Hidayatullah.com | KIAI Hadji Ahmad Dahlan dan Kiai Hadji Hasyim Asy’ari, walaupun keduanya sama-sama pernah menjadi murid kesayangan Imam Masjid al-Haram, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Bahkan akhir-akhir ini demi konsumsi isu persatuan di media sosial ramai disebut jika kedua orang alim di tanah Jawa itu memiliki pertalian persaudaraan yang berasal dari pohon nasab yang sama, meski pada ujung pohon zuriyat yang sudah menjulang tinggi.
Tapi sosok kedua ulama besar itu dalam hal pemahaman keagamaan seolah-olah seperti dua kutub yang saling berbeda. Dari keduanya kemudian lahir dua ormas Islam terbesar di tanah air yang para pengikutnya sama-sama hampir sebanding banyaknya, bagaikan lautan yang terbelah oleh mukjizat tongkat Nabi Allah Musa Alaihissalam di Laut Merah. Kelak kedua ormas itulah yang kelak menjadi tolok ukur “kiblat” pemahaman umat Islam di Indonesia.
Di pegunungan, di lembah-lembah, di kaki bukit, di sepanjang aliran sungai, di pesisir pantai hingga di tengah pulau terpencil sekalipun, di dusun dan di pusat kota, selama berpuluh tahun lamanya ciri penganut dari dua “kiblat” umat Islam Indonesia tersebut akan mudah teridentifikasi dari ucapan niat “usholi”, ketika mushollin hendak mengangkat kedua tangannya sebelum takbiratul ihram. Dan itu adalah contoh paling sederhana, yang menjadi kesan umum bagi umat yang awam.
Selain masih banyak lagi ciri lainnya yang sering dijumpai di tengah-tengah umat sebagai “pembeda” seperti qunut Subuh, talkin, tahlil hingga adzan dua kali dalam ibadah shalat Jumat, yang oleh kedewasaan berpikir dan ber-ilmu para pengikutnya tanpa mempertajam ciri yang menjadi perbedaan. Kedua perkumpulan tersebut sama-sama mensepakati pentingnya ukhuwah Islamiyyah dan persatuan umat Islam dengan menjadikan “konsepsi khilafiyah” atau yang dalam literatur ilmiahnya disebut sebagai “ilmu perbandingan mazhab”, sebagai “wasit” dalam mensikapi pembeda antara keduanya.
Di masa penjajahan dahulu, sejak masa kesadaran pentingnya persatuan umat Islam lari dari belenggu kebodohan yang menjadi alat dan propaganda kolonialisasi, baik yang dirancang secara formal oleh rezim penjajah maupun elemen pendukungnya sebagai agen-agen idiolog resmi penguasa. Baik yang secara terang-terangan maupun samar-samar dengan memakai baju orientalisnya, kedua kekuatan umat Islam dengan peran ulama yang dilahirkan dari kedua poros besarnya itu telah membuktikan bahwa, “konsepsi khilafiyah” yang sudah mereka buat teruji efektif dalam mempersatukan umat Islam tanpa ada gesekan.
Bahkan telah melahirkan ide dan gagasan hingga pada adanya deklarasi seperti terselenggaranya Al-Islam Kongres, terbentuknya MIAI dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia, terbentuknya Lasykar Hizbullah yang menjadi embrio Tentara Nasional Indonesia, terwujudnya cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan konsesus azas berkebangsaan serta bernegara, sama-sama berjiwa besar ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta ditiadakan akibat siasat kaum nasionalis, hingga terwadahinya aspirasi politik umat Islam melalui Partai Islam Masyumi yang pernah berjaya sebagai pemenang pemilihan umum pertama Indonesia pada tahun 1955.
Salah satu produk dari “konsepsi khilafiyah” yang telah berhasil mengaplikasikannya di tengah-tengah perbedaan itu antaranya adalah KH. Muhammad Ali Alhamidi, kader yang lahir dan besar dari kalangan tradisionalis Islam di Betawi tapi terbentuk menjadi pemikir dan pendakwah Islam yang modernis setelah bertemu, berguru dan bersahabat dengan Syaikh Ahmad Soorkaty.
Syaikh Ahmad Soorkaty atau namanya telah disesuaikan dengan dialektikal lidah Indonesia menjadi Surkati, yang oleh KH Muhammad Ali Alhamidi disapanya dengan panggilan Mualim Ahmad ini, merupakan sosok seorang ulama yang disebut-sebut sebagal salah satu aktor intelektual perumus konsepsi khilafiyah yang ikut merumuskan atau bertindak sebagai “steering committee” pemersatuan umat Islam Indonesia yang oleh Howard M. Federsfiel disebutnya sebagai “Syaikhul Masyakaih” atau gurunya para alim ulama dan cerdik pandai. Beliau dikenal sebagai sahabat dan gurunya para ulama pembaharu, termasuk tokoh yang sepemikiran dengan A. Hassan, guru utama Persatuan Islam (Persis).
