Sambungan dari kisah pertama
Hidayatullah.com | HAMDAN wa syukran lillaah. Setelah kurang lebih 12 jam kami berada di udara (dari Indonesia ke Abu Dhabi memakan waktu 7 jam 42 menit dan Abu Dhabi ke Istanbul 4 jam 15 menit) akhirnya kami tiba di kota terpadat di Turki, pada hari Senin (18/10/2021) pukul 15.00 waktu Istanbul.
Seorang guide lokal sudah menunggu kami di Bandara Istanbul untuk mendampingi kegiatan tur selama di Turki. Kak Şuh (cara bacanya: Syuh), begitu kami menyapa wanita kelahiran tahun 1988 itu. Ia warga negara Turki tulen, lahir di Edirne, sebuah kota yang terletak di sebelah Barat Turki. Meski lahir dan besar sebagai orang Turki, Kak Şuh sangat lancar berbahasa Indonesia dan sangat suka makan nasi goreng.
Safar kali ini terbilang cukup menguras rasa, pikiran dan juga fisik kami, terlebih setelah berpulangnya Ustadz Laendra Rahmat (rahimahullah) di tengah perjalanan dan juga lamanya perjalanan dan panjangnya urusan imigrasi yang harus ditempuh.
Ketika pertama menginjakkan kaki di bumi Al-Faatih, terasa kelelahan itu memudar, meski hanya sedikit saja. Terutama rasa sedih kami, tak mudah hilang begitu saja.
Setelah melaksanakan shalat jamak ta’khir zhuhur dan ashar, kami langsung dibawa mengunjungi Selat Bosphorus. Kak Şuh mengajak kami untuk merasakan sensasi naik kapal (cruise tour) dan menikmati pemandangan juga semilir angin jelang musim dingin di Tepi Laut Golden Horn dan Selat Bosphorus.
Berlayar di Selat Bosphorus
Setiap melihat pemandangan laut, selalu tergelar ciptaan indah Sang Pencipta. Demikian halnya pemandangan di Laut Golden Horn dan Selat Bosphorus. Kita dapat menyusuri sepanjang teluk dan selat ini untuk menikmati hembusan angin laut, bangunan-bangunan di Kota Istanbul yang berada di tepian dan di atas bukit, kapal-kapal yang lalu lalang, dan burung-burung camar yang beterbangan.
Maasyaa Allaah!
Keindahan yang tak cukup jika digambarkan dengan kata-kata. Betapa indah dan luar biasanya bisa menyaksikan bangunan-bangunan dan masjid bersejarah dari atas kapal. Menikmati pemandangan kota di sekeliling selat ini terbayang bagaimana kejayaan Islam pada masa silam. Masjid-masjid begitu menawan dibangun sekitar tahun 1500-an menambah kesakralan kota.
Kami menyusuri laut Golden Horn dan Selat Bosphorus ini selama 1 jam. Saat kapal menyusuri selat Bosphorus, cuaca terasa sangat dingin dan hembusan angin cukup kencang karena di Turki saat ini sedang musim gugur, mulai peralihan mau masuk musim dingin. Ketika kami kembali ke dermaga senja sudah menjelang, sehingga pemandangan senja (sunset) di tepi laut Golden Horn tertangkap ketika cruise sudah berlabuh pulang. Masya Allah, indah sekali.
Kota Istanbul terletak di daratan berbentuk segitiga seperti tanduk dan terletak di sebelah barat Selat Bosphorus yang memisahkan antara Benua Eropa dan Asia. Di sebelah utara kota terdapat Teluk Tanduk Emas atau Golden Horn yang merupakan pelabuhan alami. Di seberang Selat Bosphorus terdapat daratan Asia Kecil atau Anatolia. Dari Selat Bosphorus jika menuju ke utara menuju Laut Hitam (Black Sea) atau jika ke selatan melewati Selat Dardanela lalu menuju ke Laut Mediterania.
Dari berbagai referensi, Bosphorus adalah sebuah selat yang memisahkan Turki bagian Eropa dan bagian Asia, menghubungkan Laut Marmara dengan Laut Hitam. Bosphorus dalam bahasa Turki disebut Bogazici, yang berarti “selat bagian dalam”.
Selat ini memiliki panjang 30 km dengan lebar maksimum 3.700 meter pada bagian utara, dan minimum 750 meter antara Anadoluhisari dan Rumelihisari. Kedalamannya bervariasi antara 36 sampai 124 meter. Tepian selat ini berpenduduk padat, salah satu kotanya adalah Istanbul.
Di atas cruise, semua peserta tur asyik melayangkan pandangan ke sekitar. Kebanyakan asyik dengan kameranya jeprat-jepret termasuk saya, hihi…. Hembusan angin yang sangat kencang dan udara begitu dingin membuat badan menggigil dan jaket yang kami pakai terasa kurang menghangatkan. Tapi dengan melihat pemandangan di sekeliling, apalagi ketika melihat burung-burung camar yang beterbangan di atas laut yang begitu biru, pemandangan jingga di ufuk barat ketika senja menyapa mengalahkan rasa dingin yang menyergap.
