Sambungan dari kisah pertama
ADA yang menarik bagi Azzam selama menjalani Ramadhan 1438 H di Jepang. Soal kuliner. Rasa makanan di sana ia rasa berbeda dengan makanan di Indonesia.
Ia mengaku nasi di Jepang tetap nikmat walau dimakan begitu saja tanpa lauk pauk. Beda dengan nasi-nasi di Indonesia. Begitu pula, minyak maupun telur di sana punya cita rasa kenikmatan tersendiri.
“Saya selama di sana enggak pernah bermasalah dengan tenggorokan. (Sedangkan) di (Indonesia) sini, baru makan gorengan sedikit saja langsung sensitif,” ungkap bujang penghafal al-Qur’an ini saat bercerita kepada hidayatullah.com di sela-sela beriktikaf Ramadhan 1439 H, Juni 2018, di Masjid Ar-Riyadh, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dari sisi ini, setidaknya menjadi “hiburan” tersendiri bagi Azzam dalam menjalani puasa sebulan penuh di negeri Sakura tersebut. Sebab, selama bertugas menjadi imam di Masjid Hitachi, ia mengaku banyak diliputi rasa bosan.
Baca: Kursi Kosong di Meja Iftar: Duka Warga Gaza di Bulan Ramadhan [1]
Bagaimana tidak, hari-harinya lebih banyak diisi dengan kekosongan kegiatan. Sebelum pukul 3 pagi dinihari waktu setempat, ia sudah makan sahur. Pagi sampai siang pun ia banyak beristirahat. Kegiatan rutinnya ya mengimami shalat rawatib dan shalat tarawih.
Sorenya pihak takmir menggelar buka puasa dengan membuka lowongan amal dari jamaah, sebagaimana tradisi di Indonesia. Puasanya pun ia jalani sekitar selama 17 jam setiap harinya.
Syukurnya, di masjid tersebut disediakan berbagai bahan makanan, sehingga Azzam tidak terlalu repot soal “pengisi lambung”.
Kecuali jika dia lagi kepingin makanan ringan mesti mencari keluar. Itu pun harus selektif, waspada terhadap makanan-makanan tidak halal. Maklum, ia tengah berada di negeri minoritas Muslim.
“Kalau mau makan roti atau camilan, tanya dulu ke mahasiswa, ini halal atau enggak,” ungkap santri asal Jember, Jawa Timur ini.
Bicara soal tantangan, selain rasa bosan dan kehidupan bebas ala masyarakat Jepang, persoalan cuaca juga meninggalkan kesan tersendiri baginya dalam menjalani puasa itu.
Azzam datang ke Jepang atas sponsor Masjid Otsuka, Tokyo, sekitar sepekan sebelum datangnya bulan Ramadhan tahun 2017. Saat tiba di sana, tuturnya, Jepang sudah pada penghujung musim semi dan akan beralih ke musim panas. Tapi suhu masih begitu dingin.
Pada pagi hari saja mencapai 14 derajat celsius. “Pakai pemanas terus di sana,” ungkapnya. Begitu pula pada siang hari, langit biru cerah, “(tapi suhu) 19-20 derajat (celcius). Dingin juga,” sebutnya.
Baca: Berburu Lailatul Qadar, 400 Ribu Muslim Serbu Masjid Al-Aqsha
Gempa
Bukan cuaca saja. Yang paling berkesan dan terasa horor di sana adalah gempa bumi. “Sepekan bisa empat kali ngerasain gempa,” ungkapnya. Ia merasakan gempa pertama kali saat sedang berada di kamar pada pekan pertama Ramadhan 1438 H.
Menariknya, sebut Azzam, meski rawan gempa, bangunan di sana tidak hancur.
Cerita lain lagi. Sebagai pemuda yang hobi berolahraga, Azzam terkesan dengan futsal di Jepang “Sangat berkesan sekali,” ungkapnya.
Tapi bukan main futsalnya yang ia rasa berkesan, melainkan tarif sewa lapangan futsalnya.
“(Tarif) main futsal di sana kayak Rp 1 juta di sini. Jelek lagi lapangannya. Di situ rumputnya campur sama pasir. (Tarifnya) 10.000 yen per jam. Sekitar 1 juta,” tuturnya yang selama di sana bermain futsal hampir setiap pekan.
Ada juga lapangan yang tarif sewanya murah tapi tempatnya jauh dari masjid. Waktu tempuh dari tempat tinggalnya sekitar 45 menit.
Ia mengaku biasa bermain futsal pada malam hari selepas shalat tarawih. Tarawih selesai jam 10 malam. Futsalnya jam 11 sampai pukul 1 dinihari keesokan harinya. Pukul 3 dinihari sudah masuk waktu subuh. “Jadi enggak tidur,” ujar pria kelahiran Jember, 26 Januari 1998 ini.
Sedangkan kalau musim panas malamnya lebih cepat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pada Ramadhan tahun 1439 H/2018 ini, sebenarnya Azzam mau ke Jepang lagi. Tapi, ia lebih memilih ber-Ramadhan di Masjid Ar-Riyadh, Balikpapan, sudah janjian dengan dengan pihak DKM. Ia diminta menjadi imam di masjid tersebut.
Baca: Api Hanguskan 126 Rumah Muslim Filipina di Hari Idul Fitri
Pada tahun ini, ia pun mengaku menjalani ibadah Ramadhan dengan penuh kenikmatan.
“Selama kami hidup, (tahun) ini Ramadhan terbaik, ternikmat, tersyahdu,” ungkapnya di depan jamaah Masjid Ar-Riyadh, 2 Syawal 1439 H, Sabtu (16/06/2018).
Di Jepang, tahun lalu, puasanya pada Ramadhan 1438 H itu diuji oleh suasana tidak Islami. Kondisi imannya pun; ibarat sepeda motor, bensinnya nol terus.
Berbeda saat ber-Ramadhan di kompleks Masjid Ar-Riyadh itu.
“(Ramadhan) sekarang sebaliknya. ‘Bensinnya’ full terus,” ungkap hafizh yang menempuh pendidikan di TK Hidayatullah Ad-Dhuha Jember, SD Muhammadiyah 1 Jember, MTs Al Irsyad Al-Islamiyyah Bondowoso, MA Raadhiyatan Mardhiyyah Putra Gunung Tembak Balikpapan, dan 7 bulan menghafal 30 juz al-Qur’an di Wadi Mubarak, Bogor, Jawa Barat ini.*