sambungan artikel PERTAMA
Buah Lisan
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucap suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat.” [ Bukhari dan Muslim]
Masalah ini juga disebutkan pada akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi No. 2616, sekaligus ia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda; “Bukankah tak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya?”
Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz.
“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan?”
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ al-Ulum wa al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya, setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak, ia akan menuai apa yang ditanamnya. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka akan menunai kemuliaan. Dan sebaliknya, barangsiapa yang menanam sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatannya, maka akan menuai penyesalan.”
“Hal ini menunjukkan bahwa, menjaga lisan kemudian senantiasa mengontrolnya itu merupakan pangkal dari segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya, sesungguhnya ia telah mampu menguasai, mengontrol maupun mengatur semua urusannya,” tutup al-Hafidz pada hal. 146 dalam kitab yang sama.
Berpikir sebelum Berlisan
Dalam sebuah riwayat lain, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih Bukhari No. 6475 dan Muslim No. 74)
Mengenai hadits ini, Imam Nawawi menjelaskan bahwa, “Imam Syafi’i menjelaskan maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata, maka hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan ia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya ia tidak berbicara.”
Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada berbicara. Hal itu, karena betapa banyak orang yang menyesal karena berbicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapatkan bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau berpikir.”
“Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Ia perlu menyadari bahwa, ia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya ia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum pernah diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkannya. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka ia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya,” lanjut Abu Hatim dalam hal. 47, masih pada kitab yang sama.
“Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika hendak berbicara, maka ia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan itu bermanfaat bagi dirinya, maka ia akan berbicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka ia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Ia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya,” tutup Abu Hatim pada hal. 49.*