Hidayatullah.com | Abdul Kahar Muzakkir menjadi satu dari enam tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada Jumat (8/11/2019) di Istana Negara. Gelar tersebut diberikan atas perjuangan dan pengabdian Abdul Kahar yang juga tokoh Muhammadiyah kelahiran Gading, Yogyakarta tersebut.
Dengan penghargaan ini, menjadi lengkap paket tiga tokoh kemerdekaan dari Muhammadiyah yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Ketiga tokoh tersebut berturut-turut, yakni Ki Bagus Hadikusumo tahun 2015, Kasman Singedimedjo tahun 2018, dan tahun 2019 Abdul Kahar Muzakkir.
Perannya di bidang politik nasional tidak tanggung-tanggung. Abdul Kahar salah satu tokoh yang merumuskan pendirian negara Indonesia. Ia tergabung dalam anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pembahasan dalam sidang badan ini adalah tentang Indonesia Merdeka, Pembukaan, dan Batang Tubuh UUD 1945, yang meliputi: wilayah negara Indonesia; bentuk negara (kesatuan); bentuk pemerintahan (republik); bendera nasional (Merah Putih); dan bahasa nasional (Bahasa Indonesia).
Namun dalam sejarahnya, pembahasan menjadi sengit ketika mulai menyentuh dasar negara. Pada dasarnya sidang terbagi menjadi dua, antara yang mendukung Indonesia berdasar kepada Islam atau Indonesia menjadi negara sekular. Dua tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul Kahar Muzakkir adalah dua tokoh yang mendukung teguh Islam menjadi dasar negara.
Belum mendapapatkan kesepakatan, maka dibentuk Pantia Sembilan untuk menemukan jalan tengah dalam perumusan dasar negara. Peran Abdul Kahar Muzakkir menjadi lengkap untuk dicatat sejarah. Ia menjadi anggota kepanitiaan ini bersama Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid Hasjim, Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis.
Dalam sidang BPUPKI Abdul Kahar Muzakkir pernah dengan kesal sambil menggebrak meja meminta kepastian agar Indonesia menjadikan sepenuhnya Islam sebagai dasar negara, atau tidak sama sekali.
Setelah melalui pelbagai perdebatan sengit dalam perundingan alot pada sidang Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945, lahirlah rumusan dasar negara RI yang dikenal sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter yang terdiri dari:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Setelah menyepakati rumusan dasar negara, meskipun nantinya pada tanggal 18 Agustus 1945 kata “menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus dalam sila pertama dan menjadi “ketuhanan yang Maha Esa”, sidang BPUPKI selanjutnya membahas tentang perangkat-perangkat negara merdeka lainnya, salah satu yang terpenting adalah merancang Undang-Undang Dasar (UUD).
Sikap prinsip Abdul Kahar tetap tak berubah. Hal itu ditunjukkannya kala menjadi wakil Partai Masyumi dalam Sidang Konstituaten 1957. Agenda sidang ini salah satunya adalah kembali mendiskusikan persoalan dasar negara.
Abdul Kahar Muzakkir, menjadi salah satu tokoh Islam yang berbicara tentang Islam sebagai dasar negara, bersama tokoh lain seperti Buya Hamka, Moh. Natsir, Mr Kasman Singodimedjo (Masyumi), KH Saifuddin Zuhri, KH Masykur, KH Wahab Hasbullah (Partai NU) dan lainnya.
Dalam sidang tersebut, Abdul Kahar Muzakkir menceritakan kembali sejarah lahirnya Pancasila dan Piagam Jakarta sebagai bukti kesepakatan para tokoh bangsa. Ia menolak fraksi Islam dituduh sebagai pengkhianat bangsa. Malah ia menuding balik bahwa yang menghapus Piagam Jakarta-lah yang menjadi pengkhianat.
”…akan tetapi Pancasila itu sudah dirusak. Sebab prinsip-prinsip yang mendatangkan moral yang luhur dengan adanya Pancasila Piagam Jakarta itu telah hilang dari wujud Pancasila, yang tadinya merupakan agreement itu telah dicederai dengan sengaja. Itu berarti pula bahwa perjanjian itu telah dibatalkan dengan sengaja. Itu berarti pula bahwa perjanjian itu telah dibatalkan dengan kehendak ‘eenzijdig’. Saya katakan atas kehendak satu pihak, yaitu pihak kebangsaan.