Disebutkan pula, KH Muhammad Ali Alhamidi menjadi ulama yang produktif melalui karya-karya intelektualnya, setelah Ia berkenalan dan bersahabat erat dengan A.Hassan. Dan sejak saat itulah, ia lebih dikenal sebagai aktivis dan ulama Persatuan Islam (Persis), dari Betawi.
KH. Muhammad Ali Alhamidi atau biasa nama beliau ditulis Md.Ali Al-Hamidi saja, lahir dan menghabiskan masa kecilnya di kampung Kwitang, Batavia pada 20 September 1909. Pendidikan dininya ia peroleh di madrasah Unwanul Falah asuhan Habib Ali Al-Habsyi, tokoh yang dikenal sebagai soko gurunya para ulama di Betawi, yang namanya lebih populer dengan sebutan Habib Ali Kwitang. Penyebutan nama tempat yang disandingkan dengan nama seorang tokoh agamawan (ulama) memang menjadi ciri khas di kalangan masyarakat Betawi, demikian pula nama yang disematkan kepada KH. Muhammad Ali Alhamidi yang dikenali juga dengan panggilan KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman, sejak kepindahannya ke wilayah itu dan pernah tinggal selama berpuluh tahun lamanya di Matraman Dalam II, No.56, Batavia.
Setelah menetap di bilangan Mataraman itu pula, KH Muhammad Ali Alhamidi dilabeli oleh “Kaum Tua” di Betawi sebagai “Mubaligh Kaum Muda” setelah alam pikirannya dibuka oleh Surkati dan sejak perkenalannya dengan A. Hassan, ulama ahli mantiq yang intens ia ikuti perdebatan-perdebatan terbukanya. Dari semenjak perjumpaannya dengan A.Hassan itu pula-lah Muhammad Ali Alhamidi kemudian banyak melakukan kegiatan “Dakwah Kaum Muda” yang diselenggarakan oleh aktivis Persis di daerah Tanjung Priok. Bahkan pada tahun 1931, ia bersama pamannya Tuan Abdurrahman membuka Majelis Ta’lim dan Madrasah yang dinamainya At-Tarbiyatul Islamiyah di Gang 5, Tanjung Periok.
Tanjung Periok di masa itu sudah tersiar di Betawi sebagai pusat kegiatan pergerakan dakwah yang oleh warga setempat dikenali dengan dakwah kaum wahabi. Tidak jarang dakwahnya memunculkan perdebatan dengan kelompok “kaum tua” terutama seputar permasalahan khilafiyah yang segera teratasi tanpa konflik, karena duduk perkara yang menjadi pangkal perselisihan perbedaan itu diselesaikan oleh kedua belah pihak dengan jalan dialog, yang lambat laun aktivis dakwah dari golongan kaum muda pada akhirnya dapat diterima secara terbuka oleh masyarakat di Betawi.
A. Hassan guru utama Persis yang menjadi sumber pemantik maraknya kegiatan dakwah di Tanjung Periuk, secara khusus sering didatangkan dari kota Bandung menjadi narasumber dalam kegiatan Majelis Ta’lim At-Tarbiyatul Islamiyyah di Gang 5. Dari itulah kemudian ide terbentuknya Persatuan Islam cabang Tanjung Periok pada tahun 1930an yang diketuai oleh KH. Muhammad Thahary dan KH. Muhammad Ali Alhamidi sebagai penasihatnya.
Pada saat terjadi perdebatan terbesar sepanjang sejarah di Indonesia antara A. Hassan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah di Gang Kenari Paseban, Batavia, pada tahun 1934, KH. Muhammad Ali Alhamidi bersama para muridnya dari jamaah Persis datang menghadiri debat tersebut dengan menggunakan delman dari Tanjung Periok.
Dari sejak itu hubungan kedua ulama yang sama-sama tersentuh oleh magnet pembaharuan yang dibawa oleh Surkati ulama asal Sudan tersebut, keduanya semakin akrab dan bahkan setiap kunjungan dakwahnya di Betawi, kediaman Muhammad Ali Alhamidi di kampung Matraman menjadi tempat singgah A. Hassan.
Sebagai seorang penulis khat Arab yang terampil dan ahli dalam membuat kaligrafi, ia pernah diminta menjadi penulis khat tetap pada cover dan isi majalah Al-Lisaan yang dikelola oleh A. Hassan, termasuk menjadi pengasuh rubrik An-Nisaa di majalah tersebut dan mengajar di Pesantren Persis Bandung. Semenjak itulah 1937, KH Muhammad Ali Alhamidi bersama istrinya yang baru saja membina mahligai rumah tangga tinggal di kota itu.
Dalam tafsir Al-Furqon dan At-Tauhid yang ditulis oleh A.Hassan, beliaulah yang menulis khatnya, demikian pun pada kitab-kitab karangan lainnya. KH Muhammad Ali Alhamidi akan keahliannya sebagai penulis khat, terkenal pula sebagai seorang ulama yang melestarikan budaya penulisan Arab pegon atau aksar Jawi, yaitu tulisan Melayu yang ditulis dalam aksara Arab.
