Penduduk lokal di Palembang, Jambi. Lampung, maupun Banjarmasin mengikuti tren perkembangan pasar karet internasional dan tidak gagap dalam mendiskusikannya. Ekonomi masyarakat pribumi di daerah-daerah ini juga tumbuh pesat pada akhir era kolonial dan banyak keluarga yang mampu membeli barang-barang mahal seperti gramopon dan kendaraan bermotor (Hart, 1942, 93).
Para pengusaha pribumi di Sumatera tampaknya memiliki lebih banyak kebebasan ekonomi yang tidak dimiliki oleh rekan-rekan mereka di Jawa. Usaha di kawasan ini tidak hanya terbatas di bidang pertanian saja. Para pedagang kaya Aceh dan Melayu, misalnya, mengendalikan impor tekstil dari Penang, di mana mereka membelinya secara langsung dari para pedagang Inggris, Swiss, dan Jerman, dan kemudian mendistribusikannya di Aceh dan Sumatera Timur (Post, 612-613). Karena itu tidak mengherankan jika pada awal era kemerdekaan, dan juga mungkin hingga sekarang ini, pengusaha-pengusaha pribumi yang paling menonjol dan paling berhasil secara ekonomi adalah mereka yang berasal dari luar Jawa.
Pada awal abad ke-20, geliat ekonomi di kalangan masyarakat pribumi Muslim sebenarnya tidak hanya berlaku di luar Jawa. Beberapa organisasi Islam yang menonjol dan berpusat di Pulau Jawa telah mengawali pergerakan mereka di bidang ekonomi.
Pada tahun 1918, berdiri Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang), sebuah perkumpulan yang menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama delapan tahun kemudian. Perkumpulan ini didirikan oleh 45 saudagar santri dan dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Dikatakan bahwa KH Hasyim Asy’ari sendiri berharap agar badan-badan usaha yang otonom dapat didirikan di setiap kota (Mahzumi, 2017: 21-22). Sayangnya tidak banyak data atau peneliatian yang membahas tentang kiprah Nahdlatut Tujjar dan tampaknya ‘kebangkitan para pedagang’ ini hanya bersifat seketika, dan setelah itu kembali surut.
Sarekat Islam, sebagaimana diketahui, merupakan perkembangan dari Sarekat Dagang Islam. Organisasi ini merupakan perkumpulan para pedagang Muslim yang kemunculannya antara lain didorong oleh persaingan dengan para pedagang Cina (Sudjana, tt.: 4). Setelah berkembang menjadi Sarekat Islam, perkumpulan ini menjadi semakin condong ke politik dan berkurang perhatiannya terhadap perdagangan.
H.O.S. Tjokroaminoto pernah ditanya alasan perubahan tersebut, dan ia kurang lebih menjawab bahwa jika perjuangan politik berhasil, maka ekonomi akan dengan sendirinya ikut dikuasai. Pandangan ini masuk akal, karena mereka yang menguasai politik akan mampu membuat kebijakan ekonomi. Namun, jauh setelah Indonesia merdeka, masyarakat pribumi tak kunjung menjadi aktor utama di bidang ekonomi. Bahkan dapat dikatakan, mereka masih berada di strata ekonomi terendah sebagaimana yang berlaku di dalam struktur ekonomi kolonial di masa lalu.
Masyarakat Muslim di Indonesia pada hari ini masih terus sibuk dengan cita-cita politik yang tak kunjung usai, yang mungkin tetap dilandasi oleh asumsi yang sama seperti di atas. Sementara politik yang dihasratkan itu sendiri sudah mulai ditelikung oleh pihak lain, yang berhasil masuk justru dari jalur penguasaan ekonomi. Wallahu a’lam.*/Kuala Lumpur, 1 Jumadil Akhirah 1442/ 14 Januari 2021
Penulis adalah staf pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)