SUNGUH di luar dugaan apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf. Bagaimana tidak, dalam kondisi tidak memiliki apa-apa ia menolak tawaran yang sangat menggiurkan dari saudara seimannya Sa’ad bin Rabi’ dari kalangan Anshor.
Ia justru meminta sesuatu yang kurang bisa dimengerti orang pada umumnya. Kepada Sa’ad bin Rabi’ ia hanya minta agar ditunjukkan dimana pasar.
Lantas apa yang dilakukan sahabat Nabi yang kemudian menjelma sebagai saudagar Muslim yang kaya raya itu?
Ia berdagang, memulai segalanya dari nol dan dengan bekal keimanannya ia menempa diri dalam keseharian untuk meraih sukses besar bagi kehidupan diri dan utamanya umat Islam.
Tidak banyak memang riwayat yang menjelaskan perihal bagaimana Abdurrahman bin Auf dalam berdagang. Tetapi dari perspektif logika kita bisa telusuri hal itu sebagai berikut.
Pertama, kejujuran. Sangat tidak mungkin Abdurrahman bin Auf akan menjelma menjadi saudagar besar tanpa kejujuran. Apalagi, ia di Madinah hanya sebagai seorang pendatang, yang tidak memiliki modal apa pun, selain kompetensi dan tentunya kejujuran.
Dari mana Abdurrahman bin Auf belajar kejujuran? Dari siapa lagi jika bukan Rasulullah. Bukankah Rasulullah awalnya juga seorang pedagang yang tidak memiliki modal? Akan tetapi dengan kejujuran, beliau bisa menjelma menjadi seorang pedagang besar, sukses dalam dunia bisnis dan perniagaan.
Kedua, kesungguhan. Seperti jamak dipahami bahwa di masa Nabi tak ada satu pun sahabat Nabi yang tidak memiliki kesungguhan. Semua sahabat sangat terlihat kesungguhannya dalam dunia yang mereka tekuni.
Abdurrahman bin Auf bersungguh-sungguh dalam bisnis dan perniagaan. Zaid bin Tsabit bersungguh-sungguh dalam merekam dan menuliskan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Abu Hurairah bersungguh-sungguh dalam menghafalkan dan meriwayatkan hadits-hadits Nabi. Jadi, hampir tidak mungkin kebaikan, apalagi ahsanu amala bisa diwujudkan dalam diri seorang Muslim tanpa yang namanya kesungguhan.
Ketiga, semua dilakukan tidak semata hanya untuk diri dan keluarga, tetapi nasib dan masa depan umat Islam. Bayangkan Abdurrahman bin Auf ada di samping kita, lalu kita bertanya, “Apa yang memotivasi Anda wahai Abdurrahman bin Auf sehingga Anda menjelma menjadi saudagar Muslim?”
Mungkin, beliau menjawab sederhana, “Motivasiku hanya satu, yakni apa yang bisa aku berikan untuk merubah nasib dan masa depan umat Islam di masa Rasulullah.”
Dan, seperti dicatat dalam sejarah, Abdurrahman bin Auf memang sangat dermawan. Hasil dari perniagaannya ia salurkan untuk menyantuni para veteran perang Badar, para janda Rasulullah, dan memberi makan anak yatim dan fakir miskin di Madinah.
Menariknya lagi, ternyata Abdurrahman bin Auf sukses membangun bisnisnya setelah ia merasakan suka duka menjadi Muslim sejak di Makkah bersama Rasulullah. Ia bahkan ikut berangkat hijrah ke Habasyah dan Perang Badar.
Dari sekelumit kisah Abdurrahman bin Auf ini kita dapat menarik makna terdalam dari apa yang Allah sebutkan sebagai ahsanu amala dalam Al-Qur’an. Apabila sahabat-sahabat Nabi memiliki komitmen tinggi sampai pada derajat ahsanu amala, maka selayaknyalah kita sebagai pengikut Rasulullah juga memiliki komitmen yang sama.
Makna Ahsanu Amala hanya memiliki satu makna yakni yang paling baik amalannya. Dan, tujuan Allah menghadirkan manusia di muka bumi ini dengan segala ketetapan-Nya tidak lain dan tidak bukan untuk memastikan siapa di antara hamba-hamba-Nya yang paling baik amalnya.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2).
وَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS: Hud [11]: 7).
Dengan demikian, seorang Muslim itu tidak lagi sebatas menempa diri hanya untuk prestasi pribadi, lebih jauh dari itu adalah kontribusi berarti bagi kelangsungan hidup dan masa depan umat Islam.
Oleh karena itu, seorang Muslim itu tidak boleh patah semangat apalagi patah arang. Sebaliknya justru terus mampu membakar semangat juangnya untuk menjadi pribadi terbaik dan bermanfaat bagi sesama.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Soal hari ini masih hidup dalam kesulitan dan kekurangan, semua itu tidak boleh menjadi alasan kita hidup dengan mementingkan diri sendiri. Sebab hidup yang demikian adalah hidup yang tidak bermakna. Apalagi kalau ternyata kehidupan kita sudah lebih dari mencukupi. Menggapai derajat ahsanu amala mestinya kian jadi kebutuhan utama.
Bukti Keimanan dan Realisasi Berilmu
Muslim yang memiliki tekad menggapai ahsanu amala bisa dikatakan sebagai Muslim yang benar-benar ingin secara tulus membutkitkan keimanannya sebagai wujud amaliah dari ilmu yang dipahaminya. Sebab, ilmu tanpa amal adalah sia-sia.
Ibn Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Sekiranya ilmu itu bermanfaat tanpa amal, Allah tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab, dan jika ilmu itu bermanfaat tanpa ikhlas, Allah tidak akan mencela orang-orang munafik.”
Dengan kata lain, ahsanu amala adalah cara Allah menjauhkan setiap Muslim dari sifat buruk yang membahayakan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, daripada sibuk melakukan hal-hal yang belum jelas manfaatnya, alangkah sangat baik jika setiap Muslim menempa diri sedemikian rupa untuk sampai pada derajat ahsanu amala, apapun status dan profesinya.
Semoga Allah senantiasa menuntun diri kita semua untuk mampu menjadi Muslim yang memiliki kejujuran, kesungguhan dan kepedulian terhadap nasib dan masa depan umat Islam, sehingga kita bisa mewujudkan ahsanu amala itu dalam setiap hari-hari yang kita lalui. Aamiin.*