Oleh: Ilham Kadir
DI MAKASAR, dalam sehari sedikitnya ada delapan istri jadi janda. Kota yang berpenduduk 1.338.663 dengan perincian, penganut agama Islam sebesar 1.167.188, Protestan 109.423, Katolik 37.824, Hindu 1.926, Buddha 16.961, Konghucu 261, dan kepercayaan lainnya 315 pada tahun 2015.
Kantor Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar memutus perceraian sebanyak 1.840 pasangan suami istri beragama Islam di antara total 2.222 permohonan yang masuk. Yang tak kalah menarik, adalah 1.390 (75%) kasus perceraian merupakan cerai gugat, artinya istri menceraikan suaminya, hanya 459 (24%) kasus cerai talak, suami menceraikan isterinya. Ini hanya sebatas ummat Islam kajian terhadap ummat lainnya belum masuk.
Menurut Profesor Nasaruddin Umar (Media Indonesia 10 Okt 2016), angka perceraian di Kota Makassar dalam 10 tahun terakhir atau sejak 2005, kasus perceraian berjumlah 4.174 kasus, dengan rincian cerai gugat 3.081 (65%). Dibandingkan dengan Kabupaten Indramayu, Makassar masih di bawah, sebab kabupaten ini dalam satu tahun terakhir sudah memproduksi sedikitnya 17.500 janda muda.
Secara keseluruhan, di Indonesia dalam10 tahun terakhir, di antara 2 juta perkawinan setiap tahunnya terjadi 200 ribu perceraian, itu artinya, setiap sepuluh perkawinan terjadi satu perceraian yang umumnya berawal dari gugatan istri yang lebih memilih jadi janda, ke depan tren ini semakin meningkat, pertumbuhan janda semakin di depan.
Penyebab perceraian pun sangat kompleks, dari masalah materi hingga soal hati. Yang pertama terkait nafkah lahir, makan, tempat tinggal, kendaraan hingga fasilitas hidup lainnya. Yang kedua terkait perasaan berupa sakit hati karena dikhianati, kekerasan dan turunannya.
Di Medan, ada istri menganiaya suaminya yang sedang tertidur dengan cara memukul kepalanya hingga babak-belur hanya persoalan uang dua puluh ribu rupiah, sang suami dituduh mencuri uang istrinya. Tak terima penganiayaan dan tuduhan, istri dilaporkan ke kantor polisi, dan riwayat rumah tangga sepasang suami-istri pun kandas.
Di Makassar, prosentase cerai gugat 75 persen itu menyiratkan bau busuk jika ditelisik lebih dalam. Betapa tidak, perceraian justru melanda kelas menengah atas. Itu artinya perpisahan terjadi bukan lagi soal isi perut tapi lebih disebabkan persoalan atas perut (hati) dan di bawah perut (kelamin). Tidak Sampai di situ, dominasi perceraian pun berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil, wabil khusus golongan pendidik, lebih khusus dan khusus lagi adalah guru yang telah ikut sertifikasi.
Di daerah pun tak mau ketinggalan, di Bone setiap bulan ada 100 wanita berlomba untuk menjadi janda, di Enrekang, sejak Januari 2016 sudah 257 kasus perceraian, 210 adalah istri yang minta jadi janda, sisanya suami yang ingin jadi duda, (TribunEnrekang, 29/11/2016).
Kokoh Keluarga
Perlu ditekankan bahwa secara umum, para pasangan suami istri yang begitu mudah cerai adalah berada pada kisaran umur 30-40 tahun, atau masa-masa emas dan produktif. Mereka adalah generasi kelahiran 70 hingga 80an yang seharusnya matang secara emosi di era milenium kedua yang kita kenal dengan zaman informasi dan globalisasi. Pengecualian Indramayu yang perceraian terjadi justru pada umur 20 hingga 30an, dan penyebabnya justru suami yang meninggalkan istri, sebab para suami yang tidak bertanggung jawab itu, umumnya para perantau. Mereka adalah lelaki berslogan ‘habis manis sepah dibuang’.
Tapi, justru di situlah masalahnya, tsunami informasi dan alat komunikasi melanda berbagai kalangan, utamanya masyarakat urban dari kelas menengah ke atas tidak diimbangi dengan kedewasaan dalam menyelesaikan masalah internal keluarga, akibatnya, masalah sepele bisa menjadi runyam dan berujung pada pertengkaran dan perceraian.
Di tengah hilangnya budaya musyawarah dan merebaknya perilaku egoisme juga menjadi bagian dari masalah perceraian. Sepasang suami istri, bagi masyarakat urban di kota-kota besar, tidak lagi tergantung dengan kerabat dan keluarga. Ketika masalah datang, diselesaikan dengan tanpa melibatkan siapa pun, dan tentu saja mayoritas mereka justru menyelesaikan masalah rumah tangganya di Kantor Pengadilan Agama dengan istri menjadi penggugat bagi suaminya.
Sejujurnya, agama sudah mengajari kita manajemen konflik. Bahwa ketika ada masalah serius bagi pasangan suami istri, terutama yang hendak menggugat atau tergugat, keduanya seharusnya mengutus utusan masing-masing (hakaman min ahlihi wa hakamam min ahliha), untuk mencari titik temu antar keduanya, agar sebuah bahtera rumah tangga tidak serta-merta karam, itulah yang disitir firman Allah, “Jika kalian khawatir terjadi keretakan hubungan antara suami istri, hendaklah kalian mengutus penengah dari pihak keluarga suami maupun istri. Jika suami istri itu menghendaki perdamaian, niscaya Allah akan memberi petunjuk untuk berdamai”, (QS. An-Nisa: 35).
Merebaknya budaya kawin cerai sebagaimana yang terjadi di tahun 2016 ini disinyalir akan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun mendatang jika tidak diatasi dengan serius. Persoalan ini harus ditangani secara komprehensif, tidak parsial. Artinya berbagai unsur harus terlibat, dari hulu ke hilir, dari istana presiden hingga lingkungan rumah tangga.
Implikasi dari perceraian jelas akan merugikan semua elemen, karena berakibat pada lahirnya masalah sosial. Dari sisi parenting, atau pendidikan rumah tangga, seorang anak yang ditinggal berpisah kedua orang tuanya akan meninggalkan beban psikologis yang serius.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Generasi tanpa bimbingan dan arahan orang tua akan mudah terperosok ke jurang kehancuran. Meningkatnya pengguna Narkoba, budaya seks bebas, begal, anak jalanan, dan berbagai bentuk pelampiasan negatif lainnya berawal dari keluarga broken home.
Menurut KH. Bachtiar Nasir, dalam “Masuk Surga Sekeluarga, Jakarta: AQL Pustaka, 2016”, solusi jitu untuk menekan budaya cerai adalah memperkokoh keluarga dengan cara meningkatkan kualitas keilmuan terkait hak-hak dan kewajiban pasangan suami istri, agar mereka paham apa yang harus, sunnah, mubah, makruh, dan haram untuk dilakukan. Sebab tidak dipungkiri bahwa penyebab perceraian, antara lain karena tidak adanya pengetahuan tentang kerumah-tanggaan, pernikahan hanya berasaskan emosi dan materi nihil ruh dan iman.
Kokoh keluarga, atau menghidupkan jiwa kebersamaan antar anggota keluarga, dimulai dengan pemetaan hak-hak dan kewajiban suami istri hingga anak dan orang tua. Bagi umat Islam, kokoh keluarga tidak dapat dipisahkan dengan peningkatan kualitas ibadah, sebab niat awal menikah memang bertujuan untuk beribadah, dan nikah adalah ibadah yang paling enak atau sebaliknya.
Ada pasangan yang menjadikan keluarga penuh dengan ketenangan, kehangatan, lautan cinta kasih, dan tempat melepas segala kepenatan dan gundah gulana adalah miniatur surga dunia. Tapi ada pula sebaliknya, kehidupan dalam keluarga laksana lautan api yang panas, hidup di dalamnya seumpama neraka, tidak ada kenyamanan yang terasa hanya kenistaan dan penderitaan, maka cerai adalah solusi ampuh. Memang, cerai hukum awalnya mubah, walau dimurkai oleh Tuhan, namun terlalu mudah menggugat suami atau melontarkan kata talak pada istri tanpa alasan syar’i akan melahirkan penyesalan dunia akhirat. Wallahu A’lam!
MIUMI Pusat; Komisioner Baznas Enrekang