JARUM jam tepat menunjuk pukul 11.10 malam waktu setempat, ketika ‘burung besi’ yang membawaku dari Bandara Kuala Lumpur, Malaysia, mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Yangon, Myanmar, Ahad, 5 November 2017.
Begitu masuk ke bandara, di depan konter keimigrasian tampak antrean mengular. Mau tak mau aku harus ikut berbaris dalam antrian tersebut. Setelah sekitar satu jam, akhirnya aku dipanggil petugas keimigrasian untuk pemeriksaan (paspor).
Aku mengira, petugas keimigrasian bakalan ‘memberondongku’ dengan bejibun pertanyaan, ihwal tujuanku berkunjung. Maklum, Myanmar saat ini sedang menjadi fokus perhatian dari berbagai negara di penjuru dunia.
Tapi, ternyata tak ada satupun kalimat terlontar. Tak sampai 10 menit petugas keimigrasian segera mengembalikan pasporku yang telah dibubuhi stempel berbentuk bujur sangkar.
“Alhamdulillah,” batinku bersyukur.
Stempel itu berisi keterangan tentang nomor penerbanganku dari Bandara Kuala Lumpur dan tanggal kedatangan beserta lamanya waktu kunjung yang diberikan kepadaku.
“Berikutnya kita tukar uang dolar dengan kyat (mata uang Myanmar),” pria yang menjadi pemanduku selama kunjungan ke Myanmar menjelaskan.
Sambil mengikuti jejak langkahnya -sebut saja namanya Wawan- secara perlahan, aku amati suasana sekitar di depan konter penukaran uang. Aku dapati sebuah pemandangan yang tak lumrah, tetapi unik dan menarik. Apa itu?
Budaya Sarung
Beberapa pria dan wanita di bandara tampak mengenakan bawahan kain panjang. Kalau di Indonesia serupa sarung biasa yang digunakan untuk shalat.
Sementara orang-orang di Myanmar menyebutnya longyi. Motifnya pun sangat beragam. Tidak hanya garis vertikal, horizontal, atau kotak-kotak seperti kebanyakan kain sarung di Indonesia. Tapi, juga motif berbentuk zig-zag dan menyilang.
Aku perhatikan, ada yang memakai longyi dipadu dengan atasan berupa jas beserta baju kerah. Tapi tak sedikit juga yang cuma memakai kaos oblong, sebagaimana sopir taksi yang aku sewa jasanya malam itu.
Yang tak lumrah, dengan style yang bisa dibilang keren; bawahan longyi, atasan baju berkerah dibalut dengan jas mewah. Tapi, memakai sandal jepit. Seperti yang terlihat pada penampilan beberapa petugas bandara.
Namun, itulah yang paling khas dan unik dari negeri dengan sebutan lain Golden Land ini. Longyi adalah ‘wardrobe’ resmi yang digunakan oleh penduduk Myanmar hampir di tiap kesempatan. Dari mulai bekerja, pesta pernikahan, berangkat ke sekolah, hatta sekalipun saat mereka ingin bermain bola.
Menurut informasi yang aku dapat, penggunaan corak dan warna longyi sebenarnya ada aturannya tergantung dari asal state (negara bagian) mereka.
“Warna hijau lumut seperti itu kalau enggak salah seragam resminya orang pemerintahan,” kata Wawan sambil mengarahkan jari telunjuknya keluar etalase hotel tempat kami dari hidayatullah.com bermalam.
Baca: Kisah Dokter IMS di Bangladesh, Menyaksikan Kepiluan Pengungsi Rohingya
Aku langsung mengikuti jari telunjuk Wawan, kudapati seorang perempuan berbadan gemuk sedang berjalan di atas trotoar. Selain wanita itu, banyak juga orang lalu lalang yang memakai longyi, entah itu anak-anak, remaja, atau orangtua. Baik pria atau wanita.
Cara memakai longyi berbeda dengan cara orang Indonesia ketika memakai sarung. Di Indonesia, orang memakai sarung dengan cara dilipat. Kemudian digulung pada pinggang. Di Myanmar orang memakai longyi dengan diikat bagian depannya.
“Pertama yang saya pelajari ketika tinggal di Yangon sebulan penuh itu ya bagaimana cara mengikat longyi,” Wawan terkekeh, sebelum akhirnya kami bertiga beranjak ke kamar hotel.
Begitulah pemandangan suasana pagi di sepanjang ruas trotoar pusat kota Yangon, yang dapat kami nikmati seraya menyantap sarapan. Longyi merupakan busana sehari-hari serta pakaian tradisional yang sudah menjadi budaya Myanmar.