Maka dengan ini, tegas saya katakan bahwa jika orang berbicara tentang pengkhianatan terhadap suatu perjanjian yang disebut ‘Gentlemen Agreement’, maka pihak yang mengkhianati itu bukanlah pihak kami, pihak Islam, akan tetapi, pihak yang merubah itulah, yakni yang menghapuskan rumusan-rumusan yang essensil yang mengenai Islam itu.” (Abdul Kahar Muzakkir, 2001)
Akhirnya Sidang Konstituaten ditutup dengan dekrit presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”. Sehingga menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945.
Melihat perannya dalam sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia, tokoh sepenting Abdul Kahar Muzakkir masih terlalu asing di telinga kita, bahkan laman Wikipedia hanya mencantumkan beberapa paragraf saja untuk menjelaskan tokoh ini.
Namanya memang sering tertukar dengan tokoh Islam dari Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar. Bahkan banyak penulis sejarah yang salah menuliskannya, J.D. Ledge misalnya, dalam Sukarno, A Political Biography telah membedakan dua Kahar pada naskah, tapi mengubahnya menjadi satu orang pada bagian indeks. Juga dalam Indonesia & Malay Students In Cairo in 1020’s, William R. Roff tak membedakan Kahar Muzakkir dan Kahar Muzakkar.
Menurut Lukman Hakiem, Peminat Sejarah dan mantan Staf M. Natsir, hal itu terutama sekali karena sifat tawadhu, “para pemimpin kita di masa lalu yang tidak mau mencatat dan menuliskan apa yang pernah mereka perbuat untuk negeri ini, dan sejarah pun tidak cukup berbaik hati untuk mencatat peranan mereka,” ujarnya.
Berbagai buku sejarah politik dan konstitusi Indonesia, bagai melupakan tokoh kelahiran Yogyakarta ini, padahal Abdul Kahar adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang pada 1 Juni 1945 menyampaikan pikirannya mengenai dasar negara Indonesia yang akan dibentuk.
Abdul Kahar Muzakkir adalah tokoh Muhammadiyah yang sangat dihormati. Beliau, misalnya, oleh Suara Muhammadiyah dijuluki “Pemimpin Teladan”, yang artinya, idola seluruh masyarakat Islam Indonesia; atau warga Muhammadiyah paling tidak. Predikat “Pejuang Kemerdekaan” juga melekat di dirinya yang membuktikan, beliau tidak hanya melulu berpikir soal akhirat saja.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Abdul Kahar Lahir tahun 1908 di Gading, Yogyakarta dan memulai pendidikannya di Sekolah Dasar Muhammadiyah Kota Gede, di mana ia besar dan wafat. Lalu sekolahnya dilanjutkan di pesantren Mambaul Ulum di Solo. Kemudian di pesantren Jamsaren di Jawa Tengah dan di Pesantren Tremas di Jawa Timur. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke Kairo Mesir.
Abdul Kahar ketika belajar di Kairo, memang kedapatan amat aktif pada hampir seluruh kegiatan kemahasiswaan. Beliau misalnya, pernah menjadi wakil bagi mahasiswa Jawah “istilah yang umum digunakan di Timur Tengah terhadap seluruh dunia Islam di Asia Tenggara.” Beliau juga yang ber ”kasak-kusuk” ketika Jamiyatul Syubban Muslimin (Organisasi Sosial Mahasiswa Indonesia di Kairo) didirikan.
Organisasi inilah yang memiliki Jurnal Seruan Azhar, suatu sub organisasi yang kemudian menjadi media penting bagi penyebaran pesan pembaruan Islam dan penggalangan persatuan Islam dari Kario ke dunia Islam Asia Tenggara.
Pengalamannya yang juga mengesankan adalah ketika ikut membentuk “Perhimpunan Indonesia Raya” di Kairo, pada tahun 1933. Di sini, untuk kesekian kalinya, beliau mendapat kehormatan ketika dipercayakan sebagai orang pertama, pemimpin organisasi yang ternyata satu jaringan dengan “Perhimpunan Indonesia” di Negeri Belanda.
Para mahasiswa yang tergabung dalam PI di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya merupakan pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal. Ketika semua peristiwa radikal-revolusioner di negeri penjajah itu berlangsung, Ketua PI adalah Soekiman Wirjosandjojo.
Dibandingkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berhenti pada penyatuan tekad akan bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan; Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1923 telah melampaui tekad Sumpah Pemuda itu dan menjadikan “Indonesia Merdeka, sekarang!” sebagai tujuan perjuangan.
Pada tahun-tahun sebelumnya, 1930-an, Abdul Kahar juga banyak ditemui kerap “berkelana” ke berbagai pelosok Timur-Tengah untuk mengikuti pelbagai konperensi Islam tingkat dunia, menjalankan tugas sebagai duta Indonesia sebelum merdeka.*/Rofi Munawwar