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh H. Soekiman Wirjosandjojo (Wakil Ketua I) dan H.M.Yunan Nasution (Sekretaris Umum).
Sesudah menyatakan rasa syukur dan terima kasih karena telah diberi kesempatan untuk bertukar pikiran dengan berbagai pihak yang berwenang, dan mengkonstatir terdapat kesamaan pandangan dalam melihat perkembangan keadaan, Masyumi menyampaikan pendiriannya.
Masyumi menegaskan kembali dasar-dasar politik yang dilaksanakannya selama ini, yaitu:
- Mengembalikan kedudukan Undang-Undang Dasar.
- Mengembalikan ketertiban hukum dan demokrasi.
- Menjaga jangan sampai daerah-daerah melepaskan dirinya dari ikatan Negara Republik Indonesia.
- Meyakinkan bahwa kekerasan senjata tidak akan membawa penyelesaian.
Masyumi mengakhiri statemetnya dengan narasi berikut ini:
“Maka Pimpinan Partai Masyumi terus menerus berusaha untuk menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk menyelamatkan Negara ini, dan dalam taraf sekarang ini mengajak dengan sungguh-sungguh kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk segera mengambil langkah bersama yang nyata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak bisa dipulihkan lagi.”
Baca: PKI dan Persekusi Ulama
Sebagai tindak lanjut dari statementnya, Masyumi melakukan kontak intensif dengan Pejabat Presiden Mr. Sartono, Perdana Menteri Djuanda, Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi dan K.H. Idham Chalid, KSAD Jenderal Nasution, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta para pemimpin partai politik: PNI (Soewirjo), NU (K.H.M. Dachlan), Partai Katolik (I.J. Kasino), Partai Kristen Indonesia (A.M. Tambunan), dan lain-lain.
Kontak-kontak yang sangat luas itu dilakukan oleh Soekirman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Faqih Usman, Mohamad Roem, Zainal Abidin Ahmad, dan lain-lain. Semua ikhtiar Masyumi itu di apresiasi, baik oleh PM. Djuanda dalam pidato di DPR, maupun oleh Presiden Sukarno dalam pidato saat menerima kembali jabatannya dari Pejabat Presiden Mr. Sartono.
Sejak Januari 1957, prestise Kabinet Ali Sastroaamidjojo II mendapat kritik dan sorotan tajam karena ketidakmampuannya mengatasi berbagai krisi yang terjadi. Karena tampilnya kabimet Ali kedua kalinya sangat mengecewakan militer dan pimpinan nasional karena dinilai semakin memberikan keleluasaan gerak PKI. (Suswanta, Keberanian untuk Takut, hal 77).
Kondisi politik dan ekonomi yang tidak stabil jelas tidak memungkinkan terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan dengan baik. Daerah menuduh pusat hanya mementingkan kepentingannya sendiri, terlalu birokratis dan sentralistis, terlalu banyak menyedot dana dari daerah tapi tidak dipergunakan untuk membangun daerah.
Selain itu, munculnya kabinet kedua Ali justru memperlihatkan krisis perekonomian, keamanan yang buruk khususnya di Sulawesi Selatan, Aceh, dan Jawa Barat. Dalam suasana seperti itu juga Soekarno dalam kunjungan keluar negeri yang memakan waktu 12 hari ke negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Mongolia, Cekoslovakia dan Cina. Dan saat berpidato sungguh menganggetkan masyarakat Indonesia yang mencita-citakan demokrasi. Justru Soekarno senantiasa mengulang mimpinya untuk mengubur partai-partai di Indonesia.
Seperti dikutip dalam buku karya Suswanta, Soekarno paa hari Sumpah Pemuda 26 Oktober 1956, sekembalinya dari Cina dan Moskow secara terbuka mengulang kembali isi pidatonya bahwa penyebab ketidakstabilan politik adalah karena banyaknya partai politik. Oleh karena itu, cara untuk mengatasinya adalah dengan menguburkan parti-partai yang ada, kemudian diatasi dengan sistem baru hasil konsepsinya yang dinamakan demokrasi terpimpin.
Mc. Riclefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern, menyebutkan, M Natsir menentang gagasan demokrasi terpimpin. Partai Murba yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk dapat mencapai kekuasaan dalam sistem parlementer, memuji gagasan seperti itu dan membuat ikatan yang lebih erat dengan Soekarno.
PNI dan NU tertarik dengan gagasan Soekarno, akan tetapi akan menderita kerugian kalau sistem parlementer dihapuskan, bersikap ambivalen. PKI yang mencari perlindungan mendukung gagasan Presiden, tetapi dengan harapan agar partai politik tidak dibubarkan.
Dan menurut M Natsir, demokrasi di Indonesia jikalau dibiarka terus begini tidak akan mencapai hasil yang diharapkan, baik sebagai sistem politik maupun di laangan ekonomi dalam pertumbuhan nasional.
Sebagaimana dikutip Harian Abadi, 18 Januari 1957, dikutip Suswanta dalam bukunya, Soekarno mengatakan bahwa dengan penguburan partai politik ia tidak bermaksud mengubur demokrasi, akan tetapi dimaksudkan untuk memperingatkan pemimpin-pemimpin partai politik bahwa mereka tidak bisa terus bertindak seperti itu, mengabaikan kebutuhan dan keinginan, harapan serta kekecewaan berjuta-juta orang, hanya karena sudah ada persetujuan diantara para pemimpin di markas besarnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Demokrasi, menurut Soekarno, adalah dimaksudkan untuk membela kepentingan rakyat umum dan bukanlah hanya untuk pertunjukan kemerdekaan politik bagi pemimpin partai. “Jikalau kami dapat mempergunakan demokrasi sejati Indonesia dalam kehidupan politik kami, maka kekecewaan dan kesulitan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan itu akan diterima oleh rakyat Indonesia.”
Dari apa yang diucapkan Presiden Soekarno di atas, jelas bahwa Bung Karno ingin merubah sistem demokrasi parlementer ‘separuh tambah satu’ menjadi ‘demokrasi terpimpin’ demokrasi asli Indonesia yan bersumber pada musyawarah dan gotong royong.
Jadi ada beberapa faktor yang mempengaruhi lahirnya PRRI adalah adanya krisis politik, ekonomi, dan militer. Konflik antar partai, krisis kabinet, gagalnya pembangunan ekonomi, konflik di kalangan militer dan berkembangannya kekuatan PKI merupakan wujud dari krisis saat itu.
Krisis memuncak ketika terjadi perpecahan dwitunggal Soekarno Hatta dan presiden Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD Sementara, yakni menunjuk dirinya sebagai formatur kabinet, membentuk kabinet ekstra parlementer dengan memasukkan PKI di dalamnya serta membentuk Dewan Nasional yang diketuai dirinya sendiri.
Dalam kondisi seperti ini kasus PRRI dilihat dari tahapan gerakan, menurut Blummer sedang dalam tahap social unrest, yaitu tahap awal sebuah gerakan yang ditandai dengan ketidakpuasan. Sementara sikap presiden Soekarno yang lebih memberikan keleluasaan PKI untuk bergerak, menambah rasa antipasti kalangan sipil dan militer bergolak terhadap pusat kekuasaan.*