Bersama guru sekaligus sahabatnya A.Hassan, KH Muhammad Ali Alhamidi pernah ikut menemaninya mendirikan Pesantren Persis di kota Bangil di Jawa Timur, tapi terpaksa harus kembali ke kampung halamannya pada masa pendudukan Jepang, setelah pondok pesantren milik Persis Bangil itu ditutup oleh pemerintah Nippon karena tidak mau mengikuti aturan wajib saikerei, atau upacara membungkuk di hadapan penguasa penjajah Jepang.
Di Betawi KH.Muhammad Ali Alhamidi melanjutkan aktivitas dakwahnya. Sebagai ulama yang berpahaman modernis, beliau adalah orang pertama di tanah Betawi yang memprakarsai penyelenggaraan shalat Idul Fitri di tanah lapang yang dilangsungkan pada masa agresi Belanda ke-2 di Lapangan Banteng, sekaligus bertindak sebagai khatibnya yang kala itu berada dalam pengawasan dan pengawalan Panser tentara Belanda.
Sebagai ulama yang produktif, KH Mohammad Ali Alhamidi banyak melahirkan karya tulis. Pada kitab/buku karangannya, namanya sering dia tulis KH.Md.Ali Alhamidy saja, di antara karangannya itu adalah Godaan Setan, Jalan Hidup Muslim, Islam dan Perkawinan, Perbaikan Akhlak, Ruhul Mimbar, Adabul Insan fil Islam, Hidayatullah, Manasik Haji, Al-Wahyu Wa Al-Qur`an, dan lain-lain. Sebagai ulama dan pejuang, ada beberapa karya tulisnya yang dibuat selama mendekam dalam sel, ketika ia ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim Orde Lama dengan tuduhan yang tidak jelas, semata-mata hasutan dari kelompok kiri, Partai Komunis Indonesia (PKI).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Gedung Departemen Kepolisian di daerah Kebayoran Baru dan di Rindam yang berada di Condet, kedua gedung itu pernah ia singgahi dan menjadi “hotel pesakitannya” sempat di huninya selama dalam masa tahanan penguasa Orde Lama yang berada di bawah pengaruh rezim Komunis. Padahal sebelumnya ia dikenal dekat dengan Bung Karno, yang sama-sama mengobarkan api perjuangan revolusi kemerdekaan dan bahkan ikut mendampinginya dalam rapat-rapat akbar bersama rakyat di Betawi, termasuk pernah berpidato bersamanya di Lapangan IKADA pada tahun 1957.
Meski dilabeli sebagai aktivis “Dakwah Kaum Muda” dan dikenal sebagai tokoh ulama Persis di Betawi, tapi karena pengetahuan ilmu agamanya yang luas dan metode dakwahnya yang menarik dengan mencontoh model dakwah dari inspirator tunggalnya Mualim Ahmad Surkati yang selalu menggunakan pendekatan dialog dengan berdiskusi, beliau cepat mendapatkan pengaruh dan memiliki banyak pengikutinya di Betawi, termasuk di Masjid Jami’e Matraman kampung halamannya. Bahkan tidak sedikit dari buku karangannya yang tidak kemudian menjadi alergi untuk dibaca oleh kaum tua, satu di antara karyanya yang berjudul Ruhul Mimbar sering dipakai oleh para Kiai NU sebagai panduan khutbah Jumat.
KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman berkat pengetahuan akan agamanya yang luas, mampu menggabungkan dua metode sekaligus dari kedua mentornya Surkati dan A.Hassan. Model dialog ala Surkati dan mantiq yang terinspirasi dari A.Hassan, terbukti efektif dan berhasil memberikan kepuasan kepada para penikmat dakwahnya di Betawi tanpa harus ada perdebatan yang sengit meski isinya sangat tajam menghunus lawan dialognya. Ia mampu berkhidmat seperti mualim Ahmad Surkati yang berhasil meluluhkan sosok Bang Jeni yang berhati keras dan menumpulkan golok cibatunya yang tajam hanya dengan akhlaq dan ucapannya. Surkati mampu menaklukan Bang Jeni seorang jawara termasyhur dari “tenabang”, yang dari menaruh benci menjadi jatuh cinta kepadanya, karena dengan keluhuran akhlaqnya dapat memuaskan lawan bicaranya dengan jawaban-jawabannya yang cerdas dan bijaksana.
Murid kedua ulama yang nama gurunya sama-sama bernama Ahmad, Surkati dan A.Hassan, dan juga pernah menimba ilmu dari soko gurunya para ulama di Betawi, Habib Ali Kwitang, KH Muhammad Ali Alhamidi yang sejak Partai Masyumi berdiri telah ikut terlibat dan aktif dalam kegiatan dakwah di Masjid Said Naum Tanah Abang, Petojo, Pedurenan, Pos Pengumben, dan di Masjid Jami` Matraman ini, wafat pada 22 Agustus tahun 1985 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Pusat.*/ Abdullah Abubakar Batarfie, Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad – Bogor. Sumber : Arta Abu Azzam, guru kaum intelektual muda yang tulisan-tulisannya selalu renyah dibaca dan dari tulisan Rakhmad Zailani Kiki, peneliti dan penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi dan Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta