SEORANG guru pernah bercerita perbedaan pandangan bagaimana menjadi pribadi sederhana. Satu orang mengatakan, sederhana itu seperti Nabi yang hidup dengan tidak begitu mementingkan duniawi. Bila tiba harta di tangannya, tak sampai esok semua harta itu telah habis dibagikan.
Satu lagi mengatakan, Nabi itu makannya kurma terbaik, minumnya susu kambing, konsumsinya daging kambing terbaik, pakaiannya pun wangi dan kendaraannya pun paling gagah.
Perbedaan sudut panang tentang sederhana itu pun terus berlangsung dan tidak ditemukan titik temu tentang bagaimana sebenarnya menjadi pribadi yang sederhana.
Namun, menurut Buya Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup, orang yang sederhana adalah orang yang tidak terlalu condong, tidak juga terlalu rebah.
“Syahwat yang dibolehkan syara’ sekalipun, tidaklah melebihi mesti, ketika mengambil kesempatan dari keharusan itu. Misalnya boleh memakan makanan yang enak! Mentang-mentang harus (boleh) tidaklah dilahapnya lebih dari kekuatan perutnya” (halaman 168).
Baca: Tingkatkan Kepedulian dengan Tradisi Hidup Sederhana …
Lebih lanjut pengarang Tafsir Al-Azhar itu menegaskan, “Dibolehkan oleh syara’ beristri sampai berempat, asal saja sanggup, adil, dan mampu. Mentang-mentang mampu dia lupa kesanggupan dan keadilan, dia hanya ingat pada kemampuan, lalu dia beristri dua, tiga, dan empat, salah sedikit ceraikan satu, tingggalkan dua, ganti lagi, cari pula janda muda atau perawan yang lain. Akhirnya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengurus rohaninya, hidup, jiwa, dan ibadahnya kepada Tuhan. Hanyalah mengurus giliran malam para istrinya. akhirnya anak-anaknya kocar-kacir.”
Islam menghendaki kehidupan yang sederhana, yang oleh Buya Hamka bisa disebut dengan istilah “istiqomah” yang berarti tegak lurus di tengah-tengah. Dan, “i’tidal” yang berarti sama berat.
Buya Hamka pun memberikan tuntunan bagaimana agar bisa menjadi pribadi sederhana, yakni dengan menjadi pribadi yang jujur.
“Kita harus jujur. Karena kejujuran itulah yang sederhana dan yang lurus. Kita tidak boleh bohong, kita mesti lurus, tak boleh menipu. Kita tidak boleh royal dan tidak boleh bakhil. Kita tidak boleh terlalu pendorong dan kita tidak boleh pengecut. Karena semuanya itu merusakkan tali hubungan kita dengan Allah dan dengan insan. Dan menghilangkan sederhana” (halaman 171).
Dengan demikian, sederhana dalam pribadi Nabi adalah hidup yang seimbang, sama berat, dan tegak lurus di atas landasan syariat. Apapun yang beliau lakukan adalah semata-mata menjalankan titah Ilahi, memberikan keteladanan yang ideal, sehingga tidak ada orang miskin yang bersedih karena Nabi orang yang pernah kaya raya. Juga tidak ada orang kaya yang merasa rugi, hanya karena Nabi pernah tidak makan hingga diganjal perutnya dengan batu.
Semua kondisi, kaya atau miskin disikapi secara sederhana alias tegak lurus dan sama berat. Prinsipnya bagaimana kemiskinan tetap menguatkan ketaqwaan. Dan, kekayaan tidak merusak ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.
Buya Hamka kembali memberikan penjelasan. “Yang akan disederhanakan ialah iat dan tujuan, bukan bekas keluar. Banyak orang menyangka, lantaran seseorang berpakaian yang koyak dan murah atau rumahnya kurang indah, orang itu dikatakan sederhana. Kalau dari sana hendak diukur kesederhanaan, kita tidak akan bertemu hakikat yang sebenarnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kita tidaklah dapat berpedoman kepada yang lahir menunjukkan kesederhanaan. Banyak orang-orang kaya yang termasyhur, terpandang, terkemuka dalam masyarakat. banyak pula penulis, penganjur, pengarang dan ahli seni yang tidak memperdulikan pakaiannya, rumah tangganya. Bukan karena loba tamak kepada uang dan ingin mengumpul-ngumpulkan harta. Bukan pula karena bakhil, tetapi oleh karena tidak sampai pikirannya hendak menimbang perkara-perkara yang berkecil-kecil.
Bagi mereka asal sudah dapat berkhidmat kepada umum, walaupun pakaian dan kediaman itu tidak bagus kelihatannya, sehingga tidak sepadan dengan kedudukannya yang ditinggikan orang, semuanya itu tidaklah menjadi kenangan kepada mereka.” >> (bersambung)