SEBAGAI bagian dari Islam di Nusantara, yang masih bercorak sinkretik, kata Geertz, pengaruh Hindu-Budha masih sangat kuat di kalangan masyarakat muslim Jawa. Demikian juga Islam Bawean yang masih kuat pengaruh magis Hindu-Budhanya.
Hal ini terbukti dengan maraknya praktik pemberian sesajen di persimpangan jalan, hutan, pemujaan kapada benda-benda pusaka dan lain sebagainya. Hal ini dapat dipahami mengingat penyebaran Islam di Bawean yang tidak lepas dari pengaruh Jawa. Pemujaan dan kepercayaan kepada kekuatan ghaib tersebut, jauh sebelum Islam masuk ke Bawean, masyarakat sudah mempraktikkannya. Mereka masih mempercayai jika pohon-pohon yang besar, mata air, batu dan lainnya memliki kekuatan ghaib. Kepercayaan tersebut masih berlaku hingga awal abad 20-an bahkan sampai sekarang. Upara-upacara keagamaan, seperti selamatan di sumber, rokat rumah dan selamatan labbhuen masih cukup kental di masyakat Bawean.
Ritual pemujaan, pemberian sesaji dan upacara-upacara ritual lainnya dilakukan agar mereka terhindar dari gangguan kekuatan ghaib yang diyakini dapat mengubah nasib masyarakat. Mereka masih percaya bahwa para penghuni itu seringkali berdiam di tempat-tempat yang tinggi, percaya bahwa para roh itu akan turun, bahkan dianggap dapat mengganggu orang sekitarnya jika mereka tidak melakukan pengorbanan/penghormatan. Kepercayaan masyarakat Bawean bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup masih sangat kuat. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-benda seperti keris, benda-benda alam, gunung, pohon besar dan lain sebagainya. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka melakukan upacara pemberian sesaji dan ritual lainnya.Kepercayaan masyarakat terkait tahayyul dan khurafat yang berkembang di Bawean di antaranya adalah memberi sesajen di simpang empat untuk keselamatan, membuat keranda hanya satu untuk satu mayat. Sebab menurut keyakinan masyarakat jika membuat keranda mayat permanen diyakini menanbah banyak orang mati, ilmu santet yang merajalela dan diyakini kebanyakan orang mati di Bawean mati karena santet. Selain itu, jika seorang istri sedang hamil, suaminya dilarang menyembelih hewan, membunuh binatang sekalipun dianjurkan untuk dibunuh oleh nabi seperti tikus, ular, cicak karena diyakini akan membuat anak yang dikandungnya menjadi cacat dan sebagainya, serta tidak mau makan makanan suguhan orang yang dipercaya punya ilmu santet sekalipun bertamu atau ada acara selamat yang diadakan orang tersebut khawatir kena santet.
Di tengah keyakinan masyarakat yang masih bercampur dengan animisme dan dinanisme serta pengaruh Hindu-Budha yang masih kuat, hadirlah Kiai Hamid, tokoh ulama’ yang giat melakukan dakwah pemurnian akidah. Pemurnian akidah tersebut ditempuhnya melalui dakwah billisan dan bilhal (ucapan dan tindakan). Usaha tersebut terus dilakukan Kiai Hamid hingga akhir hayatnya. Beliau sangat anti terhadap tahayyul dan khurafat yang dapat merusak pada kemurnian tauhid, yakni dengan menyatukan serta tolalitas keyakinan hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebagai kekutan tunggal.
Sebagaimana diketahui, Bawean adalah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 120 kilometer sebelah utara Gresik. Secara administratif, pulau ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Gresik (sebelumnya bernama Kabupaten Surabaya), Jawa Timur. Pasukan VOC menguasai pulau ini pada tahun 1743.
sering disebut juga Pulau Putri karena banyak laki-laki muda yang merantau ke pulau Jawa atau ke luar negeri. Orang Bawean yang merantau ke Malaysia dan Singapura membentuk perkampungan di sana.
