Hidayatullah.com—Bulan September menyimpan sejarah kelam bagi negeri ini. Tahun 1965 lalu terjadi peristiwa keji, yakni pemberontakan berdarah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketika itu, kekuatan PKI sempat mendominasi jagad politik. Dengan kekuasaannya, kaum komunis lantas berusaha melibas lawan dan memecah belah persatuan sesama anak bangsa.
Pihak-pihak yang tidak sepaham di-bully dengan sebutan anti-Pancasila, anti-revolusi, teroris, dan sejenisnya. Langkah selanjutnya, dibabat habis, termasuk para jenderal.
***
Dalari Umar: Palu Arit!
Massa: Dikubur!
Dalari Umar: Pala banteng!
Massa: Di dapur!
Dalari Umar: Bulan bintang!
Massa: Di luhur!
Yel-yel itu dikomandoi oleh Dalari Umar, aktivis Masyumi, dalam kampanye Pemilu tahun 1955. Pemilihan umum pertama di Indonesia yang dipuji sebagai pemilu demokratis.
Kontestasi dalam pemilu kala itu meneguhkan peta politik di negeri ini. Yakni antara kalangan nasionalis, komunis, sosialis, dan Islam.
Era itu adalah era ideologi. Partai-partai maju dengan terang benderang mengusung ideologi mereka. Massa pendukung saling bersaing meneriakkan partai mereka sekaligus mencela partai lain. Tetapi seperti yang dicatat beberapa literatur sejarah, tak ada bentrok fisik yang berarti.
Karena persaingan ideologi, dalam kampanye mereka seringkali saling mengejek. Para petinggi partai juga melakukan perang gagasan melalui berbagai tulisan. Polemik-polemik dengan tulisan bermutu menjadi pembiasaan bagi rakyat untuk beradu argumentasi.
Meski ada pertarungan ideologi, para petinggi partai tetap menjalin hubungan baik secara pribadi dengan lawan politik. Misalnya M Natsir (tokoh Masyumi) ngopi bareng dengan DN Aidit (gembong PKI). KH Isa Anshary (pentolan Front Anti-Komunis) juga menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh komunis.
Pemilu 1955 membawa dampak jangka panjang yang mengubah peta politik di Indonesia serta masyarakatnya. Secara mengejutkan, PKI menduduki peringkat ke-4. Mau tidak mau, kondisi ini menjadikan PKI sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan.
Pemerintahan Presiden Soekarno ketika itu mendambakan kabinet berkaki empat yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, PKI, dan Nahdlatul Ulama (NU). Dan dinamika politik akhirnya membawa Soekarno cenderung merapat pada PKI.
Mesranya Soekarno dengan PKI menyulut pergolakan di daerah semisal Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Gerakan ini didukung oleh sebagian tokoh Masyumi seperti M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan lainnya.
Sikap frontal tersebut rupanya dimanfaatkan oleh PKI untuk mengisolir Masyumi. Termasuk merusak hubungan Masyumi dengan NU melalui politik belah bambu. Satu pihak diinjak, satu pihak diangkat.
Menyikapi hasil Pemilu 1955, DN Aidit mengatakan:
“Kesediaan NU mewujudkan demokrasi dan mendjalankan politik jang bersifat nasional djuga nampak ketika partai ini duduk dalam kabinet Ali-Arifin. Politik demikian ini tidak bisa diragukan, pasti lebih tjotjok bagi massa Islam Indonesia daripada politik Masjumi jang anti-persatuan, jang senang pada permusuhan dan mengandjurkan permusuhan antara Rakjat dengan Rakjat, jang anti-demokratis dan jang anti-nasional.” (DN Aidit: 1959).
Padahal sejatinya tak banyak beda antara NU dengan Masyumi. Keduanya sama-sama anti-komunis. Juga sama-sama memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam Sidang Konstituante (1957-1959).