Dari laut ini terlihat Istana Dolmabahce dan Topkapi di kejauhan, Maiden Tower, Masjid Ortaköy serta taman, perumahan, dan hotel-restoran di tepi laut. Termasuk benteng Rumeli Hisari, yang dibangun pada tahun 1452 oleh Sultan Mehmed II atau Muhammad Al Fatih untuk mengamankan Selat Bosphorus dan menghubungkan Kesultanan Ustmani Asia dan Eropa atau sebagai pemotong selat yaitu untuk menahan dan mengawasi logistik di Konstantinopel.
Pemandangannya memang sangat mengasyikkan, banyak perumahan yang bagus di tepi selat ini, hotel-hotel mewah, dan kapal-kapal bahkan ada helikopter yang nangkring di atasnya. Tentu saja masjid dengan beberapa ujung menaranya juga tampak dari laut ini. Jembatan Bosphorus yang menghubungkan daratan Asia dan Eropa tampak megah dari ujung ke ujung, tetapi sangat sulit mengambil gambar secara keseluruhan dalam sekali jepret.
Ada tiga jembatan dibangun melintasi Selat Bosphorus. Jembatan pertama, Boğaziçi (Bosphorus I), yang menghubungkan Beylerbeyi dan Ortakoy, selesai dibangun pada tahun 1973.
Jembatan kedua, Fatih Sultan Mehmed (Bosphorus II), yang menghubungkan Anadolu Hisari dan Rumeli Hisari, selesai dibangun pada tahun 1988.
Jembatan ketiga, Yavuz Sultan Selim (Bosphorus III/YSS Bridge), yang menghubungkan Garipce dan Poyrazkoy, selesai dibangun pada tahun 2016.
Ada dua jembatan yang menyeberangi Selat Bosphorus, yang pertama adalah Jembatan Bosphorus memiliki panjang 1.074 meter dan diselesaikan pada 1973. Yang kedua, Jembatan Fatih Sultan Mehmet dengan panjang 1.090 meter dan diselesaikan pada 1988 sekitar 5 km sebelah utara jembatan pertama.
Akhirnya setelah menyusuri selat Bosphorus, kapal kembali ke dermaga di Laut Golden Horn sehingga mulai tampak Masjid Yeni Camii dari kejauhan dengan dua buah menaranya yang menjulang. Tampak pula di langit burung-burung camar bagaikan titik-titik hitam yang beterbangan. Jembatan Galata dengan kedai-kedainya mulai berkelap-kelip menyalakan lampunya. Langit mulai sedikit semburat berwarna jingga, dan senja datang menjelang.
Setelah turun dari cruise, kami kembali menuju bus dengan berjalan kaki menyusuri seperempat dari Jembatan Bosphorus. Sejenak menikmati pemandangan di tepi laut Golden Horn sambil menikmati pemandangan orang-orang yang sedang asyik memancing di sepanjang tepi jembatan. Semakin senja, bertambah ramai lalu-lalang turis ataupun warga lokal, karena memang dekat dengan dermaga kapal.
Masjid Ortaköy
Masjid Ortaköy terletak di tepi alun-alun Dermaga Ortaköy, salah satu area paling populer di Bosphorus. Masjid Ortaköy adalah simbol dari distrik Ortaköy, karena memiliki pemandangan khas Selat Bosphorus berikut Jembatan Bosphorus.
Masjid ini dapat dilihat dari Bosphorus Cruise, wisata pesiar yang mengantar penumpang berlayar di antara Asia dan Eropa.
Masjid Ortaköy merupakan penyempurnaan dari masjid kecil yang sempat dibangun pada tahun 1720 dan hancur dalam Pemberontakan Patrona Halil pada tahun 1731. Sultan Abdülmecid memerintahkan pembangunan masjid ini pada tahun 1854.
Arsitek masjid ini adalah ayah dan anak asal Armenia, Garabet Amira Balyan dan Nigoğayos Balyan (yang juga mendesain Istana Dolmabahçe dan Masjid Dolmabahçe), dalam gaya Neo-Baroque.
Pada tahun 1856, Masjid Ortaköy resmi dibuka.
Seperti semua masjid yang dibangun di bawah komando para sultan, bangunannya terdiri dari dua bagian, area ibadah utama dan area istana musim panas.
Masjid ini buka setiap hari antara pukul 09.00 sampai 18.00, tetapi ditutup untuk yang bukan jamaah selama waktu shalat. Pengunjung diminta berpakaian sopan saat masuk.
Saat kami berada di cruise, masjid ini terlihat jelas dan menawan dengan latar belakang Jembatan Bosphorus.
Kawasan Sultan Ahmet
Setelah menikmati kuasa Allah dalam bentuk pemandangan indah Kota Istanbul dari Selat Bosphorus, kami dibawa mengelilingi Kawasan Sultan Ahmet.