Tentang Kiai Hamid Thabri
Adalah Kiai Hamid Thabri adalah sosok yang cukup terkenal dan berpengaruh dalam dakwah Islam di Pulau Bawean sekitar awal abad 20-an, khusunya kawasan timur Pulau Bawean. Beliau adalah putera dari pasangan KH. Thobri dan Hajjah Syafiyah yang berdarah Sulawesi.
Watak orang timur (Sulawesi) yang cukup keras dan tegas dalam bersikap, cukup berpengasuh dalam dakwah Kiai Hamid di Bawean semasa ia pulang dari pendidikan. Sikapnya yang tegas dan lugas dalam memperjuangkan kebenaran membuatnya makin berwibawa dan disegani baik oleh kalanan masyakarat maupun tokoh pemerintah.
Kiai Pancor, demikian namaya biasa dipanggil, dilahirkan pada tanggal 20 September 1899 M di Pulau Bawean. Beliau mengahabiskan masa hidupnya untuk memperjuangkan agama hingga akhir hayatnya. Beliau menetap di Dusun Pancor Laok Songai, Desa Sidogedungbatu, Kecataman Sangkapura. Tinggal di sebuah pesantren yang diberi nama Roudhotul Musytarsyidin yang hingga sekarang masih berdiri kokoh dilanjutkan oleh putera-puteranya. 1941 sampai 1948. KH. Abd. Hamid menutup usianya ke 82 tahun dengan meninggalkan satu orang isteri dan tujuah anak (enam anak putra dan satu anak putri).
Kiai Hamid Pancor dikaruniai 7 orang anak dari 2 istri. Dari istri pertama Nyai Rumjah, lahir Nyai Tsuwaibah (Hajjah Shafiyah), dan Abdul Malik (KH. Zainullah). Dan dari istri kedua, Nyai Tiyah, lahir Ilkiyah (KH.Zainuddin), KH. Abdul Karim, KH.Abdul Ghafur, Gus Muhammad Khalil dan Kyai Muhammad Nur. KH. Zainullah adalah pendiri Pondok pesantren Sidomulyo, Batu sendi. Beliau dikenal kepiawaiannya dalam membaca kitab kuning. Nama beliau begitu popular karena selalu menjadi bintang dalam setia Bahsul-masa’il. Sementara KH. Zainuddin meneruskan perjuangan Kyai Hamid untuk mengasuh pondok pesantren di Pancur yang kelak berganti nama menjadi, Pondok Pesantren Nurul Huda.
Menginjak masa remaja ia sempat menimba ilmu agama di sejulmah pesantren, di antaranta PP. Wangun Kabupaten Pasuruan yang dipangku oleh KH. Nasib, KH. Shaleh, KH. Abd. Hamid dan KH. Muhammad. Setelah itu ia malanjutkan belajarnya di Mukarramah dengan guru Syekh Khalid, sekitar tahun 1922 – 1923. Tidak puas dengan pendidikan sebelumnya, keudian ia melanjutkan ke PP. Panji Sidoarjo yang diasuh oleh KH. Hazin dan KH. Hasyim Asyari. Tidak berhenti disitu, setelah tuntas belajar di PP. Panji, pada tahun 1927-1930 ia meneruskan ke PP. Sidogiri, yang saat itu diasuh oleh KH. Nawawi Nurhan dan KH. Abd. Jalil. Seteleh menuntaskan belajarnya di Sidogiri, Hamid muda belajar kembali ke Makkah untuk yang kedua kalinya, yakni pada tahun Tahun 1935-1941. Di sana ia belajar kepada Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin, Syekh Maghrabi, Syekh Hasan Masyath, Sayyid Alwiy, dan Syekh Ali Maliki.
