KURANG lebih lima tahun yang lalu, tepatnya waktu Dhuha, 7 November 2009, untuk pertama kalinya menginjakkan menginjakkan kaki di kampus Universitas Islam Madinah (UIM).
Tak terasa semua berjalan begitu cepat. Kini telah berada dipenghujung senja. Terlalu banyak kenangan di kota ini.
Sebelum matahari benar-benar tenggelam, saya ingin mengisahkan kembali sebuah cerita yang hingga kini selalu menjadi inspirasi sekaligus pemicu semangat bagi saya selama di kota ini.
Cerita ini tentang seorang pemuda Andalus yang menyimpan kerinduan untuk belajar di Kota Nabi.
Adalah Yahya Ibnu Yahya Al Laitsi, pemuda yang lahir dan dibesarkan di bumi Andalusia. Andalusia (bahasa Spanyol: Andalucía) adalah sebuah komunitas otonomi Spanyol. Andalusia adalah wilayah otonomi paling padat penduduknya dan kedua terbesar dari 17 wilayah yang membentuk Spanyol. Ibu kotanya adalah Sevilla.
Nama Andalusia berasal dari nama bahasa Arab “Al Andalus”, yang merujuk kepada bagian dari jazirah Iberia yang dahulu berada di bawah pemerintahan Muslim. Sejarah Islam Spanyol dapat ditemukan di pintu masuk al-Andalus. Tartessos, ibu kota dari Peradaban
Tartessos yang dahulu besar dan berkuasa, terletak di Andalusia, dan dikenal di dalam Alkitab dengan nama Tarsus.
Budaya Andalusia sangat dipengaruhi oleh pemerintahan Muslim di wilayah itu selama delapan abad, yang berakhir pada 1492 dengan penaklukan kembali atas Granada oleh raja dan ratu Katolik.
Sejak menapakkan kakinya di jalan ilmu, hati Yahya Ibnu Yahya Al Laitsi telah memendam keinginan untuk melakukan rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Rihlah sudah menjadi tradisi penuntut ilmu di masa itu.
Setelah merasa cukup dengan ilmu yang didapat di negeri asalnya, ia bertekad untuk mewujudkan keinginannya yang terpendam selama ini. Yakni menjatuhkan pilihannya ke Kota Madinah, tempat di mana Imam Malik bin Anas –rahimahullah- tinggal dan mengajar.
Andalus dan Madinah memang bukan jarak yang dekat, seperti halnya Madinah dan Indonesia. Ditambah lagi transportasi dimasa itu sangat sulit. Namun tekadnya sudah bulat. Tatapannya hanya tertuju pada satu arah, Madinah Nabawiyah.
Semua itu tentunya berbayar. Karena bagi seorang Yahya, rihlah berarti melupakan keindahan Andalus dan bersabar menghadapai kenyataan hidup di dataran Hijaz yang tandus. Namun tekad kuat yang disertai keikhlasan telah membuat jarak yang jauh itu terasa dekat, ruang dan waktu seolah sempit serta keindahan kampung halaman tak lagi berarti.
Setibanya di Madinah tanpa basa-basi pemuda Andalus itu langsung duduk di majelis Imam Malik bin Anas, seolah tak ada waktu rehat baginya. Dalam benaknya meninggalkan keluarga, sanak saudara dan kampung halaman bukanlah pengorbanan yang kecil, sehingga terlalu mahal bila harus mengambil rehat sejenak karena letih setelah melakukan perjalanan yang jauh.
Hari-hari di Madinah dilaluinya dengan semangat yang tak kenal kendor, semua demi mengurai benang asa yang dirajutnya dulu di tanah air tercinta, Bumi Andalus. Hingga suatu hari, saat tengah mendengarkan kajian Imam Malik, tiba-tiba ada serombongan musafir memasuki Madinah.
Adalah Imam Ad Dzahabi menuturkan, “Ketika itu para musafir datang membawa gajah. Murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah tersebut dari dekat. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Ia tetap duduk dan memandang ke satu arah, ke mana lagi kalau bukan kearah Imam Malik. Melihat hal itu Imam Malik mendekat dan bertanya, ”Mengapa engkau tidak keluar untuk melihat gajah?”
Yahya menjawab,”Aku jauh-jauh datang dari Andalusia hanya untuk melihat Anda (menuntut ilmu), bukan untuk melihat gajah.”
Keteguhan itu membuat Imam Malik berdecak kagum. Sejak peristiwa itu Imam Malik menjulukinya dengan ‘aqilu Andalus’ (lelaki berakal dari Andalusia).
Sahabat, kisah Yahya bin Yahya bukan soal suka atau tidak suka melihat gajah, namun ada pesan lain di sana, yaitu tentang sikap yang harus diambil saat seorang penuntut ilmu yang tak perlu tergoda oleh hal-hal yang tidak seharusnya membuatnya berpaling sedikitpun dari cita-cita awalnya.
Dalam meraih asa, betapa sering langkah kita terhenti oleh hal-hal yang tidak terlalu penting. Kadang semangat untuk menjadi berarti itu kendor hingga titik nadir lantaran keteledoran yang mulanya sebatas iseng-iseng saja. Iseng-iseng main game, atau mungkin terbawa mental taswif ‘nanti dulu’, kebiasaan menunda, hingga akhirnya semangat awal yang telah dipupuk perlahan redup, ibarat pepatah layu sebelum berkembang.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kisah Yahya Al Yahya hanyalah satu dari sekian kisah penuntut ilmu yang pernah singgah di kota ini. Kisah ini mengajak kita untuk selalu terjaga dan sepenuhnya sadar arti kehadiran kita dalam menuntut ilmu.
Yahya bin Yahya tidak hanya mengajari kita soal uluwul himmah, namun dia juga mengajari kita soal kesadaran diri agar terampil mengelola rasa di hadapan cita-cita supaya tidak keluar dari tujuan semula.
Padahal Imam Malik kala itu menghentikan pelajaran sejenak dan membiarkan murid-muridnya melihat gajah itu. Namun filosofi luhur dibalik pilihannya mencerminkan kecerdasan tentang bagaimana seorang Muslim seperti Yahya memahami godaan-godaan konsistensi yang membuat raga terhenti. Begitulah seharusnya kita menata jalan cita-cita selama. Ingatlah, kita tidak punya waktu yang lama. Karena ilmu lebih banyak dari waktu yang kita miliki.
Seorang salaf mengatakan, العلم إذا إعطاك كلك لا يعطيك إلا بعضه
(Ilmu itu, bila semua potensimu kau curahkan untuk meraihnya dia tidak akan memberimu melainkan setengahnya saja).
Nah bagaimana kalau kita setengah-setengah?
Sebagai penuntut ilmu syar’I menata cita-cita adalah sebuah keharusan. Karena di jalan ilmu inilah hidup seorang thalib (pencari ilmu) menjadi berarti.*/ACT El Gharantaly, artikel diambil dari Komunitas Kota Nabi