Oleh: Fais al-Fatih
PADA malam hari, kota ini diterangi lampu-lampu yang gemerlapan sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Lorong-lorongnya beralaskan batu ubin, dan bersih dari sampah-sampah yang berserakan. Kota ini juga berhiaskan taman-taman yang hijau, memiliki tempat pemandian berjumlah 900 buah, bangunan-bangunan sebanyak 80.000 buah, masjid 800 buah dan berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.
Di kota ini terdapat istana az-Zahra yang megah dan keindahannya menyejarah karena bernilai seni tinggi dan dibangun dengan teknologi yang canggih, sampai-sampai sejarawan Turki, Dhiya Pasha mengatakan bahwa istana az-Zahra merupakan keajaiban zaman yang belum pernah terlintas imajinasinya dalam benak arsitek sejak Allah menciptakan alam ini. Kota ini bernama Cordoba, terletak di Andalusia, dimana negara Spanyol kini berada.
Begitulah pemandangan dan suasana ketika umat Islam mencapai zaman keemasannya dalam sejarah. Peradabannya gemerlap dengan indahnya akhlak dan kemajuan ilmu pengetahuan serta keindahan arsitektur bangunan.
Karen Amstrong, dalam buku Biography of Muhammad mengatakan, “Kaum Muslim adalah peletak dasar peradaban agung di semua aspek peradaban manusia di altar kehidupan ini. Mereka juga meletakkan dasar-dasar metodologi berpikir brilian yang menjadi acuan dasar para pemikir Eropa pada abad pertengahan, bahkan hingga masa kini.”
Tapi setelah berbagai persoalan datang mendera baik itu dari internal maupun eksternal, maka berlakulah fase kemunduran yang penuh dengan ratapan, tangisan dan penderitaan. Saat Khilafah Utsmaniyah dihapuskan oleh pengkhianat bernama Musthafa Kemal, seorang penyair Turki berkata:
Kini senandung pengantin berbalik menjadi ratapan
Aku meratap di tengah lencana-lencana kegembiraan
Kau dikafankan di malam pengantin dengan pakaiannya
Dan tatkala pagi akan menjelang, engkau telah sirna
Mimbar-mibar dan tempat adzan bergerak untukmu
Sedangkan kerajaan-kerajaan meratap menangisi kepergianmu
India, Walhah dan Mesir demikian bersedih ditinggalkanmu
Menangis dengan air mata yang deras untuk kepergianmu
Syam, Iraq dan Persia semua bertanya-tanya
Adakah oleh orang-orang dari muka bumi, khilafah telah dimusnahkan?
Wahai alangkah malang, dikubur hidup-hidup orang yang merdeka
Dibunuh tanpa melakukan kesalahan dan kejahatan
Seorang intelektual asal Aljazair, Malik bin Nabi mengatakan, bahwa sebuah peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi panglimanya adalah ruh. Dengan ruh, sebuah peradaban akan menjadi peradaban yang bersih dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan dianggap mencapai puncak yang sebenarnya.
Pada tahapan kedua, peradaban akan mengalami perluasan dan pemekaran wilayah, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu adalah akal. Peradaban yang dikendalikan oleh akal akan mengalami tarik menarik yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu.
Dan jika hawa nafsu menjadi panglimanya, maka terjadilah tahapan yang ketiga, yaitu fase kehancuran dan kebangkrutan. Pada titik inilah peradaban akan meluncur deras ke titik paling bawah dalam sejarah.
Itulah fakta sejarah. Bangsa Arab dahulu bukanlah siapa-siapa. Dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, Khulafaur Rasyidin, bani Umawiyah dan bani Abbasiyah, Islam bisa meraih kejayaan dan menjadi soko-guru dalam peradaban. Wilayah kekuasaan mereka terbentang luas dari Andalusia sampai negeri India. Hal ini bisa dicapai karena mereka bersenyawa dengan Islam, Al-Quran dan sunnah dijadikan sebagai pedoman.
Maka ketika mereka terlena dengan musik, tari-tarian, pertunjukan tengah malam dan masuknya perselisihan, maka dicabutlah amanah kepemimpinan itu dari mereka. Allah Subhanahu Wata’ala serahkan kepada bangsa Kurdi dengan tokohnya yang gemilang, Nuruddin Muhammad Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Di tangan mereka, masjid al-Aqsha yang dikuasai Pasukan Salib selama 88 tahun berhasil direbut dan diselamatkan.
Ketika bangsa Kurdi berpaling dari Islam, Allah Subhanahu Wata’ala serahkan estafet kepemimpinan kepada Mamluk, bekas-bekas budak dari Asia Tengah, dan kemudian diberikan kepada bangsa Turki.
Lewat perantara salah satu pemimpinnya yang agung, Sultan Muhammad al-Fatih, Kota Konstantinopel yang telah dijanjikan akan ditaklukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam 8 abad sebelumnya, bertekuk lutut dan menyerah di bawah telapak kakinya.
Kekuasaan Turki Utsmani mencengkram kuat di daratan Eropa dan mampu bertahan selama 6 abad lamanya dan menjadi adidaya yang ditakuti oleh bangsa-bangsa Eropa.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sunnatullah terus berlaku, ketika sultan-sultan Turki Utsmani menjauh dari syariat Allah dan Rasul-Nya, maka kekuasaan mereka yang terbentang luas dari tanah Hindustan, India hingga wilayah Balkan, Eropa menjadi bercerai berai, seperti makanan yang terhidang di meja, diperebutkan dan disantap dengan buas oleh bangsa Eropa.
Sampai detik ini, belum ada lagi generasi Muslim yang mampu membangkitkan dan menata kembali puing-puing sejarah Islam yang telah runtuh.
Sebaliknya, umat Islam dinistakan dan mendapatkan perlakukan yang sewenang-wenang di berbagai belahan dunia. Jika dulu hanya karena seorang wanita ditawan; “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!”, ratapnya dalam tawanan. Khalifah al-Mu’tashim langsung menunggang kudanya dan bersama bala tentaranya pergi menyelamatkan dan membebaskan wanita tersebut. “Ku penuhi seruanmu!”, ujar sang khalifah setelah berhasil menyelamatkan wanita tersebut.
Tapi saat ini, ratusan bahkan ribuan wanita Muslimah menjerit dan berteriak, dianiaya, diperkosa dan dizhalimi di Palestina, Suriah, Iraq, Afghanistan, Rohingya dan negeri Islam lainnya, belum ada dari kita yang bisa menyelamatkan dan membebaskan mereka. Betapa menyedihkannya!
Di mana Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash yang mengalahkan adidaya Persia?
Di mana sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan masjid al-Aqsha?
Di mana tentara-tentara Thariq bin Ziyad yang menggemparkan bumi Andalusia?
Di mana pasukan al-Fatih penakluk Konstantinopel, yang membuat gentar Eropa? (Bersambung)…
Penulis adalah anggota Kelompok Studi Palestina (KSP). Kini magister Informatika Opsi Sistem Informasi Institut Teknologi Bandung (ITB)