Pemandangan yang hampir serupa itu sebenarnya bisa kita temukan juga di Indonesia, tepatnya di daerah Madura. Medio 2014 aku pernah silaturahim ke rumah teman, tepatnya di Pamekasan. Nyaris selama sepekan, aku memakai sarung untuk bawahan.
Kebanyakan orang Madura, tak hanya pria tapi juga wanita. Tak hanya orang tua tetapi juga anak-anak dan remaja. Semua mengenakan sarung sebagai ‘seragam pokok’ dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Sarung menjadi ciri khas masyarakat Madura. Meski seiring waktu, kearifan lokal itu mulai tergerus sedikit demi sedikit oleh budaya dari luar (Barat), seperti celana jeans, bahkan rok mini.
Parkir Gratis
Pertengahan malam itu, saat sopir taksi mengantar kami bertiga dari Bandara Internasional Yangon menuju sebuah hotel di jalan Botahtaung, Pazundaung Township, Kota Yangon. Kuamati ruas jalanan di pusat kota Yangon lengang sekali.
Wajar jika kemudian sopir taksi yang aku tumpangi menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobilnya pun melaju kencang tuk menerobos keheningan malam.
Di Myanmar, memang ada peraturan sepeda motor dilarang melintas di sepanjang jalan pusat kota Yangon.
Pemandangan seperti itu mungkin biasa saja. Sama halnya seperti situasi di jalanan pusat kota Jakarta waktu dini hari. Namun, setelah aku cermati ternyata ada yang berbeda dari pusat kota Yangon.
Mobil-mobil melaju pada jalur sebelah kanan, termasuk taksi yang malam itu mengantarkan kami. Ruas jalanan di sepanjang jalan yang kami lalui lebih lebar dibandingkan dengan ruas jalan di pusat kota Jakarta.
Aku pun bisa melihat Pagoda dengan mudah di sepanjang jalan, baik yang berukuran kecil, sedang atau besar.
Di samping itu, kata Wawan, di pusat kota Yangon, pengunjung masih bisa menemukan masjid, klenteng, serta gereja peninggalan masa lalu yang masih berfungsi baik hingga saat ini. Berbeda jauh dengan situasi di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Azan kadang masih terdengar dari hotel (tempat kami menginap) ini,” ujar Wawan yang sudah biasa mondar-mandir Indonesia-Myanmar ini.
Saat melintasi jalan di bawah flyover, aku juga menangkap sesuatu hal yang unik yaitu puluhan mobil berderet dan terparkir rapi. Di depan ruko, pusat perbelanjaan, bahkan rumah susun yang berada di sepanjang jalan pusat kota Yangon, banyak sekali terparkir beragam mobil.
“Parkir di sini gratis. Enggak ada yang namanya tukang parkir di Myanmar. Pemerintah memang menyediakan tempat parkir untuk warganya. Dan itu gratis. Mau di pinggir jalan, depan ruko sampai di apartemen maupun mall-mall,” jelas Wawan panjang lebar.
“Beda jauh sama di Jakarta,” celetuk seorang kawan yang juga bersamaku. “Semua tempat parkir dikomersilkan. Mau parkir harus bayar uang parkir.”
Di sepanjang jalan pusat kota Yangon malam itu, juga tak kulihat satupun sepeda motor melintas. Hanya mobil pribadi dan taksi. Bus angkutan umum pun tak kelihatan, kecuali pagi hingga menjelang petang.
Termasuk angkutan sepeda roda tiga atau yang disebut dengan trishaw (becak). Ini termasuk kendaraan yang cukup unik di Myanmar.
Di Indonesia, angkutan becak sudah menggunakan sepeda motor (biasa di sebut bentor). Tapi di Yangon masih menggunakan sepeda onthel yang dikayuh dengan tenaga manusia.
Dan uniknya lagi, penumpang becak duduk saling membelakangi, tidak duduk berdampingan seperti becak yang ada di Indonesia. Becak di Yangon juga tak menggunakan pelindung atau penutup.
Sebetulnya, masih ada beberapa hal yang menarik di Yangon, Myanmar. Untuk selengkapnya, dapat disimak dalam catatan perjalanan berikutnya. Ada tentang rantang bersusun, bedak dingin atau disebut thanaka, dan lainnya.
Tak hanya itu, awak hidayatullah.com juga akan menyajikan beberapa kisah menarik dari kota lainnya di negara Myanmar, insya Allah.*