Hidayatullah.com | SIAPA sangka, pagi itu adalah shalat terakhirnya. Dengan sebuah tongkat di tangan, pria berjalan pulang dari masjid. Saat itu ia baru saja selesai melaksanakan shalat subuh berjamaah. Setibanya di rumah, ia beristirahat.
Beberapa tahun lalu, ia pernah menderita stroke. Seiring waktu, penyakitnya berangsur diringankan oleh Allah. Namun, kesehatannya tidak sesempurna dahulu. Untuk berjalan kaki, Ustadz Nyoto Muslim harus menopang badannya dengan sebuah tongkat. Hingga pagi hari itu.
Setelah sekitar setengah jam berbaring di kamarnya, salah seorang anak Ustadz Nyoto melihat ada yang aneh dengan sosok sang ayah. Sang anak melihat ayahnya berbaring dalam kondisi tidak seperti orang yang masih hidup. Setelah diperiksa, ternyata tak dirasakan lagi hembusan napas ayahnya.
“Eh bapak enda bernapas sudah,” ujarnya kepada keluarganya dan warga sekitar rumahnya, sebagaimana ditirukan oleh Ustadz Abdul Qadir Abdullah, kepada hidayatullah.com beberapa waktu lalu.
Ustadz Abdul Qadir, biasa dipanggil Abah Qadir, adalah anggota Dewan Pengawas Hidayatullah UmmulQura, Gunung Tembak, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Abah Qadir-lah yang menjadi wasilah datangnya hidayah ke sanubari Nyoto.
Kala itu, tutur Abah Qadir, pada tahun 80-an, ia ditugaskan oleh Pendiri Hidayatullah, KH Abdullah Said, untuk berdakwah di kompleks PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI) Kartika Utama. Perusahaan kayu ini terletak di kampung Kenangan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara –saat itu masih bagian dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Ia berdakwah di sini dalam dua periode tidak berurutan.
Di saat yang sama, Nyoto merupakan salah seorang karyawan PT ITCI. Tahun 1987, periode kedua Abah Qadir berdakwah di kompleks ITCI, Nyoto mulai tertarik menimba ilmu agama dan dibina oleh dai Hidayatullah itu.
Mulanya, diakui Abah Qadir, Nyoto masih belum berislam dengan baik. Bahkan menurutnya Nyoto termasuk karyawan yang nakal. “Awalnya enda mau shalat,” tuturnya.
Namun, tidak sampai setahun kemudian, Abah Qadir mengakui Nyoto mengalami perubahan drastis. “Alhamdulillah (dia) berubah, ketaatannya luar biasa. Sekitar 6 bulan aja pembinaan itu, berubah itu Pak Nyoto,” ujarnya.
Bahkan, tuturnya, Nyoto sampai tidak tertarik lagi dengan gajinya sebagai karyawan ITCI, perusahaan besar yang saat itu sedang jaya-jayanya. “Dia bilang langsung mau tinggal di Gunung Tembak saja,” tutur Abah Qadir.
Saat masih di Kenangan, Abah Qadir pun menikahkan Nyoto dengan salah seorang Muslimah asal Manado sesama karyawan PT ITCI yang turut dibina Hidayatullah.
Setelah 20 bulan berdakwah di PT ITCI, Abah Qadir dipindahtugaskan ke Sulut. Rupanya Nyoto berminat ikut juga. “Dia juga nekat berhenti dari kerjaannya (di ITCI),” tutur Abah Qadir.
Punya Banyak Anak Angkat
Ustadz Nyoto adalah salah seorang dai Hidayatullah di Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Pada Kamis pagi, 29 Syawal 1442H (10/06/2021), ia wafat beberapa saat setelah shalat subuh berjamaah di kampus Hidayatullah Tomohon.
Di antara banyak kenangan indah dari sosok almarhum yang berkesan adalah amalan ibadahnya. “Menjelang matinya, (Ustadz Nyoto) masing pulang pergi ke masjid jalan sendiri,” tutur Abah Qadir.
Almarhum meninggalkan empat orang anak (2 laki-laki, 2 wanita). Istri almarhum, Ustadzah Jihadi, lebih dulu berpulang ke Rahmatullah pada sekitar pertengahan 2020 di Tomohon.
Di Hidayatullah setempat, Ustadz Nyoto dikenal sosok pengayom. “Ustadz Nyoto ini sosok sempurna dalam hal mengayomi orang miskin dan yatim. Sosok itu pasti tertanam kuat di hadapan kami santri-santrinya beliau. Betapa banyak yang diangkat menjadi anak angkat dan disekolahkan (oleh almarhum),” ujar Rizki Kurnia Sah, Ketua Departemen Pengkaderan PP Pemuda Hidayatullah yang juga murid almarhum, kepada hidayatullah.com.
“Kami nyantri dengan beliau saat usia 16-18 tahun. Dari Ustadz Nyoto kami belajar mengutamakan kasih sayang,” tambah Rizki yang juga pengurus SAR Hidayatullah Kalimantan Timur ini.
“Dari beliau kami belajar bagaimana menjaga psikologi anak dan santri dibandingkan prestisi, selama itu bukan merupakan pelanggaran syariat. Beliau jadi tempat mengadu jika santri tidak tercukupi kebutuhan,” tuturnya.
Bagi anak kedua almarhum, Hijrah Lu’lu Muslim, sang ayah juga merupakan sosok teladan dalam tindakan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Papa orangnya pendiam. Yang memberi nasihat berupa kata-kata itu lebih ke mama. Kalau papa lebih ke tindakan, langsung memberi contoh dan teladan. Kalau ke kami anak-anaknya saat ada yang tidak sesuai dengan hatinya, (papa) lebih ke diam. Lalu yang membahasakan ke kami itu mama,” ujar Lulu kepada hidayatullah.com dalam wawancara jarak jauh. Lulu bersama suami dan empat anaknya diamanahi dakwah di Hidayatullah Pontianak, Kalimantan Barat.
Pasangan suami istri Nyoto Muslim-Jihadi kini telah tiada. Keduanya meninggalkan empat orang kader biologis. Salah satu putranya, yaitu Sirajuddin Muslim, merupakan wartawan Majalah Suara Hidayatullah – hidayatullah.com yang juga alumnus STAIL Luqman Al-Hakim Surabaya.
“Kiranya seluruh kader dan jamaah Hidayatullah berkenan memaafkan segala kekhilafan dan kesalahan beliau saat masih hidup, berjamaah, dan berkepemimpinan di Hidayatullah,” pesan berantai yang viral di hari kepergian almarhum.
“Semoga almarhum diampuni kesalahan- kesalahannya, diterima amal-amal shalehnya dan mendapat kasih sayang Allah Subhanahu Wata’ala. Aamiin!”* Masykur/Muh. Abdus Syakur
- Sebagian artikel ini pernah dimuat Majalah Suara Hidayatullah edisi Juli 2021