Sambungan dari tulisan pertama
MASIH beberapa jam sebelum Jumatan dimulai, Jumat, 4 November 2016 itu. Sekitar pukul 08.00 WIB, jamaah sudah tak bisa masuk Istiqlal. Ratusan ribu orang hanya berputar-putar di jalanan depan, samping, dan belakang Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
“Saya sempat masuk, tetapi semua lantai Istiqlal sudah penuh. Massa sudah ‘geram’ akhirnya berinisiatif orasi dimana-mana, di setiap halaman Masjid Istiqlal. Kecuali di lantai 1-4 khusus untuk shalat,” lapor reporter lainnya.
Pukul 09.00 WIB, ia memutuskan turun dari masjid. Tapi di depan pintu utama macet, tiap 10 meter ada orang orasi.
“Akhirnya saya tidak mendapat tempat shalat hingga terjebak shalat di samping sungai di dekat Jalan Juanda. Kondisi penuh sesak,” lapornya.
Yang membuatnya merinding, usai shalat Jumat, nasyid dilantunkan diikuti jamaah di dalam hingga di luar masjid.
Massa seakan terbakar mengikuti lantunan nasyid dan pekikan takbir, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
“Gemuruh riuh. Saya membayangkan seperti ini dulu umat Islam dan para santri melawan dan mengusir penjajah Belanda,” ungkapnya.
Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, menyaksikan pula bagaimana padatnya halaman dan ruas-ruas jalan di sekitar Istiqlal.
“Mau lewat, mentok, tidak bisa. Saya merinding,” tuturnya dalam Rapat Pleno XII Dewan Pertimbangan MUI di kantor MUI, Jakarta, Rabu (09/11/2016).
Para Khatib pun tidak Siap
Menariknya lagi, Nasaruddin bercerita, khatib yang dijadwalkan mengisi di masjid nasional ini, Jumat itu, tidak berani khutbah. Karena katanya tidak siap di depan segitu banyak manusia.
Penggantinya juga pada tidak siap. Akhirnya pengurus Istiqlal rapat, diputuskanlah Imam Besar yang naik sebagai khatib.
“Saya juga ragu, apalagi ada postingan macem-macem tentang saya. Tapi saya istikharah. Alhamdulillah, depan komputer jalan saja tangan saya mengetik materi (khutbah).
Jadi apa yang saya sampaikan itu isi hati saya yang sesungguhnya. Nggak tahu bagaimana tanggapan bapak-ibu terhadap materi khutbah itu,” ungkap Rektor Institut PTIQ Jakarta ini.
Sayang, jangankan menanggapi, jamaah yang shalat sekitar 50 meter arah selatan di luar bangunan utama Istiqlal mendengar suara sang khatib dengan sangat tidak jelas.
Nasaruddin bercerita, ada kejadian lucu di “Masjid Merdeka” pada Jumat itu.
“Saya katakan lucu. Itu space (ruang kosong) di depan imam di lantai atas penuh. Jadi imamnya di belakang makmum. Ada yang tanya, ‘bagaimana?’ Saya jawab, ‘sudah, anggaplah seperti di Makkah’,” ungkapnya memaklumi keadaan darurat itu.
Pengamatan reporter, di luar sekeliling masjid, berbagai titik dipenuhi jamaah berpakaian serba putih-putih. Di halaman, taman, jembatan, jalan beraspal, pelataran berkeramik, padat diisi jamaah shalat Jumat. Mereka adalah massa yang akan ikut Aksi Bela Islam II usai Jumatan.
Pada salah satu ruas jalan di gerbang masuk selatan Istiqlal, misalnya, jamaah meluber sampai ke pintu gerbang dekat jalan raya.
Mereka shalat Jumat dengan alas masing-masing; dari sajadah, koran bekas, hingga kantong plastik berukuran jumbo yang dibagi-bagikan oleh sesama jamaah.
Pekikan Takbir di KRL
Kesakralan rangkaian ibadah Jumat di halaman Istiqlal itu penuh aura istimewa, selain memang jamaah harus rela berpanas-panasan di bawah terik matahari.
Di bagian atas depan jamaah itu, berdiri melintang rel kereta layang dari dan menuju Stasiun Juanda, samping Istiqlal.
Setiap kereta rangkaian listrik (KRL) dari arah Bogor ke Juanda melintas, tampak selalu membawa penumpang berpakaian putih-putih. Mereka dipastikan massa aksi yang hendak ke Istiqlal.
Beberapa kali, saat KRL dari arah Bogor melintas, para penumpangnya selalu memekikkan takbir begitu melihat jamaah putih-putih menyemut di bawah mereka.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Bayangkan saja suasananya. Gerbong kereta yang biasanya hanya diselingi suara “gejlek, gejlek” dari roda dan rel besi yang beradu, tiba-tiba digemuruhkan oleh pekikan takbir para penumpangnya.
Dan itu terdengar sejak sebelum azan berkumandang, saat sedang shalat, hingga Jumatan selesai. Sungguh kejadian langka!
Memang, aksi damai menuntut proses hukum yang adil dan transparan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), atas kasus dugaan penistaan agama itu, merupakan peristiwa langka. Bersejarah.
Usai shalat Jumat, lautan massa itu mengular, menyambungkan beberapa titik. Yang shalat Jumat di Istiqlal, Gambir, dan Kwitang, menyatu di Jl Medan Merdeka Timur. Lalu memenuhi Jl Medan Merdeka Selatan hingga Jl Medan Merdeka Barat.
Semua ruas jalan itu disemuti jutaan manusia, seperti ditaksir banyak tokoh yang mengikuti Aksi Bela Islam II atau Aksi Bela Al-Qur’an itu.
Saat kelompok massa terdepan sudah tiba depan Istana Merdeka sebagai lokasi orasi utama, masih puluhan ribu massa yang menumpuk di halaman dan jalan raya sekitar Istiqlal.
Di sini, KH Abdullah Gymnastiar yang mengawal pasukan relawan pembersihnya dari Bandung, merasa kagum atas kekuasaan Allah yang mendatangkan massa sebanyak itu. La haula wala quwwata illa billah. * Yahya G Nasrullah, Ahmad, SKR/hidayatullah.com