Usai menuntaskan perjalanannya dalam menuntut ilmu baik di jawa maupun di Makkah, pada akhirnya ia harus ke masyarakat untuk mengabdikan ilmunya untuk agama dan bangsa. Awal kembalinya ke masyarakat, pada tahun 1941-1945 Kiai Hamid aktif sebagai Komandan Hisbullah untuk daerah Pulau Bawean. Pada awal abad ke-20, dakwah Islam di Bawean tidak bisa dilepaskan dari sosok KH. Abdul Hamid Thabri. Beliau berjasa besar menancapkan Islam dalam Akidah ahlussunnah wal-jama’ah di pulau terpencil ini, meneruskan para leluhur yang telah merintis dan meretas jalan dakwah dengan penuh kesabaran dan ketekunan.
Dakwah Kyai Hamid Pancor, sebagai ulama besar di Pulau Bawean, amatlah relevan untuk diaktualisasikan kembali di tengah-tengah masyakarat yang secara sisiologis-antropologis masih kental dengan hal-hal yang bersifat magis, praktik-praktik dan keyakinan pada kekuatan ghaib. Oleh karenanya dakwah Kiai Hamid dalam pemurnian akidah dari hal-hal yang bebau tahayyul, bid’ah dan khurafat menemukan urgensinya. Sosok beliau yang patut dijadikan teladan, termasuk keberaniannya dalam menghadapi apapun yang dianggap bertentangan dengan syari’at Islam. Sikap yang jarang kita jumpai pada generasi saat ini. Lalu bagaimana Kiai Hamid melakukan pemurnian taihid di Pulau Bawean. pertanyaan inilah yang sedikit akan diungkap dalam tulisan singkat ini.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemurnian Akidah Ala Kiai Hamid
Sebagaimana yang diungkap dalam Fauzi Rauf, Ketua PCNU Bawean, setelah menuntaskan belajarnya dari Makkah untuk yang kedua kalinya, tahun 1941, Kyai Hamid langsung mendirikan Pondok pesantren di Batusendi. Pada masa tersebut, ia dipercaya menjadi Komandan Hizbullah di Pulau Bawean. Beliau menerima anamat tersebut dengan penuh tanggungjawab karena ingin melanjutkan perjuangan guru-guru beliau, untuk menegakkan Akidah Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Sehari-hari, beliau mengasuh santri-santri yang dipersiapkan untuk da’wah dan perjuangan agama. Pesantren adalah tempat beliau mencetak kader-kader yang tafaqquh fi-al-din, sementara di Hizbullah, beliau ikut berjuang mengusir penjajah sebagai upaya untuk maraih kemerdekaan.
Berkenaan dengan cara dakwah yang dilakukan Kiai Hamid di Bawean setidaknya dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu dakwah dengan lisan (bil-lisan) dan dakwah dengan tindakan (bil-hal). Gerakan dakwah yang dilakukan dengan lisan ini biasa beliau tekankan dalam ceramah, khutbah dan pengajian-pengajian rutin baik di dalam pesantren maupun luar pesantren. Setiap kali mengawali ceramahnya, Kiai Hamid selalu menekankan pentingnya taubat dan memperbarui iman (tajdidul iman). Hal ini lumrah dilakukan beliau saat diundang untuk mengisi ceramah di berbagai daerah di pualau Bawean. Sebagaimana yang dituturkan oleh Kiayi Marzuki salah satu tokoh masyarakat Batusendi yang selalu ikut pengajian Kiai Hamid misalnya pada acara Maulid Nabi yang diselenggarkaan di dusun Guntung.
Sedangkan cara dakwah Kiai Hamid dengan tindakannya ia selalu memabca kalimat tayyibah kemanapaun ia pergi. Sebagaimana kesaksian Maswanah, warga Bawean, saat Kiai Hamid berpergian ke Desa Kebuntelukdalam bersama santrinya, beliau membaca kalimat tauhid dengan menyaringkan suaranya. Sehingga santri dan orang-orang disekitarnya mengikuti bacaannya. Rombongan yang pimpin beliau ikut membaca zikir dengan suara yang cukup nyaring. Saat ini sangat jarang ditemukan bahkan hampir tidak ada para Kiai yang meniru gaya Kiai Hamid dalam hal bacaan kalimat tauhid dengan suara yang keras.*/Ainul Yakin, Dosen Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo, bisa dihubungi melalui email: [email protected] (BERSAMBUNG)