SEORANG Muslim idealnya memiliki sifat berani. Dalam paparan Buya Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup orang yang patut diberi gelar berani adalah orang yang tiada merasa gentar menghadpai bahaya karena menghindarkan bahaya yang lebih besar.
Maju menghadapi kesulitan, karena yakin di balik kesulitan itu akan tercapai suatu kebahagiaan jiwa. Tidak undur walaupun apa bahaya di hadapannya. (Halaman 245 – 246).
Namun, sifat berani itu akan sulit hadir dalam diri seorang Muslim manakala dirinya sendiri belum mampu ditundukkan atas kebenaran Islam.
Sayyid Qurb dalam bukunya Ma’alim fi ath-Thariqi menyatakan bahwa tidak mungkin seorang Muslim akan memiliki keberanian (berjihad) manakala ia sendiri belum menceburkan diri dalam jihad akbar, yakni melawan setan di dalam dirinya sendiri dengan menepis hawa nafsu dan syahwatnya, ketamakan dan ambisi-ambisinya, kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.
Dengan kata lain, segala impian keduniawian jika tidak arahkan untuk menolong agama Allah, saat itulah keberanian dalam hati terus terkikis sebagaimana pantai yang terus mengalami abrasi, sehingga raga mungkin masih menjalani ritual sebagai Muslim, tetapi jiwanya sudah kehilangan nyali untuk berbuat lebih besar.
Menurut Buya Hamka, keberanian yang dalam bahasa Arab disebut “Syaja’ah” itu terbagi dalam dua kategori, yaitu keberanian semangat dan keberanian budi.
Keberanian semangat ini ada pada diri serdadu menghadapi musuh di medan perang. “Walau bagaimana pun hebatnya granat, bom, meriam, bedil, peluru, gas beracun yang ada di hadapannya, dia akan terus maju, dan maju terus, tidak kenal mundur,” tulisnya (halaman 246).
Sedangkan keberanian budi ialah keberanian menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya, walaupun akan dibenci orang. Menurut Buya Hamka, inilah yang dalam Islam dikenal dengan “amar bil ma’ruf, nahyi anil munkar,” menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat jahat.
Buya Hamka pun menegaskan, “Tidaklah suatu bangsa akan tegak, dan suatu paham dapat berdiri, kalau di antara bangsa itu sendiri tidak ada yang berani menyatakan kebenaran.”
Oleh karena itu, Umar bin Khaththab Radiyallahu anhu sangat suka kepada siapapun dari umatnya yang pemberani dan tidak segan mengambilnya sebagai orang kepercayaan. Seperti kisah gadis penjual susu yang berani menolak perintah sang ibu untuk mencampurnya dengan air. Sayyidina Umar langsung mengambil keputusan untuk mengambil gadis itu sebagai menantu.
Pernah suatu waktu Umar bin Khaththab berperkara dengan seorang Badui dalam hal transaksi jual beli kuda. Ketika dibeli, kuda itu sendiri dalam keadaan baik alias tidak cacat sedikit pun. Tetapi, dalam perjalanan ke rumah, kuda itu tiba-tiba pincang. Umar pun mengembalikan kuda itu kepada sang Badui. Sang Badui mengatakan keberatan dan meminta agar perkara dirinya dan Amirul Mukminin itu diselesaikan oleh seorang hakim.
Syuraih ibn Al-Harits Al-Kindi pun dipercaya oleh keduanya untuk mengadili perkara tersebut. Syuraih pun bertana kepada Umar, “Apakah engkau menerima kuda dalam keadaan tanpa cacat, wahai Amirul Mukminin?” tanya Syuraih.
“Ya, saya menerima kuda itu dalam keadaan tanpa cacat,” jawab Umar. Syuraih pun menjawab, “Kalau begitu, simpanlah apa yang sudah engkau beli. Jika ingin mengembalikannya, maka kembalikan seperti sedia kala tanpa cacat,” tegas Syuraih.
Sembari tertawa Umar pun berkata, “Hanya begini keputusannya? Hanya sesederhana ini?” Syuraih menjawab dengan tegas, “Ya, demikianlah keputusanku, wahai Amirul Mukminin.”
Mendengar jawaban Syuraih, Umar selaku pemimpin berkata, “Beginilah seharusnya putusan itu, ducapkan dengan pasti (berani) dan ditetapkan dengan adil. Pergilah engkau ke Kufah yang banyak persengketaannya. Aku mengangkatmu menjadi qadhi di sana.”
Demikianlah Muslim terdahulu menghiasi dirinya dengan keberanian, sehingga hidup mereka tidak bersandar selain kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kebahagiaan yang mereka peroleh pun melampaui kesenangan apapun di dunia ini, sehingga hidup mereka terus menginspirasi hingga kini. Mereka berani mengatakan kebenaran, meski di hadapan penguasa tertinggi negeri. Mereka berani berdiri di atas sikap kebenaran Islam tanpa pernah ragu dan takut sedikitpun.
Mengapa umat Islam tidak berani sedangkan Allah memerintahkan kita untuk tidak bersikap lemah dan bersedih hati, asalkan kita benar-benar berdiri di atas landasan iman.
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٣٩
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) kalian bersedih hati, karena kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3]: 139).
Terhadap ayat tersebut Sayyid Qutb menjelaskan bahwa setiap Muslim sudah seharusnya memiliki sikap berjiwa besar (berani) atau perasaan unggul yang harus dipegang teguh dalam menghadapi segala sesuatu, segala situasi, semua nilai dan semua orang, yakni perasaan serba unggul karena keimanan.
Oleh karena itu Buya Hamka mendorong kaum Muslimin agar memperhatikan pendidikan tauhid putra-putrinya, karena dengan tauhid itulah keberanian sejati akan muncul dar lubuk hati mereka.
“Maka salahlah pendidikan ibu-ibu yang menidurkan anaknya dengan ancaman. Menakut-nakuti anaknya dengan hantu, gendoruwo, cindaku, palasik, urang-sibunian dan lain-lain sebagainya. Sehingga sampai anak itu besar banyak yang tidak dapat dikikiskan dari ingatannya. Karena telah ditanamkan oleh ibunya di waktu kecil.” (Halaman 260).
Aduhai, betapa negeri ini akan segera bangkit, maju dan memimpin dunia jika di setiap dada mereka ada kata Isyhadu Bi Anna Muslimun (Katakan aku seorang Muslim) pada mereka yang mengaku sebagai mahasiswa, dosen, polisi, para jenderal, hakim, jaksa, pengusaha, anggota dewan, para petugas layanan publik hingga presiden dan menteri sekalipun. Wallahu a’lam.*