Usai pemeriksaan, Donim menulis sesuatu di sebuah surat. Dia menilai istri saya layak terbang. Saya lega. Tapi di sisi lain, saya was-was jika Farida kenapa-kenapa. Yang terpikirkan juga jangan sampai diminta bayaran tinggi oleh para petugas.
Sambil menulis surat keterangan, Donim mengimbau Farida untuk mengkonsumsi obat penunjang kesehatan ibu hamil. Berkali-kali dia menyarankan obat itu, saya lupa namanya.
“Di sini sih ada obat itu,” ujar Donim seraya menunjuk ke sebuah lemari putih berisi obat-obatan di sampingnya. Saya menduga Donim berharap obatnya dibeli.
“Maaf, pak, keluarga kami tak lagi mengkonsumsi produk farmasi yang tidak jelas kehalalannya,” ujar saya, tapi dalam hati.
Aslinya saya bilang begini ke Donim, “Di dekat rumah kami ada puskesmas, kok. Nanti kami bisa minta di sana.”
Saya tidak berbohong, cuma berdiplomatis. Donim setuju. Lalu dia serahkan surat tadi kepada Ale. Sebelumnya saya kasih uang Rp 20 ribu untuk biaya pemeriksaan, tapi Donim tak memberikan kuitansi. Karena mengejar waktu, kami segera meninggalkan ruang Donim.
Jam di ponsel saya menunjukkan sekitar pukul 05.40 WIB, sebentar lagi para penumpang masuk pesawat. Dalam perjalanan menuju ruang tunggu, Ale bertanya.
“Tadi sudah dikasih uangnya kan?” Disebutnya nominal rupiah yang tak terdengar jelas.
“Iya!” jawab saya sekedarnya, sambil terheran-heran, buat apa dia tanyakan. Di sisi lain, saya agak curiga dengan Ale. Jangan-jangan ini modus.
“Biasanya itu kalau ke dokter bayarnya Rp 150 ribu, ini Rp 50 ribu aja. Nanti bayar (lagi) materai Rp 20 ribu aja,” terang Ale, seperti sales sedang berpromosi.
Lagi-lagi saya heran, kok semahal itu. Tiba di ruang B4, para penumpang sudah mulai masuk pesawat. Di meja petugas maskapai, rekan-rekan Ale berembug tentang kondisi Farida. Ale lantas menyerahkan selembar salinan surat berwarna pink kepada saya.
Lembaran itu adalah salinan Surat Pernyataan Ibu Hamil berkop maskapai yang akan saya tumpangi. Di situ tertulis, maskapai tidak bertanggung jawab atas akibat buruk dari pengangkutan Farida pagi itu, dilengkapi salinan tanda tangan Farida yang dibubuhkan sebelumnya.
Sejurus kemudian, saya dan istri diantar Ale hingga ke badan pesawat melalui garbarata (belalai penghubung ke pesawat). Tampaknya kami penumpang terakhir yang masuk “burung besi”.
“Saya hanya bisa ngantar sampai sini. Kalau lama-lama saya bisa ditegur,” ujar Ale kepada saya, namun tak kunjung pergi.
Saya paham, mungkin dia menunggu “uang materai” yang disinggung sebelumnya. Cuma yang lagi-lagi mengherankan, materai untuk surat pernyataan yang dimaksud Ale tak ada saya lihat sama sekali ditempel di surat aslinya. Tapi saya tak ingin repot memperpanjang urusan. Barang bawaan terlalu banyak, sedangkan istri yang tengah hamil harus terus dikawal.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Segera saya sodorkan uang Rp 10 ribu kepada Ale. Dia menerimanya lalu beranjak pergi ke bandara. Setidaknya saya tenang untuk sementara.
Di deretan kursi nomor 5, Anchal dan mertuanya masuk ke pesawat lebih dahulu dari para penumpang lainnya. Budi yang tengah sakit memang mendapat pelayanan khusus. Dia dibawa dengan kursi roda dan pengawalan petugas sesaat sebelum saya melaporkan Farida.
Sekitar pukul 06.26 WIB, pesawat take off meninggalkan Soetta. Di luar kaca pesawat, hujan deras mengguyur Cengkareng, mengguyur atap kantor tempat Ale, Donim, dan rekan-rekannya bekerja. Entah apa yang mereka pikirkan saat itu.* Bersambung