Perbedaannya hanya dalam hal jalan yang ditempuh. NU memilih untuk mencoba merangkul Soekarno agar dapat menjauhkan, minimal mengimbangi pengaruh PKI. Sedangkan Masyumi memilih jalan konfrontatif terhadap PKI dan juga Soekarno.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri:
“Buat PKI, semua golongan yang dipandang musuh diperlakukan menurut faktor kekuatan dan kemungkinan dilawan melalui strategi akomodatif. Kadang-kadang bisa diciptakan “kerja sama.” Hal inilah yang sering dilakukan PKI, “memuji” yang satu (buat sementara) dan menggenjot lainnya.” (KH Saifuddin Zuhri: 2013).
Stigma Negatif
Resistensi Masyumi dan keterlibatan beberapa tokohnya dalam PRRI membuat Soekarno naik pitam. Presiden bahkan menyebut oposisi yang menolak kedekatannya dengan komunis sebagai communistophobie.
“Rakjat dihasut habis-habisan supaja anti Djakarta sebab Djakarta adalah komunis, ditakut-takuti dengan momok komunis, ditjekoki terus-menerus dengan penjakit c o m m u n i s t o p h o b I e, jaitu penjakit takut kepada komunis.” (Soekarno: 1965).
Lebih jauh lagi, Soekarno akhirnya melarang keberadaan Partai Masyumi. Hal itu dijawab oleh Masyumi dengan membubarkan dirinya sendiri (1960).
Bagi PKI, ini adalah kabar gembira. Sekian lama mereka begitu membenci Masyumi. Segala sumpah serapah PKI terhadap berbagai persoalan ditimpakan kepada Masyumi, mulai dari sebutan antek asing hingga tuduhan pemberontak.
Soekarno kemudian secara sepihak memberlakukan Dekrit Presiden yang menganulir keputusan konstituante, bahkan kemudian membubarkan konstituante tersebut. Soekarno melangkah lebih lanjut dengan membubarkan DPR dan kemudian membentuk DPR-Gotong Royong. Genaplah ia sebagai penguasa yang tak terkoreksi.
Pembentukan DPR-GR yang diisi orang-orang pilihan Soekarno membuat hilang fungsi penyeimbang dari DPR. Hanya ada tiga pihak yang praktis punya kekuatan saat itu, yakni Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat (AD). Adapun NU sebagai wakil dari kelompok Islam, pengaruhnya dalam politik masa itu kurang signifikan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Segitiga kekuatan itu saling mempengaruhi. AD jelas kontra dengan PKI. Sementara Soekarno dengan cerdik memanfaatkan AD dan PKI untuk saling bersaing agar tidak lebih kuat darinya.
PKI melakukan berbagai manuver demi menyesuaikan diri dengan garis politik Soekarno. Misalnya memilih menjadi “partai massa” yang sebenarnya bertentangan dengan kehendak Lenin. Juga berakrobat dengan menerima Pancasila yang berketuhanan. PKI pun merancukan konsep borjuis nasional yang mengindentikkannya dengan PNI, hingga mengubur harapan memimpin Front Persatuan Nasional yang telah lama digadang-gadang, dan mengaburkannya dengan Front Nasional. (Rex Motrimer: 2011).
Dalam Sidang Pleno ke-2 CC PKI pada tahun 1960, Aidit menggeser kebijakan PKI: ”…tugas2 revolusi Indonesia bukanlah mendirikan kekuasaaan politik satu klas, satu golongan atau satu partai, tetapi kekuasaan politik seluruh Rakjat…” (DN Aidit: 1959).
Sangat sulit pada saat itu bagi partai, elite, pejabat, atau bahkan rakyat untuk menolak irama yang ditabuh Soekarno dan para pendukungnya. Jika tetap melawan arus, maka akan dimasukkan ke penjara tanpa proses peradilan. Inilah yang dialami oleh tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Moh Roem, hingga Buya HAMKA.* Beggy Rizkiyansyah [BERSAMBUNG]
===============
Tulisan Kisah Kaum Merah Pemecah Belah adalah tulisan berseri hidayatullah.com yang pernah dimuat di rubrik Ihwal Majalah Suara Hidayatullah edisi September tahun 2018. Tulisan ini merangkum berbagai peristiwa sebelum PKI melakukan aksi merebut kekuasaan. Bagaimana gambaran situasi saat itu dan apa saja yang dilakukan PKI sebelum melakukan pemberontakan.