PARA ulama bersepakat terhadap haramnya dadu tanpa taruhan, tetapi berbeda pendapat mengenai bermain catur. Tentang keharaman dadu berdasarkan hadits shahih Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam,
“Barangsiapa bermain dadu, maka seakan-akan melumuri tangannya dengan daging babi dan darahnya.” (Diriwayatkan Muslim).
Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Barangsiapa bermain dadu ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Diriwayatkan Malik, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi. Hakim mengatakan hadits ini shahih).
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, “Bermain dadu adalah judi bagai melumuri (tubuh) dengan lemak babi.”
Adapun catur, sebagian ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan atau tidak. Adapun dengan taruhan, semua sepakat bahwa hal itu merupakan judi. Sedangkan tanpa taruhan, sebagian besar ulama berpendapat sama, yakni judi.
Dalam sebuah riwayat dari Syafi’i, membolehkan hal itu jika hal itu dilakukan pada saat senggang dan tidak melalaikan kewajiban serta menghalangi shalat pada waktunya.
Imam Nawawi Rahimahullah ditanya tentang bermain judi melalui catur, haram atau boleh? Ia menjawab, “Ia adalah haram menurut banyak para ulama.”
Ia juga ditanya tentang bermain catur raja: Boleh atau tidak, berdosakah orang yang melakukannya? Ia menjawab, “Jika hal itu menyebabkan seseorang ketinggalan shalat pada waktunya, atau hal itu dilakukan dengan taruhan, maka ia haram. Jika tidak, maka ia makruh menurut Syafi’i dan haram menurut imam lain.”
Dalil sebagian besar ulama yang mengharamkan catur adalah firman Allah Ta’ala,
“Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu).” (Al-Maidah: 3).
Sufyan dan Waki’ bin Jarrah berkata, “Maksudnya adalah catur.” Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, “Catur adalah perjudian orang-orang ‘Ajam (non-Arab).”
Ali pernah melewati suatu kaum yang sedang bermain catur, “Patung-patung apakah yang kalian tekuni ini? Salah seorang di antara kalian memegang bara api hingga ia padam lebih baik dari pada memegang catur ini.” Ia melanjutkan, “Demi Allah, untuk selain hal inilah kalian diciptakan.”
Ali Radhiyallahu Anhu berkata lagi, “Pemain catur adalah orang paling berdusta. Seseorang di antara mereka berkata, `Aku telah membunuh, padahal ia tidak membunuh. Ia mati, padahal tidak mati.”
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu berkata, “Tidak ada orang yang bermain catur kecuali ia telah melakukan kesalahan.”
Seseorang berkata kepada Ishaq bin Rahawaih, “Apakah menurutmu bermain catur itu mengandung bahaya?” Ia menjawab, “Semuanya berbahaya.” Ada yang berkata kepadanya bahwa para pasukan penjaga perbatasan bermain catur untuk strategi perang, ia berkomentar, “Itu adalah kemaksiatan.”
Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi ditanya tentang bermain catur dan ia menjawab, “Orang yang bermain catur akan diarak pada hari Kiamat atau dikumpulkan bersama orang-orang sesat.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma ditanya tentang catur dan ia menjawab, “Ia lebih buruk dari dadu.” Tentang haramnya dadu telah dijelaskan persoalannya.
Imam Malik bin Anas Rahimahullah juga ditanya tentang catur dan ia menjawab, “Catur termasuk dadu.”
Dikisahkan bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma pernah menjaga harta anak yatim. Ia lalu mendapatkan catur berada pada harta peninggalan bapaknya. Maka, “Aku membakarnya. Jika saja bermain catur diperbolehkan niscaya aku tidak diperbolehkan untuk membakarnya karena harta itu adalah milik anak Yatim. Namun karena permainan itu haram maka aku membakarnya, sebab ia sama dengan khamr. Jika terdapat khamr pada harta anak itu, ia wajib ditumpahkan, demikian pula catur.”
Begitulah pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu yang dikenal sebagai Habrul Ummah (Tintanya Ummat).*/Adz-Dzahabi, dari bukunya Al-Kabair-Galaksi Dosa. [Tulisan selanjutnya]