Hidayatullah.com |PADA tanggal 09 Mei 2020, penulis dapat barteran buku dengan Ustadz Nur Hadi Ramadhan. Buku ini tidak begitu tebal (198 halaman), tapi isinya paling tidak memberikan banyak pencerahan mengenai figur Natsir sebagai seorang ayah.
Bukunya berjudul “Aba: M. Natsir Seabagai Cahaya Keluarga” (2008). Awalnya secara global merupakan memoir yang ditulis oleh Lies (Sitti Muchliesah), putri Natsir, kemudian diberikan tambahan oleh anak-anak yang lain sehingga datanya semakin kaya.
Tak terasa, dari sejak jam 22.00, buku ini selesai dibaca bakda Shubuh sekitar jam 05.00. Secara umum banyak juga yang sudah penulis ketahui tentang cerita dalam buku ini, namun tak sediki informasi yang didapat, terutama dalam kapasitas Natsir sebagai ayah.
Pertama, Natsir yang oleh anak-anaknya dipanggil Aba, adalah sosok yang demokratis terhadap keluarga. Tidak pernah terlontar pembatasan yang ketat atau pemaksaan kehendak terhadap anak-anaknya. Meski demikian, bukan berarti beliau membebaskan mereka sesuka hati. Demokratis tapi tetap tidak kehilangan ketegasan.
Kedua, beliau tidak pernah memanjakan keluarganya. Yang ada justru, hidup mereka pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Kisah Natsir ini hampir mirip-mirip dengan kondisi Agus Salim. Hidupnya dipenuhi dengan perjuangan dan penderitaan.
Kesederhanaan menjadi ciri khasnya. Walaupun pernah menjadi Menteri Penerangan, bahkan Perdana Menteri, beliau tidak pernah aji mumpung. Hidup sederhana seperti biasa. Tidak memenfaatkan secara berlebihan fasilitas negara.
Dalam buku lain, penulis teringat dengan penuturan Kahin bahwa saat menjadi Perdana Menteri, Natsir terlihat sangat sederhana. Memakai pakaian yang bertambal.
Bahkan, ketika menduduki posisi penting di dunia internasional (Rabithah Alam Islami), tidak pernah beliau memanfaatkan itu untuk menghajikan anak-anaknya. Semuanya disarankan kalau mau haji pakai uang sendiri.
Ketiga, perhatian beliau terhadap keselamatan keluarga sangat besar. Meski beliau sering kali menjalankan tugas ke luar kota, tapi perhatiannya tidak pernah putus melalui pengeriman surat dan lain sebagainya. Bahkan, saat genting pun yang dipikirkan adalah keselamatan keluarga. Kalau pun beliau tidak bisa menghandle langsung, biasanya dititipkan kepada kerabat atau sahabatnya. Itu tercermin sekali saat beliau ikut serta dalam PRRI.
Keempat, sebagai ayah beliau tidak memaksakan anaknya untuk menjadi seperti dirinya. Tapi memberikan keleluasan untuk mereka untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing.
Kelima, Natsir yang selalu terlihat tegar, itu adakalanya juga tidak bisa membendung air mata. Seabagai contoh, saat Abu Hanifah (13 tahun) meninggal pada tahun 1951 kolam renang manggarai, beliau tak kuasa membendung air mata. Demikian juga ketika tidak bisa menjadi wali nikah anaknya (Lies) ketika di penjara, beliau juga berkaca-kaca. Apalagi, saat ditinggal wafat oleh istrinya Nurnahar, beliau juga tak mampu membendung linangan air mata.
Keenam, Natsir juga menjadi ayah yang sangat inspiratif. Di bagian akhir dari surat-surat beliau yang ditulis untuk anak-anaknya (15 Juli 1958-15 September 1958) di situ diceritakan secara global bagaimana perjalanan hidupnya yang sangat inspiratif dan membanggakan.
