Rasulullah Muhammad, sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi) hatinya selalu resah ketika melihat tingkah laku umatnya. Pasalnya, penduduk di jazirah Arab, daerah Muhammad dilahirkan, ketika itu berperadaban jahiliyah. Baik dalam segi keimanan (tauhid) maupun moral. Tuhan mereka adalah berhala. Mereka menyembah latta, uzza dan manat. Patung yang mereka bikin dengan tangan mereka sendiri.
Perangai mereka juga sangat buruk. Perjudian, pelacuran, perampokan, perkelahian, minum-minuman dan pembunuhan menjadi bagian dari hidup mereka. Ibarat hukum rimba: siapa yang kuat, dia yang menang. Antar kabilah pun sering berperang. Betul-betul tidak manusiawi. Itulah kenapa masa itu disebut jahiyah.
Fenomena itulah yang membuat Muhammad resah. Hatinya gundah gulana, risau, tidak tenang, tidur tak nyenyak makan pun tak enak. Bagaimana mungkin patung yang dibuat sendiri dijadikan tuhan? Bagaimana mungkin, manusia yang memiliki fitrah ilahiyah berprilaku laksana hewan, bahkan lebih rendah dari itu? Sederet pertanyaan itulah yang muncul dan selalu mengisi ruang pikiranya. Umat, umat dan umat.
Lantas, Muhammad pun berikhtila (menyendiri) di Gua Hira. Di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kejahiliyahan masyarakat kafir Quraisy itu, Muhammad merenung dan bertafakur; Apa solusi dari ini semua? Setidaknya itu substansi yang Muhammad pikirkan. Perenungan itu berbuah fitrah ilahiyah yang semakin mengkristal dalam dadanya. Muhammad yakin, di balik semua ini, ada kuasa Tuhan, penguasa yang mengatur alam jagad raya.
Apa yang dipikirkan Muhammad didengar Allah. Muhammad yang memang telah ditetapkan akan jadi Nabi terakhir akhir jaman, ketika itu didaulat menjadi nabi dengan ditandai turunya surat al-‘Alaq. Surat pertama yang diberikan Allah melalui malaikat Jibril.
“Iqra’ Ya Muhammad,” (bacalah ya Muhammad), perintah Jibril sambil mendekap tubuhnya. Muhammad pun ketika itu hanya bisa menjawab “Ma ana biqaari” (saya tak bisa membaca) sambil badanya gemetaran.
Kembali ke jaman sekarang. Di akhir jaman ini, apa yang terjadi pada masa jahilyah, setidaknya sedikit demi sedikit terulang kembali. Fenomena “kejahiliyahan” abad modern sangat jelas terlihat di ruang publik dan di berbagai sudut belahan dunia. Dari kejahiliyahan tingkat yang paling rendah hingga ke tingkat yang paling tinggi.
Hal ini akan terus bergulir hingga kiamat menjelang. Masalahnya, Nabi setelah Nabi Muhammad tak akan ada lagi. Karena itu, yang seharusnya melakukan perubahan adalah umat Islam sendiri. Sebab, jika tidak, kepada siapa berharap?
Karena itu, kajahiliyahan abad modern ini seharusnya menjadi “keresahan” yang mendalam bagi seluruh manusia yang menyatakan dirinya sebagai Muslim dan Mukmin. Keresahan yang sama seperti Nabi Muhammad ketika melihat kejahiliyahan pada saat kafir Quraisy.
Tolok ukur keresahan telah jelas dalam nilai yang terkandung dalam dua kitab pusaka umat Islam, al-Qur’an dan sunnah. Dua kitab warisan Nabi Muhammad ini dijamin menyelamatkan manusia dari berbagai masalah dan menunjukkan jalan yang lurus dan benar. Dan, keresahan itu seharusnya muncul pada diri setiap mukmin jika melihat realitas kehidupan yang telah menyimpang dari nilai di dalam dua kitab tersebut. Ibaratnya, realitas yang tidak sesuai dengan idealitas Islam.