Kawasan Sultan Ahmet mungkin sudah tidak asing lagi bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke Istanbul. Kawasan ini adalah kota tua (old city). Di tempat inilah beberapa bangunan yang menjadi landmark Kota Istanbul berdiri, seperti Masjid Sultan Ahmet (Masjid Biru), Haghia Sophia, Yerebaten Cistern, dan Istana Topkapi.
Kawasan Sultan Ahmet ini dulu merupakan ibukota pemerintahan Romawi Timur sampai berpindah pada Kesultanan Ottoman Turki tahun 1453.
Tempat ini berada di dataran tinggi Kota Istanbul, di sisi sebelah timur adalah Laut Marmara, sebelah utaranya adalah Selat Bosphorus.
Karena kontur tanah di Kota Istanbul memang berbukit-bukit, maka kita akan dengan mudah melihat kota pemandangan Istanbul termasuk Istanbul di bagian Asia. Tempat ini memang sangat strategis karena bisa melihat ke segala penjuru. Tak heran, Raja Constantine XI waktu itu bersikukuh tidak mau menyerahkan Istanbul yang saat itu bernama Constantinopel pada Turki, walaupun posisinya sudah terjepit karena dikepung pasukan Turki dari arah Barat dan Timur. Kita masih bisa menyaksikan benteng-benteng peninggalan Romawi yang berada di sepanjang pantai. Benteng yang sebagiannya hancur dan sebagian lain masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kawasan Sultan Ahmet tampaknya merupakan kawasan cagar budaya yang dilindungi pemerintah Turki. Sehingga, bangunan rumah dan hotel serta penginapan tingginya tidak boleh melebihi tinggi Blue Mosque dan Hagia Sophia. Tak heran, dua bangunan itu terlihat dominan terutama kalau kita sedang menyeberangi laut Marmara. Saya tidak bisa membayangkan jika hotel-hotel yang berdiri di sekitar dua bangunan itu tidak dibatasi tingginya, mungkin Blue Mosque dan Hagia Sophia yang megah akan tenggelam ditelan bangunan hotel pencakar langit.
Kami diajak oleh guide lokal, Kak Şuh dan Tour Leader dari pihak travel, Ibu Rani, untuk makan malam di salah satu restoran yang terletak di kawasan Sultan Ahmet, restoran Turki dengan menu khas Turki, tentunya. Menu makanan di Turki sangat berbeda dengan apa yang biasa kita nikmati di Indonesia. Saat kami sudah duduk di kursi masing-masing, para pramusaji mulai sibuk mengantarkan appetizer alias hidangan Pembuka.
Ada beberapa macam appetizer dihidangkan: Turkish Salad atau salata, isinya bawang bombay, tomat, bawang merah, selada, timun, paprika, daun peterseli, dll, biasa ditaburi potongan keju feta dan diberi minyak Zaitun.
Corba (bukan cobra, ya hihi), yaitu hidangan sup sederhana tetapi sangat populer dan kerap disajikan sebagai menu sarapan di Turki. Pilihan corba yang populer adalah sup lentil atau tomat, ada juga yang terbuat dari brokoli, kacang-kacangan. Untuk penggemar kuliner, bisa mencicipi sajian sup corba dengan daging babat, otak domba, atau sup lidah.
Ada juga roti bazlama/sejenisnya, roti pipih yang dimasak secara tradisional di oven luar ruangan dan disajikan dalam keadaan hangat. Terkadang juga dengan roti simit, atau roti bundar yang sudah dipotong-potong. Biasanya dimakan dengan teh atau ayran (yoghurt asin), dicocol ke corba soup atau dimakan dengan keju, sayuran segar, daging sapi, dan buah yang diawetkan.
Itu baru appetizer alias hidangan pembuka. Setidaknya kita kudu menghabiskan 75 persen hidangan pembuka baru akan keluar hidangan inti. Di restoran pertama yang kami datangi sejak menginjakkan kaki di Turki ini, kami disuguhi 2 jenis nasi, nasi merah dan putih (rasanya enaak, mirip rasa nasi uduk, tapi lebih pulen dan lembut). Lauknya beberapa potong ayam bakar dengan bumbu dan topping khas Turki. Untuk dessert, biasanya buah-buahan segar seperti anggur, melon, semangka, jeruk, dan sebagainya. (Omong-omong, selama di Turki, enggak pernah ngerasain anggur yang masam, semuanya muaniissss, Masya Allah).
Setelah makan, waktu pun mulai beranjak malam, saatnya untuk meluruskan kaki setelah perjalanan panjang yang luar biasa, melelahkan namun memuaskan. Malam pertama di Turki kami menginap di salah satu hotel bintang 5 di daerah Bahçelievler, Istanbul.
Satu kamar berisi 2 peserta tur, yang suami-istri tentunya ditempatkan pada sekamar. Alhamdulillah, bisa istirahat sejenak demi mengumpulkan energi untuk kegiatan padat dan panjang pada keesokan harinya, Selasa (19/10/2021).* (Ida Nahdhah/bersambung)