Sejak kecil sudah biasa mandiri. Tidak tinggal bersama orang tua. Hidup sederhana. Minat belajarnya sangat tinggi. Menjawab berbagai penyepelean akademis dengan prestasi yang membanggakan hingga di AMS Bandung. Hidupnya dipenuhi perjuangan.
Di Bandung inilah, bakatnya menjadi penulis terasah. Di usia semuda itu sudah bisa membuat tulisan ilmiah yang mengkritisi usaha pabrik tebu kolonial yang malah menyengsarakan pribumi.
Dalam perjalanannya memang Natsir pejuang sejati. Utamanya perjuangan demi menegakkan nilai-nilai Islam. Kalau mau mencari jalur nyaman, ketika lulus dari AMS seharunya dia diterima di universitas mentereng Jakarta dan Belanda, tapi semua itu ditolak. Beliau lebih memilih berjuang fi sabilillah.
Terlebih ketika bertemu dengan guru yang sangat dihormati dan dicintainya: A. Hassan. Dari beliau, Natsir banyak mengambil bukan saja pelajaran agama, ketelitian, kepandaian menulis, tapi juga nilai-nilai hidup termasuk kesederhanaan.
Semua itu ditulis Natsir dalam surat dengan bahasa yang mudah dipahami dan begitu menyentuh hati. Ibaratnya, beliau bukan sekadar pandai memberi nasihat, tapi apa yang ditulis adalah saripati dalam kehidupannya yang telah dijalani selama ini.
Menariknya lagi, setelah bercerita tentang perjalanan hidupnya, di akhir surat biasanya oleh Natsir ditulis pelajaran-pelajaran penting yang beliau ambil dari pengalaman hidup. Sehingga, bisa ditangkap dengan baik oleh seluruh anak-anaknya.
Ketujuh, sebagai seorang ayah, Natsir tak jemu dalam memberikan Nasihat. Di antara contoh nasihat beliau adalah: “Dalam kehidupan kita harus tawadhu. Kehidupan seperti roda pedati. Kalau sedang di atas jangan sombong dan kalau di bawah jangan berkecil hati serta selalu sabar.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kedelapan, secara umum pembawaan Natsir kalem dan penuh kesederhanaan. Namun, bukan berarti beliau tidak bisa tegas. Contohnya, saat sedang mengumpulkan dana zakat untuk kepentingan pendidikan Islam yang dirintisnya, beliau bisa berbicara sangat tegas pada orang kaya yang meremehkannya.
Saat mau dipindah ke Jawa Timur (Malang) sebagai tahanan politik beliau meminta izin terlebih dahulu untuk bertemu keluarganya, ketika tidak dibolehkan beliau dengan tegas mengatakan, “Apabila tidak diizinkan bertemu keluarga, maka saya siap ke Gambir, tapi dengan senjata terhunus.” Akhirnya, beliau diizinkan bertemu keluarga.
Kesembilan, beliau bukanlah sosok pendendam. Dalam suratnya, beliau pernah bercerita bahwa dulu saat di Bandung kuasa tanah yang dulunya dengan sangat kasar menarik tagihan agak kasar, saat Natsir menjadi pejabat pernah datang ke rumahnya. Malah oleh Natsir dibantu untuk membeli karcis untuk pulang ke rumah.
Kesepuluh, Natsir dan istrinya, meski mengalami banyak ujian cobaan, tidak terlihat mengeluh. Inilah barangkali yang menyebabkan anak-anaknya merasa selalu sabar dan kuat dalam menghadapi perjuangan.
Dari kesepuluh poin itu, amat tepat jika Natsir disebut sebagai “Cahaya Keluarga”, bahkan menurut penulis bisa menjadi cahaya bagi bangsa. Kita membutuhkan sosok yang punya idelaisme tinggi, integritas mumpuni, kepedulian kepada bangsa, tak gila jabatan dan manjadi suluh bagi sekelilingnya. Semua itu –terlepas dari kelebihan dan kekurangan—ada pada pribadi Natsir.*/ Mahmud Budi Setiawan