Sambungan artikel PERTAMA
Ditinggalkan untuk mati
Adli dan Mansour telah mematahkan pepatah Arab yang mengatakan: “Satu tangan saja tidak bisa bertepuk”. Terlepas dari semua tantangan di Gaza pada saat ini, Mansour tahu bahwa satu kaki cukup baginya untuk mengejar hidupnya dengan cara menyenangkan. .
Adli terluka pada bulan Maret 2011, ketika bom Israel jatuh di lingkungan perumahan dan sekelompok pemuda Palestina yang sedang bermain sepak bola dan menonton pertandingan sepak bola di dekat Al Wadiya Dairy di Nazaz Street. Ketika insiden mengejutkan itu terjadi, Adli tanpa rasa takut bertindak sebagai petugas pertolongan pertama untuk yang terluka, tapi sekejap kemudian dirinya terluka saat serangan kedua menghantam lokasi yang sama.
Dia tampak terganggu saat ia mengingat-ingat kejadian hari itu sedang sahabatnya Mansour duduk diam mendengarkan lagi kejadian rinci pada hari itu; hari ketika Adli dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma dengan kru medis yang mengungkapkan kesedihan dan kepastian bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuknya, bahkan mengumumkan Adli telah meninggal ketika tubuhnya yang yang terluka parah dipindahkan ke kamar mayat.
Semuanya duduk diam mendengarkan pengalaman yang mengerikan itu karena dikelilingi oleh jasad-jasad di kamar mayat, sedang ia masih dalam keadaan sadar. “Sangat dingin membeku di sana, tapi aku tidak bisa bicara, atau bergerak,” kenangnya.
Adli menjelaskan bagaimana ayahnya, Hassan Ebied, tiba di kamar mayat rumah sakit untuk mengucapkan selamat tinggal terakhir untuk anaknya. “Saya merasakan kehangatan tangan ayah saya, dan mencengkeramnya erat-erat, dalam kamar mayat yang dingin itu.”
Sadar kehidupan itu masih ada, ayah Adli, Hassan, segera berteriak: “Anak saya masih hidup, anak saya masih hidup!”
Sahabatnya, Mansour datang mengunjunginya di rumah sakit dan mengatakan: “Ambil kakiku, sahabatku, tapi cepatlah pulih, cepat sembuh,” tanpa mengetahui bahwa beberapa bulan kemudian di tahun yang sama, ia juga akan kehilangan satu kakinya.
Untuk pulih sepenuhnya, Adli melalui beberapa operasi di beberapa rumah sakit di berbagai negara-negara Arab. Setelah kehilangan kakaknya dalam perang, sekarang dia adalah anak tertua, dan harus mengurus keluarganya. Karena kewajiban moral dan prioritas keluarganya, ia tidak bisa lagi mampu melanjutkan pendidikan universitas.
“Mimpi saya sekarang adalah memiliki pekerjaan yang bisa membawa saya dan teman saya Mansour, ke satu tempat bagus yang sama,” ucapnya tersenyum sambil keduanya duduk berdampingan, bersandar pada sebuah perahu nelayan.
Mimpi yang berlanjut
Bercanda dengan Adli, Mansour berhenti sejenak. “Jadi hanya itu mimpi satu-satunya? Katakan padanya apa yang kamu bilang padaku? ” katanya dengan senyum malu-malu, lalu diikuti oleh tawa.
“Meskipun rasa sakit ini, harapan saya yang lain adalah untuk menikahi seorang wanita yang baik dan membangun keluarga saya sendiri,” katanya.
Sebelum mimpi tambahan ini dapat diwujudkan, ia membutuhkan prosthesis (kaki palsu), sehingga ia bisa berjalan tanpa bantuan.
Mansour kehilangan kaki kirinya saat serangan udara di Shejayeh, Agustus 2011, dalam apa yang tampaknya menjadi serangan yang ditargetkan kepada para mujahidin yang diduga berada di dekat daerah itu. Ini terjadi lima bulan setelah temannya Adli mengalami nasib yang sama.
Adiknya sebenarnya menyaksikan langsung pemboman itu, tapi tidak tahu kalau Mansour berada di lokasi yang sama dan merupakan salah satu korbannya. Akhirnya, ia berlari ke rumah dan memberitahu keluarganya: “Seseorang telah tewas.” Ibunya, yang tidak menyadari Mansour terluka, menjawab: “. Semoga Allah memberi kesabaran untuk ibu korban.”
Beberapa jam kemudian, dia akhirnya diberitahu bahwa korban sebenarnya anaknya sendiri, Mansour, yang telah kehilangan kaki, beberapa jari dan beberapa pecahan peluru di kepalanya.
“Satu-satunya hal positif karena terluka adalah bagaimana memberdayakan persahabatan saya dengan Adli,” katanya sambil berjalan ke bawah pohon ara di al-Mintar Hill, daerah yang menghadap ke arah Kota Gaza.
“Kami berbagi segala hal dan memisah uang belanja- lagipula, kami adalah salah satu jiwa, dengan dua tubuh,” katanya sambil menunjuk ke bagian lain dari Gaza, mengamati pertumbuhan dan perubahan kota yang ia dan Adli telah saksikan bersama sejak kecil.
Seluruh kota telah berubah. Generasi baru dilahirkan ke dunia Gaza yang selalu berubah, meski dengan segala kesulitan yang ada, masih mempertahankan keindahannya yang menenangkan. Meski kekacauan yang terjadi, warga Gaza mencoba untuk tidak membiarkan suasana kekalahan yang mengambil alih. Dalam modus perlawanan rakyat Shejayeh adalah dengan tetap tinggal, berdiri teguh dan mencoba untuk menikmati hidup, meskipun berbagai rintangan yang tampaknya menumpuk melawan mereka.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Meskipun banyak luka yang ia alami, Mansour masih ingin menikah, dan sekarang dia telah menikah, dia bilang dia merasa begitu banyak kebahagiaan yang ia rasakan dengan istrinya, Neda.
Neda akan melahirkan empat bulan lagi, dan senang bahwa suaminya bisa memiliki dukungan yang ia butuhkan melalui sahabatnya Adli.
“Melalui rasa sakit, kita dapat menemukan kebahagiaan, dengan berbagi semua yang kita miliki, dan terus merawat satu sama lain,” kata Mansour.
Berbagi ini sampai dalam hal sepeda motor: Mansour menangani gigi dan Adli yang mengambil alih stang motor – semua orang di jalan yang melihat mereka kagum pada tingkat kerjasama mereka berdua.
“Saat kami berdua boncengan, saya merasa seperti manusia dengan tubuh yang utuh tanpa ada satupun yang hilang,” Mansour tersenyum saat mereka pulang kembali ke Shejayeh (Sujaiyah) saat matahari terbenam di belakang mereka.*/Karina Chaffinch