Dalam konteks globalisasi seperti saat ini, realitas tersebut sangatlah banyak dan kompleks. Baik dari aspek sisi sosial, ekonomi, politik, budaya hingga pendidikan. Banyak praktek di berbagai aspek tersebut yang sudah keluar dari kerangka Islam. Kebodohan akidah; paganisme modern, sinkretisme, dinamisme, kerusakan moral; korupsi, perzinahan, pembunahan, homoseksual, sistem ekonomi; kapitalisme, sosialisme, dan kehidupan sosial; materialisme dan hedonisme, kemiskinan dan lain sebagainya.
Bagaimana tidak resah, hal-hal yang dilarang agama di jaman ini malah didukung media massa. Kebanci-bancian diumbar di TV, bintang maksiat porno malah didatangkan produser film. Tak tanggung-tanggung, mereka berani melawan ulama dan mengimpor langsung dari luar negeri.
Seks bebas remaja, kelainan seksual seperti homo, lesbi dianggap biasa, bahkan difilmkan. Seolah umat yang umumnya sehat ruhani ini butuh itu semua.
Sudah bukan certa baru, anak membunuh ibu, ayah memperkosa anak, kakek menyetubuhi cucu seolah cerita harian yang tak pernah habis. TV kita dijejali acara berbau hedonisme, pacaran, kemaksiatan, kebencian, pamer kekayaan atau balas-dendam. Itu dan itu selalu.
Sayangnya, banyak umat Islam yang hanya jadi penonton. Realitas tersebut dibiarkan menjadi etalase yang dipajang di mana-mana, tanpa melakukan perubahan. Hatinya tak tersayat. Imanya tak ternodai. Padahal, seharusnya umat Islam harus peka dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Karena umat Islam tidak boleh individual. Selama ini, yang ada, umat Islam cenderung suka dalam kondisi aman (comfort zone), tidak mau keluar dan melakukan pembelaan dan perubahan lebih massif.
Seharusnya, sebagai orang beriman, melihat realitas seperti itu, hatinya akan selalu resah, gundah gulana, makan tak enak dan tidurnya pun tak nyenyak. Bukan justru mencari aman dan asik dalam individualitas. Sebab, dikatakan muslim jika bisa menyelamatkan saudaranya, membagi kebahagiaan dan menunjukkan jalan yang benar. Betapa banyak umat Islam dan orang lain yang sedang membutuhkan.
“Ber-gua Hira”
Tidak malukah kita kepada kaum Anshar? Mereka begitu gembira dan suka cita menyambut kaum muhajirin yang berhijrah ke Yastrib (Madinah). Kepada saudaranya yang baru datang jauh-jauh dari Mekkah, mereka membagikan apa yang mereka miliki; rumah, ladang, makanan bahkan istri. Mereka menganggap sesama muslim adalah satu tubuh. Jika ada yang butuh, yang sakit, saling melengkapi.
Sekarang, banyak umat Islam yang punya rumah mewah lebih dari satu dan harta berlimpah tapi tidak peka kepada saudaranya. Ia bergelimang kemewahan dan harta benda, sementara saudara-saudaranya sendiri harus mengais sisa sampah untuk bisa makan sehari. Mereka bisa bersenang-senang padahal Kristenisasi merajalela di mana-mana. Mereka punya rumah besar dan mewah, tapi mungkin, hati mereka tertutup bagi saudaranya. Tertutup oleh kejahiliyahan modern. Karena itu, tak heran jika berbagai persoalan keummatan tak merasa menjadi bagian tanggungjawab.
Ada baiknya, untuk mengasah kepekaan kita terhadap realitas yang ada perlu mencontoh Nabi Muhammad. Sesekali, marilah beruzlah, menafakuri hakikat hidup ini. Munculkanlah keresahan dalam diri Anda agar bisa menimbulkan semangat untuk berubah umat jeuh lebih luas. [Syaiful Anshor/hidayatullah.com]
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/