PAGI dinihari, mobil berplat hitam yang kami tumpangi melaju kencang di Jalan Tol Dalam Kota Jakarta. Sesaat kemudian, kami sudah tiba di Terminal 1 B, Bandara Internasional Soekarno Hatta (Soetta), Cengkareng, Banten. Saya agak kaget saat menyadari perjalanan ke bandara begitu cepat. Berangkat dari Cilodong, Depok, Jawa Barat sekitar pukul 02.55 WIB, kami tiba di Soetta pukul 03.47 WIB dalam catatan saya. Kurang dari satu jam. Maklum, selain supirnya piawai, jalanan juga masih lengang.
Pada waktu-waktu biasanya, butuh waktu 2 kali lipat lebih untuk menuju bandara karena macet. Untuk menghindari macet itulah, saya memilih penerbangan pagi. Rombongan kami akan meninggalkan Jakarta pukul 06.10 WIB sesuai jadwal di tiket.
Perjalanan pada Ahad (23/3/2014) kali ini agak berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Biasanya saya selalu pergi sendiri. Tapi kali ini bersama 3 orang lainnya, yaitu Ustadz Budi, Anchal, dan Farida.
Anchal, kolega saya di Cilodong, mendampingi Budi, mertuanya yang habis menjalani terapi pengobatan stroke di Bogor. Farida, istri saya yang sedang hamil 6 bulan lebih, hendak melahirkan di kampung, Teritip, Balikpapan, Kalimantan Timur (kaltim). Inilah yang membuat saya agak was-was, khawatir dicegat pihak bandara.
Sebenarnya, kata teman-teman, kalau usia kandungan masih 6 bulanan tidak masalah naik pesawat. Tapi tetap saja ada kekhawatiran. Apalagi saat check in, terlihat sebuah banner berisi imbauan bagi pelanggan yang sedang hamil untuk melapor ke petugas.
Usai shalat Shubuh di mushalla bandara, saya kembali kembali ke ruang tunggu B4. Masih satu jam lagi sebelum take off. Saya memilih tidur sejenak di atas kursi. Beberapa menit tidur, saya terbangun oleh sebuah pengumuman.
“Kepada para calon penumpang yang sedang hamil atau membawa bayi, diharap untuk melaporkan kepada petugas,” kira-kira begitu bunyi pengumuman pihak bandara dari pengeras suara.
Pengumuman ini berkali-kali disampaikan. Awalnya saya cuek. Tapi di bangku depan kami ada seorang bapak yang habis melaporkan istrinya yang sedang hamil. Saya berubah pikiran.
“Tadi dikasih apa sama petugas?” tanya saya pada bapak tersebut.
“Ini dikasih surat bermaterai,” ujarnya.
“Tapi bisa aja terbang ya?”
“Bisa!” jawab pria yang istrinya sudah hamil 7 bulan itu.
Karena tak jauh beda usia kandungan Farida, saya memilih melaporkannya ke petugas. Saya jelaskan sedikit perihal kondisi istri saya. Petugas di depan saya tercenung sejenak.
“Mestinya dari tadi dilaporkan,” ujar seorang petugas pria berseragam merah hati, sebut saja Ale, nama rekaan.
Ale lantas meminta lembaran Boarding Pass serta KTP saya dan Farida, lalu mengajak kami berdua pergi ke luar ruang tunggu. Kami digiring ke lantai bawah, menuju ruang pemeriksaan kesehatan. Dalam perjalanan ke situ, Ale bertanya pada saya.
“Bawa kan, mas? Yah untuk administrasi lah,” ujarnya setengah berbisik.
Awalnya saya bingung, namun akhirnya paham jika Ale menanyakan apakah saya membawa uang atau tidak. Uang itu saya tebak maksudnya untuk biaya pemeriksaan. Suasana pemeriksaan oleh petugas kesehatan Bandara SoettaPromosi ala Petugas Bandara
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tiba di tempat tujuan, seorang petugas berseragam coklat tua telah menunggu, sebutlah namanya Donim. Di ruangan berukuran sekitar 5×5 meter itu terdapat dua buah ranjang pasien. Setelah basa-basi sejenak, istri saya mulai diperiksa kondisinya.
Di tengah-tengah pemeriksaan, lekas saya tanya Ale.
“Mas, berapa biasa bayarnya nih?”
“Kasih aja Rp 50 ribu, mas,” jawabnya.
Hah? Saya tak percaya, tapi tetap menyiapkan sejumlah uang. Sementara Donim bekerja cukup profesional. Dari hasil pemeriksaannya, diketahui jika tekanan darah istri saya tinggi dan detakan jantungnya kencang. Tapi Farida saat itu –dan sebelumnya– tampak baik-baik saja. Tidak muntah-muntah pula.